
Kisah
Masuk Islam Usai Mencekik Nabi
Pendeta Yahudi ini memeluk Islam beberapa saat usai dirinya mencekik leher Nabi SAW.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan keluarga termasuk sederhana. Walaupun bisa saja memiliki harta yang banyak dari perdagangan dan rampasan perang, Rasulullah SAW lebih menyukai sikap zuhud. Sebab, beliau lebih mengutamakan kebutuhan umat dan kemaslahatan Islam.
Sampailah suatu kali, Rasulullah SAW terpaksa berutang untuk memenuhi beberapa keperluan rumah tangganya. Beliau berutang kepada seorang Yahudi di Madinah. Namanya, Zaid bin San'ah.
Umumnya masyarakat Madinah mengenal Zaid tidak hanya sebagai pedagang, tetapi juga pendeta. Dia sangat ahli ilmu kitab Taurat sehingga dihormati kaum Yahudi di kota tersebut. Walaupun mengetahui kabar kenabian Rasulullah SAW, sebagaimana dinubuatkan dalam Taurat dan Injil, Zaid enggan menyatakan Islam.
Maka begitu Rasulullah SAW berutang kepadanya, Zaid melayaninya sebagai orang biasa. Keduanya lantas menyepakati tenggat waktu pembayaran.
Bulan demi bulan berlalu. Nabi SAW pada suatu hari memimpin majelis ilmu di Masjid Nabawi. Tempat itu penuh sesak oleh Muslimin yang dengan penuh perhatian menyimak ceramah Rasulullah SAW.
Tiba-tiba, datanglah Zaid bin San'ah melalui pintu masjid tersebut. Pendeta Yahudi ini lantas melangkah di antara jamaah, meminta mereka memberikan celah, agar dirinya bisa sampai ke saf terdepan.
Banyak sahabat Nabi SAW di sana merasa gusar. Apalagi, banyak dari mereka belum mengenali sosok lelaki yang tampaknya sedang terburu-buru itu.
Bukannya langsung duduk, Zaid yang kini sudah berada di saf terdepan justru berdiri tepat di belakang Rasulullah SAW. Dia lalu menarik kain serban yang melingkar di leher Nabi SAW. Karena perbuatannya itu, beliau seketika tercekik.
Melihat kejadian itu, seluruh jamaah di Masjid Nabawi berdiri. Mereka semuanya hendak menyerang pria asing tersebut. Umar bin Khattab yang berada dekat sekali dengan Nabi SAW berkata, "Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal kepala orang ini!" Tatapan al-Faruq sangat menyeramkan pada Zaid. Wajahnya juga merah padam menahan murka.
Nabi SAW memberi isyarat dengan tangan kanannya agar Umar dan seluruh hadirin tenang. Masih dalam keadaan tercekik, beliau kemudian berkata kepada Zaid.
"Wahai orang Yahudi, ada apa?" kata beliau—tanpa mengungkapkan nama Zaid bin San'ah.
"Kau berutang padaku, Muhammad! Aku tahu, kalian orang Quraisy sangat suka menunda-nunda pembayaran utang!" kata lelaki Yahudi itu.
"Bukankah belum tiba saatnya waktu pembayaran (sebagaimana disepakati)?" tanya Nabi SAW lagi.
"Saya tidak peduli. Bayar utangmu sekarang juga!" seru Zaid lagi, sembari melepas serban Nabi SAW.
Maka Rasulullah SAW memanggil Umar dan berkata, "Wahai Umar, ambilkan dari Baitul Maal sebanyak 20 sha' (sekira 40 kg) kurma untuk membayar utangku kepada orang Yahudi ini dan sebanyak 20 sha' kurma lagi."
"Wahai Rasulullah, 20 sha' untuk utang engkau, tetapi 20 sha' lagi untuk apa?" tanya Umar.
"Itu sebagai hukuman karena engkau telah menakut-nakuti dia," jawab Rasul SAW.
Dengan patuh dan taat, Umar keluar dari masjid dan berjalan menuju Baitul Maal. Dia diikuti oleh Zaid dari belakang.
Sepanjang perjalanan, Umar mencoba meredam kekesalan. Bagaimana mungkin seorang Yahudi bisa dengan pongahnya mencekik Rasulullah SAW tepat di hadapannya? Ingin sekali sahabat yang bergelar al-Faruq itu melampiaskan amarahnya kepada orang yang sedang berjalan di belakangnya ini.
Bagaimanapun, Umar bersikap sami’na wa attha’na kepada Nabi SAW. Beliau menyuruh suatu hal, maka hal itu saja yang dilaksanakannya.
Sampailah Umar dan Zaid di Baitul Maal. Sahabat Nabi itu lantas menyiapkan dua karung. Masing-masing akan diisi 20 sha' kurma.
Karung pertama yang tuntas diisi lantas diberikannya kepada pria Yahudi itu. Sementara Umar sedang mengisi karung kedua, orang yang baru saja mencekik Rasulullah SAW itu tiba-tiba mencegahnya.
"Wahai Umar. Tahanlah. Jangan kau masukkan kurma ke karung yang kedua itu," katanya.
Umar tidak peduli. "Aku hanya melaksanakan perintah Rasulullah!” katanya dengan nada tinggi.
"Wahai Umar, apakah kau tidak mengenal saya?"
"Saya tidak peduli!" jawab Umar ketus.
"Saya adalah Zaid bin San'ah."
Mendengarnya, Umar terkejut. "Jadi kamu Zaid bin San'ah!? Pendeta Yahudi itu?" tanya Umar setengah tak percaya.
"Benar. Akulah Zaid bin San'ah."
"Sebagai ahli Taurat, kau pasti tahu bahwa Muhammad adalah utusan Allah," ujar Umar.
"Benar. Aku mengetahuinya. Tapi, coba engkau pikir, wahai Umar, apa sebabnya aku nekad mencekik orang yang kalian (Muslimin) imani sebagai nabi? Aku melakukannya (mencekik Nabi SAW) seorang diri, tanpa seorang pun dari kaumku di belakangku. Bahkan, aku melakukannya di dalam masjid kalian. Apakah kau pikir aku sudah gila?" ujar Zaid.
"Mengapa kau melakukannya?" tanya Umar.
"Sungguh, telah kubaca seluruh Taurat. Dan aku sudah mendapati tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad. Hampir semua tanda itu ada padanya. Namun, tersisa satu tanda yang belum tampak jelas bagiku, yakni bahwa kasih sayangnya mengalahkan amarahnya," jelas Zaid.
"Maka, aku nekad melakukan tindakan tadi. Aku tahu, utang beliau (Nabi SAW) padaku belum jatuh tempo. Aku sengaja memancing emosinya kalian semua di dalam masjid. Aku sudah bertekad untuk mempertaruhkan nyawaku hanya untuk membuktikan, adakah tanda kenabian itu pada diri beliau."
"Dan kini aku percaya. Sungguh benar bahwa kasih sayangnya mengalahkan marahnya. Maka saksikanlah, wahai Umar, tidak ada zat yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah," tegas Zaid bin San'ah.
Ketika Ali ‘Kalah’ Lawan Yahudi di Pengadilan
Di muka pengadilan, Khalifah Ali bin Abi Thalib diperlakukan seperti halnya warga biasa.
SELENGKAPNYAKetika Nabi Menikahi Wanita Ahli Kitab
Seorang istri Nabi dikatakan berasal dari kalangan Ahli Kitab.
SELENGKAPNYARupa-Rupa Kesukaran Naik Haji di Masa Silam
Jamaah Indonesia pada masa lalu menghadapi banyak aral untuk bisa menunaikan haji.
SELENGKAPNYA