Nelayan membongkar ikan dari perahu setelah kembali dari melaut di pasar ikan tradisional Lampulo di Banda Aceh, Salasa (31/1/2023). | EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK

Ekonomi

'Ekspor Pasir Laut Ancam Ekonomi Nelayan'

Pemerintah mengatur pengendalian atas kegiatan pengelolaan hasil sedimentasi di laut.

JAKARTA -- Keputusan pemerintah membuka kembali ekspor pasir laut menuai penolakan dari kalangan nelayan dan aktivis lingkungan. Kebijakan ini dinilai mengancam kehidupan nelayan dan merusak ekosistem laut.

Ekspor pasir laut yang telah dihentikan selama dua dekade dibuka kembali lewat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Sebelumnya, pemerintah menyetop ekspor pasir laut dengan alasan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.

Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bidang Advokasi dan Perlindungan Nelayan Misbachul Munir mengatakan, penambangan pasir laut secara ekologi dapat meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai, menurunkan kualitas perairan laut dan pesisir pantai, berpotensi meningkatkan pencemaran pantai, dan menurunkan kualitas air laut dengan meningkatnya kekeruhan air laut.

photo
Ratusan nelayan dan petani tambak warga Desa Lontar berunjukrasa di kantor Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, menolak kegiatan penambangan pasir di desa mereka karena merusak lingkungan dan menghancurkan tambak ikan, beberapa tahun lalu. - (ANTARA)

Dampak lainnya, penambangan pasir dapat merusak wilayah pemijahan ikan dan nursery ground, merusak ekosistem mangrove, dan mengganggu lahan pertambakan. Selain itu, dapat mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun-temurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan, hingga kerentanan terhadap bencana di perkampungan nelayan.

Dia menegaskan, kerusakan daya dukung ekologi akibat pemanfaatan/penambangan pasir laut akan mengakibatkan terganggunya ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir. "Di antaranya adalah menurunnya pendapatan nelayan, biaya operasional melaut yang makin tinggi, dan larangan akses dan melintas di areal penambangan pasir laut, hingga hilangnya lokasi penangkapan ikan bagi nelayan tertentu, seperti nelayan pertorosan atau tadah arus di Surabaya,” kata Misbachul, Rabu (31/5/2023).

 
Penambangan pasir dapat mengubah pola arus laut yang sudah dipahami secara turun-temurun oleh masyarakat pesisir dan nelayan.
 

Ketua Umum KNTI Dani Setiawan menilai PP 26/2003 merupakan upaya komersialisasi laut. “Peraturan ini sesungguhnya menyembunyikan orientasi utama komersialisasi laut di balik kedok pelestarian lingkungan laut dan pesisir melalui pengelolaan hasil sedimentasi,” kata Dani.

Dani berpendapat, beleid itu menegaskan bahwa pemerintah mengalihkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak asasi setiap warga negara Indonesia terhadap lingkungan yang baik dan sehat, terutama di wilayah laut dan pesisir sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 28H Ayat (1) dan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjadi tanggung jawab sektor swasta atau pelaku usaha.

Peraturan itu, dia melanjutkan, juga dinilai lebih buruk dari Keputusan Presiden RI No. 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang dibuat oleh Presiden Kelima RI Megawati Soekarno Putri untuk mengendalikan dampak negatif pemanfaatan pasir laut bagi lingkungan, nelayan, dan pembudi daya ikan.

Dia menilai, PP 26/2023 juga merupakan langkah mundur dalam pelestarian ekosistem pesisir dan laut dengan kembali membuka perizinan usaha bagi penambangan pasir laut untuk tujuan komersial, bahkan untuk ekspor.

Rezim pengaturan hukum itu dinilai sengaja dimaksudkan untuk merevisi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut, aturan yang dikeluarkan delapan bulan pasca-KEPPRES No. 33/2002.

“Di masa lalu, ekspor pasir laut merupakan bisnis menggiurkan. Namun, juga telah merugikan negara jutaan dolar akibat ekspor ilegal pasir laut. Penambangan pasir laut menjadi tidak terkendali dan merusak lingkungan laut dan pesisir, mengancam kehidupan nelayan, dan menguntungkan negara lain,” kata Dani.

photo
Kapal Keruk dengan nomor lambung PB 3016 SINGAPORE mengangkat pasir dari dasar laut ke atas tongkang di Desa Lontar, Kec Tirtayasa, Serang, Banten, beberapa tahun lalu. - (ANTARA FOTO)

Seperti dikutip dari Reuters, Indonesia pertama kali mencabut izin ekspor pasir laut pada 2003. Hal itu kemudian ditegaskan kembali pada 2007 sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspor pasir laut ilegal.

Sebelum ada larangan, Indonesia adalah salah satu pemasok terbesar pasir laut untuk kebutuhan reklamasi di Singapura. Ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura mencapai rata-rata 53 juta ton per tahun dalam periode 1997 hingga 2002.

Berdasarkan laporan PBB pada 2019, Singapura merupakan importir terbesar pasir laut di dunia. Dalam dua dekade, Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dari tetangga. Kemudian, Malaysia mengikuti jejak Indonesia melarang ekspor pasir laut pada 2019. Saat itu, Malaysia menjadi pemasok utama pasir laut bagi Singapura.

Larangan ekspor pasir laut dari Indonesia telah menjadi bahan negosiasi antara Indonesia dan Singapura. Pada 2007, Singapura menuding Indonesia menggunakan kebijakan itu untuk menekan pemerintahnya dalam negosiasi perjanjian ekstradisi dan penetapan perbatasan. Perjanjian ekstradisi sudah berhasil ditandatangani tahun lalu.

Manajer Kampanye Walhi Parid Ridwanuddin menilai, kebijakan pemerintah yang kembali membuka ekspor pasir laut bertentangan dengan komitmen untuk menyehatkan ekosistem laut. Sementara, peneliti dari Greenpeace Indonesia, Afdillah Chudiel, menyebutkan tambang pasir laut dapat memperburuk krisis iklim. "Itu akan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil dan abrasi pantai," ujarnya.

photo
Sejumlah buruh harian melakukan penambangan pasir laut di pinggir pantai Desa Pero Bantang, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara, Timur, beberapa tahun lalu. - (ANTARA FOTO)

Diklaim bermanfaat
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menegaskan, kebijakan Presiden Joko Widodo soal pengerukan dan ekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan. Sebab, kegiatan itu akan didukung oleh teknologi.

"Enggak dong (tidak merusak lingkungan). Semua sekarang karena ada GPS (global positioning system) segala macam, kita pastikan tidak," ujar Luhut kepada wartawan di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Menurut dia, ekspor pasir laut bermanfaat bagi Indonesia meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah, dan sebagainya. Ia melanjutkan, pemerintah kini sedang melakukan pendalaman alur, agar laut di Tanah Air tidak semakin dangkal.

 
Ini (ekspor pasir laut) untuk kesehatan laut juga.
LUHUT BINSAR PANJAITAN, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi 
 

"Ini untuk kesehatan laut juga. Sekarang proyek yang satu besar ini Rempang (Batam). Rempang itu yang mau direklamasi supaya bisa digunakan untuk industri besar, solar panel," katanya.

Dalam bab III PP 26/2023 dicantumkan sejumlah langkah pengendalian hasil sendimentasi laut untuk mencegah kerusakan lingkungan dari aktivitas penambangan. Pembersihan hasil sedimentasi laut diharuskan menggunakan sarana yang ramah lingkungan dan memiliki sarana untuk memisahkan mineral berharga.

Sarana yang ramah lingkungan harus memenuhi empat kriteria. Keempatnya kriteria itu adalah tidak mengancam kepunahan biota laut tidak mengakibatkan kerusakan permanen habitan biota laut, tidak membahayakan keselamatan pelayaran, dan tidak mengubah fungsi serta peruntukan ruang yang telah ditetapkan.

 

Sambangi Eropa, Indonesia-Malaysia Tegaskan Tolak Diskriminasi Sawit

Negara anggota CPOPC disebut sudah mengimplementasikan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan.

SELENGKAPNYA

Jokowi Kebut Pembangunan Pabrik Baterai Kendaraan Listrik

Peletakan batu pertama pabrik baterai di Bantaeng ditargetkan pada September 2023.

SELENGKAPNYA

Digitalisasi dan Toko Buku yang Mati

Orang tua harus kreatif memperkenalkan buku fisik ke buku jenis digital.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya