Kapal Keruk dengan nomor lambung PB 3016 SINGAPORE mengangkat pasir dari dasar laut ke atas tongkang di Desa Lontar, Kec Tirtayasa, Serang, Banten, Senin (13/8/2012). | ANTARA FOTO

Ekonomi

Kebijakan Ekspor Pasir Laut Terus Tuai Penolakan

Penghentian ekspor yang dilakukan sejak dua dekade membuktikan banyaknya dampak buruk.

JAKARTA -- Penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang kembali membuka ekspor pasir laut terus mencuat. Pakar lingkungan dan masyarakat nelayan mengaku sangat mengkhawatirkan dampak lingkungan dari adanya kebijakan itu.

Pembukaan kembali ekspor pasir laut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Menurut pakar bidang perubahan iklim dan lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Daniel Murdiyarso, pengerukan pasir laut untuk ekspor hanya memiliki manfaat ekonomi jangka pendek.

Pengerukan itu memiliki banyak dampak panjang, mulai dari dampak sosial hingga lingkungan. “Keuntungan ekonomi (jangka pendek) jelas tidak akan seimbang dengan kerugian atau biaya lingkungan (jangka panjang). Pendapat saya pribadi, ekspor pasir laut untuk meningkatkan pendapatan nasional tidak penting-penting amat dan tidak mendesak,” kata Daniel di Jakarta, Jumat (2/6/2023).

photo
Penambang menurunkan karung berisi pasir laut dari kapal di Tua Pejat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Rabu (4/10/2017). - (ANTARA FOTO)

Menilik keputusan pemerintah yang saat ini membuka keran ekspor pasir laut setelah vakum dua dekade, dia melihat itu semua dilakukan tanpa dukungan data dan bukti ilmiah meyakinkan.

Dia mencontohkan kajian yang perlu dilakukan, yaitu pendalaman soal laju asal deposit sedimen, kecepatan dan arah arus laut, serta stabilitas ekosistem pesisir.
“Sehingga jika timbul dampak negatif, mitigasinya dan arah perbaikannya jelas,” tuturnya.

Menurut dia, jika ekspor pasir laut dilanjutkan, kerusakan ekosistem pesisir maupun laut dan sumber daya perikanan bisa berbuntut panjang. Terlebih, saat ada disrupsi kehidupan nelayan dan penduduk sepanjang pantai nantinya.

“Dampak langsung terhadap perubahan iklim tidak jelas dan tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi, dampak terhadap keberlanjutan ekosistem mangrove dan padang lamun yang memiliki peran dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sudah sangat jelas,” ucapnya.

Pemerintah melalui PP Nomor 26 Tahun 2023 membuka kembali ekspor pasir laut yang selama dua dekade lamanya sudah disetop. Sorotan bermunculan dari aktivis lingkungan hingga media asing soal keuntungan langsung bagi Singapura.

“Jadi, itu langkah keliru karena dulu (era Megawati --Red) sudah benar moratorium, dihentikan,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin.

Dia mengkritik pemerintahan saat ini yang kembali membuka keran ekspor pasir laut. Padahal, kata dia, penghentian ekspor sejak 20 tahun lalu seharusnya sudah cukup untuk membuktikan banyaknya dampak buruk. “Kalau sekarang dibuka lagi, akan mempercepat pulau-pulau tenggelam lagi. Artinya, ini langkah yang sangat salah arah, tersesat,” ujar dia.

photo
Kebijakan ekspor pasir laut. - (Republika)

Parid menjelaskan, kondisi laut Indonesia saat ini butuh pemulihan karena banyaknya limbah dari perusakan di darat. Oleh karena itu, dia menegaskan, ekspor pasir laut melalui Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023, ayat (1) yang berbunyi "hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur", itu sangat keliru.

Mengutip Reuters, Indonesia sudah pernah mencabut izin ekspor pasir laut pada 2003 saat pemerintahan Megawati berjalan. Hal itu kemudian ditegaskan kembali pada 2007 sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspor pasir laut ilegal.

Padahal, saat Indonesia sudah lebih dulu melakukan pelarangan ekspor, negara tetangga, seperti Malaysia, juga mengikutinya pada 2019. Selepas Indonesia menarik diri dari pasar pasir laut dunia, Malaysia menjadi pemasok utama pasir laut bagi Singapura. Namun, Indonesia saat ini malah kembali membuka peluang ekspor pasir laut.

Sebelum ada larangan ekspor itu, Indonesia merupakan pemasok pasir laut terbesar untuk kebutuhan reklamasi di Singapura. Ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura mencapai rata-rata 53 juta ton per tahun dalam periode 1997 hingga 2002. Laporan PBB pada 2019 mencatat, Singapura merupakan importir terbesar pasir laut di dunia. Dalam dua dekade, Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dari negara tetangga.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menemukan berbagai masalah mendasar dalam materi PP 26/2023. Pertama, lahirnya PP 26/2023 mencabut Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Jika dilihat dari terminologinya, pemerintah pusat menganggap pasir laut yang berada di wilayah pesisir merupakan hasil sedimentasi sehingga harus ada pengendalian untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut.

"Telah jelas disebutkan dalam pasal 1 bahwa PP ini hanya akan melegalkan penambangan pasir di laut dengan dalih pengendalian untuk mengurangi sedimentasi di laut," ujar Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati.

Kedua, PP ini dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 yang diubah menjadi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU Nomor 27 Tahun 2007 sudah jelas melarang praktik-praktik pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

"Bahkan, terdapat Putusan MA Nomor 57 P/HUM/2022 terkait dengan RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan yang juga dalam pertimbangannya melarang adanya pertambangan di pulau kecil," ucap Susan.

photo
Sejumlah buruh harian melakukan penambangan pasir laut di pinggir pantai Desa Pero Bantang, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara, Timur, Rabu, (24/2/2016). - (ANTARA FOTO)

Ketiga, pemerintah memandang pasir laut sebagai komoditas yang dapat dioptimalkan untuk kepentingan pembangunan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2 dan pasal 9. Implementasi dari pengelolaan hasil sedimentasi di laut disebut Kiara akan digunakan sebagai materi utama berbagai proyek reklamasi yang telah dilegalisasi melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) yang telah disahkan di 28 provinsi.

"Jika dibedah secara terperinci, 28 Perda RZWP-3-K akan memberikan ruang terhadap berbagai proyek reklamasi dengan total luasan 3.506.653,07 hektare area," ucap Susan.

Keempat, Kiara menilai pemanfaatan eksploitasi pasir laut akan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk ekspor. Padahal, ekspor pasir laut telah dilarang sejak 2007 agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. "Karena eksploitasi pasir laut yang dilakukan semakin tidak terkendali dan lebih menguntungkan aktor-aktor tertentu," ucap Susan.

Kelima, Kiara menyoroti mekanisme sanksi dalam PP 26/2023 yang dilakukan dengan pendekatan sanksi administrasi. Kiara menilai sanksi administrasi tidak akan memberi efek jera, tapi akan memberikan waktu dan ruang bagi investor untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.

"Contohnya terjadi di Pantai Minanga yang telah direklamasi dan pelaku usaha diberikan sanksi administrasi, tetapi mereka tetap beroperasi hingga saat ini," ujar Susan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya menyampaikan, penerbitan PP 26/2023 menekankan tentang dasar hukum pemanfaatan hasil sedimentasi, khususnya pasir laut, dengan mengedepankan keberlanjutan ekologi dan kepentingan negara. Trenggono menuturkan, kebutuhan reklamasi dalam negeri selama ini sangat besar. Sayangnya, pemanfaatan pasir laut masih merusak lingkungan karena pasir yang diambil berasal dari pulau-pulau.

Pasir sedimentasi dinilai cocok dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi, termasuk mendukung pembangunan IKN dan infrastruktur dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Tujuan pemerintah menetapkan peraturan ini adalah untuk memenuhi reklamasi di dalam negeri.

"Kalau ini didiamkan dan tidak diatur maka bisa jadi (pasir) pulau-pulau diambil, jadi reklamasi dan berakibat pada kerusakan lingkungan. Atas dasar itu, terbitlah PP. Boleh untuk reklamasi, tapi harus gunakan pasir sedimentasi," ujar Trenggono.

Ekspor Pasir dan Proyek-Proyek di Rempang

Sejumlah proyek ambisius diwacanakan di Pulau Rempang.

SELENGKAPNYA

Menimbang Dampak dan Tujuan Penambangan Pasir Laut

Pemerintah mengeklaim PP 26/2023 dibuat bukan untuk mendorong ekspor pasir laut.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya