Dua buah kapal tongkang menampung biji bauksit siap ekspor di Sungai Carang, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu. | ANTARA FOTO

Ekonomi

Kesiapan Hilirisasi Bauksit Dipertanyakan

Proses pemurnian bauksit lebih sederhana dan hanya bisa diproses menjadi alumina dan aluminium.

JAKARTA -- Menjelang kebijakan larangan ekspor komoditas tambang bauksit, pemerintah dinilai belum memiliki rencana yang jelas ihwal hilirisasi bahan mentah itu.

Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai, tanpa perencanaan matang, kebijakan itu justru bisa merugikan Indonesia.

"Kami tidak melihat bagaimana pemerintah merencanakan rantai pasok dalam hal ini untuk industri aluminium sampai ke level siapa yang akan mengonsumsi produk itu. Hanya sebatas larangan lalu dengan itu investasi akan masuk," kata Kepala Center Industry Trade and Investment Indef Andry Satrio Nugroho dalam webinar, Rabu (31/5/2023).

Andry menuturkan, pemurnian bauksit berbeda dengan nikel yang ekspornya telah lebih dulu dilarang. Pemurnian nikel yang panjang memberikan banyak nilai tambah, tak hanya sebagai bahan baku baterai, tapi bisa digunakan untuk pembuatan stainless steel. Sementara itu, proses pemurnian bauksit lebih sederhana dan hanya bisa diproses menjadi alumina dan aluminium sebagai produk akhir.

Atas Nama Hilirisasi - (Republika)

Lewat kebijakan larangan ekspor bauksit, pemerintah pun diharapkan dapat membawa arus investasi untuk masuk ke Indonesia demi mendukung hilirisasi. Namun, bila investasi tetap minim, hal yang terjadi adalah menurunkan kinerja ekonomi daerah-daerah penghasil bauksit.

"Kita lihat Indonesia mengambil jalan pintas dengan larangan ekspor, sementara negara-negara lain (yang membangun hilirisasi) tidak melarang ekspor. Kita melihat ini cenderung tergesa-gesa," katanya.

Ia memaparkan, dari 10 negara terbesar produsen bauksit, produksi alumina dari bauksit di Indonesia hanya mencapai 5,2 persen atau di atas Guinea yang terendah dengan persentase 0,5 persen. Sementara itu, negara lain bahkan mencapai di atas 41 persen.

"Tapi, hanya Indonesia yang melarang ekspor bauksit. Jadi, hilirisasi bauksit akan berhasil kalau industri di hilirnya juga sudah kuat," kata dia.

Hilirisasi bauksit akan berhasil kalau industri di hilirnya juga sudah kuat.

 

 

Ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus, menambahkan, hilirisasi bauksit perlu dilakukan secara menyeluruh, tidak sekadar diawali dengan larangan ekspor. Ia memastikan, kebijakan larangan ekspor tak akan efektif bila industri hilir dalam negeri belum siap untuk melakukan proses pemurnian.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan kesiapan pasar produk hilir dari bauksit sehingga hilirisasi yang diinginkan memang mendapatkan pasar yang jelas. "Ada, tidak, yang mau beli? Percuma bikin produk hilir tapi tidak ada yang beli," kata dia.

Heri menjelaskan, pemerintah juga perlu mengalkulasi respons negara mitra dagang yang terdampak dari kebijakan tersebut.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto mengatakan, antara hilirisasi dan larangan ekspor merupakan dua hal yang berbeda. Ia menyebut kebijakan penyetopan ekspor bukan berarti mampu memancing investasi masuk ke Indonesia.

Ronald mengingatkan, upaya hilirisasi bauksit sudah dimulai pemerintah sejak tahun 2009. Saat itu, setidaknya sudah ada lebih dari 70 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan 40 perusahaan telah memegang rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB).

photo
Lahan bekas tambang bauksit yang tandus menghampar di Pulau Bintan, Kepri, Selasa (10/2/2015). - (ANTARA FOTO)

Pemerintah pun menerapkan larangan ekspor pada 2014 dengan harapan dalam jangka waktu lima tahun telah terbangun sejumlah smelter pemurnian. "Tapi, ternyata yang merealisasikan hanya satu perusahaan. Betapa sulitnya saat itu untuk mendapatkan investor karena biayanya cukup mahal," kata Ronald dalam webinar Indef, Rabu (31/5/2023).

Ronald menjelaskan, usaha untuk mendapatkan bauksit juga memerlukan proses panjang yang menelan biaya besar. "Jadi, yang disebut raw material misal 1 juta ton, itu jadi 500 ribu ton. Jadi, kita bukan jual tanah negara begitu saja, hanya prosesnya belum setinggi kalau diproses lebih lanjut," katanya.

Belum lagi, iklim investasi pertambangan dinilai Ronald masih cukup berat di Indonesia. Pasalnya, pengusaha akan dilepaskan sendiri ketika memulai proses penambangan dan membangun smelter. Berbeda dengan di Cina, pemerintah di sana menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk pengusaha, termasuk soal infrastruktur.

Ronald menegaskan, dirinya mendukung upaya hilirisasi tambang di Indonesia. Namun, upaya hilirisasi itu bukan ditempuh dengan kebijakan larangan ekspor yang justru menekan penerimaan negara. Ia pun berharap pemerintah belajar dari permasalahan pada masa lalu.

"Mengejawantahkan hilirisasi itu butuh runtutan proses panjang, perlu kajian mendalam, bukan besok pokoknya kita setop. Saya tidak mau pembelaan, tapi kita dudukkan proporsinya," kata Ronald.

Menjadi Istri Idaman

Perempuan salehah dan beragama kuat merupakan pertimbangan yang penting.

SELENGKAPNYA

Meluruskan Sejarah Pancasila

Pancasila sebenarnya bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian.

SELENGKAPNYA

Memakai Parfum Beralkohol, Bolehkah?

Alkohol teknis yang digunakan untuk keperluan non-pangan masih diperbolehkan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya