ILUSTRASI Ali bin Abi Thalib merupakan seorang sahabat Nabi SAW yang dikenal sangat cerdas dan bijaksana. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Ketika Ali ‘Kalah’ Lawan Yahudi di Pengadilan

Di muka pengadilan, Khalifah Ali bin Abi Thalib diperlakukan seperti halnya warga biasa.

Pada zaman Khulafaur Rasyidin, keberagaman masyarakat tetap sebagaimana adanya. Dalam arti, tidak seluruhnya umat Islam. Dan, baik kaum Muslimin maupun kafir dzimmi, yakni orang non-Muslim yang berada dalam perlindungan daulah Islam, menerima kepemimpinan yang adil.

Kisah berikut ini mengilustrasikan kepemimpinan seorang khalifah Islam, Ali bin Abi Thalib. Dalam menjalankan pemerintahan, penerus Umar bin Khattab itu menerapkan prinsip-prinsip keadilan.

Pada era Khalifah Ali, pusat kekuasaan Islam berpindah dari Madinah al-Munawwarah ke Kufah (Irak). Adalah suatu kebiasaan Ali, untuk melalui jalan yang berlainan saat menuju masjid dan pulang dari shalat berjamaah bersama Muslimin.

Suatu kali, Ali melewati kawasan permukiman Yahudi. Kaum ini termasuk kafir dzimmi sehingga memeroleh perlindungan negara. Tiba-tiba, ia melihat ada sebuah baju perang dijemur di depan salah satu rumah. Sepupu Nabi Muhammad SAW itu pun menghampirinya.

Ali memerhatikan baik-baik keadaan baju perang itu. Sesudah itu, suami Fathimah az-Zahra binti Rasulullah SAW itu merasa yakin bahwa benda tersebut adalah miliknya.

Sesudah memimpin shalat subuh berjamaah, Khalifah Ali kembali lagi ke rumah itu. Dia lantas mengetuk pintu. Keluarlah si pemilik rumah.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ali.

"Baik-baik saja, wahai Khalifah," jawab si Yahudi ini.

Ali kemudian menunjuk baju perang yang sedang dijemur di dekat pintu. "Aku melihat ada baju perang itu. Apakah kepunyaanmu?" selidik Ali.

"Baju itu dijemur di rumahku. Tentu saja itu punyaku," terang pria Yahudi itu.

"Tapi aku yakin baju ini milikku," tegas Ali lagi. Sahabat Nabi SAW itu lantas menunjukkan beberapa ciri yang memang terdapat pada pakaian tersebut.

 
Namun, orang Yahudi itu bertahan pada argumentasinya. Ali kemudian mengajaknya ke pengadilan saat itu juga.
   

Sampailah keduanya di gedung pengadilan. Ali masuk, diikuti si Yahudi. Dengan mata kepalanya sendiri, orang kafir dzimmi itu melihat tidak ada perlakuan khusus terhadap sang khalifah.

Begitu Ali mengucapkan salam, seisi ruangan menjawabnya. Sesudah itu, tidak terjadi apa-apa.

"Wahai khalifah, silakan mengantre," kata hakim.

Ali pun menuju barisan orang-orang yang mengantre. Ia mengambil posisi di paling belakang. Beberapa lama kemudian, sang amirul mukminin akhirnya mendaftarkan perkaranya.

Tibalah giliran kasus Ali dan si Yahudi tadi digelar. Di hadapan mereka, sang hakim bertanya, “Apa pokok persengketaan kalian?”

"Saat aku sedang berjalan di depan rumah dia, aku mendapati sebuah baju perang sedang dijemur. Setelah mengamati baik-baik, aku yakin betul baju tersebut adalah kepunyaanku," terang Ali.

"Bagaimana menurut engkau?" tanya sang hakim kepada si Yahudi.

"Baju itu dijemur di rumahku, wahai Hakim. Aku mengatakan, baju perang itu adalah milikku," tegasnya.

"Apakah engkau bisa menghadirkan saksi-saksi yang dapat menunjukkan, itulah baju perang engkau?" tanya Hakim kepada Khalifah Ali.

"Yang tahu bahwa baju itu kepunyaanku adalah anak-anakku, Hasan dan Husain, serta istriku," ujar Ali.

 
Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut syariat, kesaksian anak atas orang tuanya--atau orang tua atas anaknya--tidak dapat diterima?
   

"Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut syariat, kesaksian anak atas orang tuanya--atau orang tua atas anaknya--tidak dapat diterima? Yang satu akan cenderung membenarkan yang lainnya,” ujar hakim, mengingatkannya.

Ali pun berpikir, kini yang tersisa dari para saksi adalah seorang perempuan, yakni istrinya sendiri. Sementara, syarat Islam mengharuskan, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh diganti menjadi satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. “Adakah mereka itu?" gumam sang khalifah dalam hati.

“Bagaimana?” tanya hakim lagi.

“Tidak ada. Aku tidak ada saksi seorang lelaki dewasa dan seorang perempuan,” jawabnya.

“Dengan demikian, selesai,” ujar hakim tersebut, “maka dengan ini, baju perang tersebut adalah milik si Yahudi.” Pengadil itu kemudian menyatakan, sidang selesai.

Kebetulan, persidangan tersebut merupakan yang terakhir di jadwal hari itu. Maka sang hakim pun turun dari kursinya, untuk kemudian menyalami Khalifah Ali.

Berjalanlah keduanya meninggalkan ruang sidang, seperti tidak terjadi apa-apa. Sementara, lelakiu Yahudi tadi berdiri kebingungan.

Dia heran, sebab belum pernah dalam hidupnya mengalami pengadilan yang selugas itu. Jelas dalam memandang tiap orang tanpa pandang bulu. Tidak ada yang diistimewakan, sekalipun salah satu pihak adalah orang nomor satu di seantero negeri. Apalagi, Ali sebagai pemimpin pun tidak merasa paling benar dan berkuasa.

 
Tidak ada yang diistimewakan, sekalipun salah satu pihak adalah orang nomor satu di seantero negeri.
   

Orang Yahudi tadi segera berlari menyusul sang khalifah dan hakim. "Wahai, Tuan-tuan, tunggu sebentar!"

"Ada apa?" tanya Ali keheranan.

"Apakah sudah selesai pengadilan ini?" tanya dia.

"Tentu saja. Baju tersebut milikmu meskipun aku yakin sekali bahwa itu milikku. Namun, hukum sudah memutuskan," ucap Ali.

"Sungguh, wahai Khalifah. Baju perang ini adalah milikmu. Aku mencurinya dua hari yang lalu," terangnya kemudian.

"Mengapa tidak engkau sampaikan di pengadilan tadi?" tanya sang hakim.

Orang Yahudi itu lantas menuturkan, sejak awal dia terus memerhatikan. Hingga akhirnya dia menyadari, betapa mengagumkannya sistem hukum Islam dan kepemimpinan Ali.

Sebagai orang yang lama tinggal di Irak, dia dan kaumnya terbiasa dengan perilaku yang sewenang-wenang, tanpa mengindahkan aturan negara.

“Seandainya kami berperkara dengan raja-raja terdahulu (sebelum Islam masuk ke Irak), pasti kamilah yang kalah dari penguasa. Apalagi, sebagai Yahudi kami biasa dianggap bukan warga negara,” kenangnya.

photo
Jamaah mengintip ke dalam Masjid Ali bin Abi Thalib yang ditutupi tembok dan pagar besi tak jauh dari Masjid Nabawi, Madinah, beberapa waktu lalu. - (Fitriyan Zamzami/Republika)

Ia sangat terkesan. Khalifah Ali justru mengajaknya ke pengadilan, alih-alih langsung merampas baju yang dinilai sebagai miliknya.

Di pengadilan pun, sang khalifah diperlakukan biasa saja. Ali tetap harus mengantre, sebagaimana warga umumnya.

Itu tidak mungkin terjadi pada era sebelum kedatangan Islam. Si Yahudi mengungkapkan, para hakim dan aparat saat itu memosisikan diri mereka sebagai bawahan raja. “Mereka pasti mengistimewakan raja di atas orang-orang biasa di pengadilan,” ucapnya.

"Maka saksikanlah oleh Tuan-tuan sekalian, aku bersaksi bahwa tidak ada zat yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah," kata pria itu, mengucapkan syahadat. Khalifah Ali dan sang hakim pun bertakbir.

Atiqah binti Zaid, Kesabaran Istri Empat Syuhada

Atiqah dikenal memiliki perangai yang lembut, paras yang cantik, dan berakhlak mulia

SELENGKAPNYA

Masuk Islam Usai Mencekik Nabi

Pendeta Yahudi ini memeluk Islam beberapa saat usai dirinya mencekik leher Nabi SAW.

SELENGKAPNYA

Ketika Nabi Menikahi Wanita Ahli Kitab

Seorang istri Nabi dikatakan berasal dari kalangan Ahli Kitab.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya