
Safari
Subuh Berdarah di Rawagede
Ratusan warga sipil mati ditembus peluru.
Rawagede merupakan perkampungan yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Karawang. Kampung ini berjarak 10 kilometer dari pusat kota. Meski dapat dijangkau oleh kendaraan dari berbagai jurusan, tetapi jalan menuju Rawagede tak semulus jalan tol.
Sukarman, ketua Yayasan Sirna Raga, menceritakan, para pejuang menjadikan Rawagede sebagai markas gabungan pejuang (MGP) karena letaknya sangat strategis. “Termasuk, dulunya bisa dijangkau oleh kereta api,” katanya.
Markas utama yang digunakan merupakan salah satu rumah warga keturunan Tionghoa. Rumah itu luas dan permanen. Lokasinya sangat dekat dengan stasiun kereta api.
Di tempat ini, para pejuang dari berbagai kesatuan berkumpul. Seperti field preparation barisan hitam (FP BH) 88. Gabungan pejuang ini, tidak ikut serta hijrah ke Yogyakarta bersama pasukan Siliwangi. Mereka berada di Rawagede di bawah komando Lukas Kustario.
Akan tetapi, keberadaan para pejuang ini tercium Belanda yang kembali ingin menjajah Indonesia. Pasukan Belanda berniat melakukan penyerangan. Namun, niat tersebut terendus oleh Kepala Desa Tunggak Jati saat itu, Saukim. Saukim berpura-pura memihak pada Belanda. Namun, ia memberitahukan rencana Belanda ini kepada MGP.

Para pejuang kemudian memblokir jalan menuju Rawagede dari berbagai penjuru. Upaya tersebut berhasil. Para pejuang semakin meningkatkan kewaspadaan.
Lukas Kustario bersama kepala desa Suminta dan wakil kades Iyob Armada, berunding untuk memindahkan semua senjata pasukan dari Rawagede ke Tunggakjati. Mengingat markas mereka sudah diketahui Belanda.
Selanjutnya Lukas dengan pasukannya melanjutkan perjalanan ke Tunggakjati. Mereka membawa senjata bren, empil, sten.
Selain senjata, Lukas juga membawa pasukan dari berbagai kelaskaran. Jadi, yang tersisa di Rawagede tinggal rakyat tak bersenjata dan pamong desa.
Tanggal 9 Desember 1947, merupakan hari yang paling kelam bagi warga Rawagede. Pada hari itu menjadi peristiwa Subuh berdarah atas kekejaman Belanda.
Sekitar pukul 04.00 WIB saat itu, pasukan militer Belanda telah mengepung Rawagede. Padahal, kondisi cuaca saat itu sedang hujan deras.
Pengepungan ini diketahui sejumlah penduduk yang hendak beraktivitas. Ternyata, begitu mereka akan keluar dari Rawagede, penduduk yang berprofesi sebagai petani, anak gembala, dan pedagang ini dicegat oleh pasukan Belanda.
Pengepungan membuat warga Rawagede panik. Bersamaan dengan itu, dari arah timur suara senjata begitu nyaring.

Sejumlah penduduk yang berlarian tewas terkena peluru senjata Belanda. Tak hanya menembaki warga yang panik, Belanda juga menggeledah rumah penduduk.
Setiap pria dewasa dan anak laki-laki disuruh keluar. Dengan kedua tangan di belakang kepala, mereka berbaris membelakangi pasukan Belanda yang kemudian memberondong tembakan dari jarak dekat. “Belanda telah membantai warga Rawagede yang tak bersalah. Tujuannya, mencari Lukas Kustario,” kata Sukarman.
Korban kebiadaban Belanda ini mencapai 483 orang. Lima orang lainnya dibawa hidup-hidup oleh tentara Belanda. Karena peristiwa berdarah ini, pada 1996 sejumlah pengusaha se-Jawa Barat memprakarsai pembangunan Monumen Rawagede.
Kamon (57 tahun) cucu dari korban pembantaian yang juga penjaga Monumen Rawagede, mengatakan, monumen ini berdiri di atas tanah seluas 3.400 meter. Terdiri atas bangunan utama monumen dan area pemakaman korban kebiadaban Belanda.
Bangunan monumen ini berbentuk segi delapan. Kemudian memiliki anak tangga berjumlah 17. Piramida di atasnya berbentuk segi empat dengan ketinggian mencapai lima meter. Hal itu, melambangkan tanggal, bulan, dan tahun kemerdekaan Republik Indonesia.

Dengan membayar tiket masuk sebesar Rp 2.000, pengunjung bisa melihat patung yang terbuat dari lilin. Patung tersebut replika tentara militer Belanda yang membantai warga Rawagede. Melihat patung itu, kita akan ikut hanyut pada peristiwa berdarah 9 Desember 1947 silam.
Pemerintah Belanda melalui kedutaan besarnya telah meminta maaf kepada warga. Bahkan,telah memberikan kompensasi kepada ahli waris.
Namun, peristiwa ini tampaknya akan terus diingat oleh warga Rawagede. Meskipun dalam buku sejarah Indonesia, peristiwa Rawagede tak tercantum. Akan tetapi, warga di kampung ini siap memberikan informasi tentang sejarah kelam itu kepada pengunjung.
Di Sini markas Peta itu berada
Tugu Kebulatan Tekad, begitu namanya. Lokasi tugu ini, sekitar 300 meter dari rumah bersejarah. Tugu ini berada di Kampung Bojong Tugu, Desa/Kecamatan Rengasdengklok, 20 kilometer dari pusat Kabupaten Karawang.
“Dulu di sinilah markas Peta,” kata Idris Apandi (37 tahun) yang akrab disapa Kang Bewok.
Sehari sebelum merdeka, para pemuda menculik Sukarno dan Mohammad Hatta. Kemudian, kedua tokoh ini diamankan di markas Peta selama beberapa jam. Kemudian mereka dipindahkan ke rumah bersejarah milik Djiauw Kie Song.

Di tempat inilah, sebenarnya sang saka merah putih dikibarkan untuk kali pertama pada 16 Agustus 1945. Hal itu menandakan semangat para pemuda untuk memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah Indonesia merdeka, markas ini ditinggalkan oleh tentara. Tugu ini dibangun pada Juni 1950 untuk mengenang peristiwa penculikan bersejarah itu.
Kang Bewok mewarisi tanggung jawab kakeknya, Dulhamad. Sang kakek adalah salah satu pejuang Peta. Sesudah kemerdekaan, Dulhamid dipercaya menjadi juru kunci tugu.
Kemudian, perawatan tugu yang telah mengalami empat kali renovasi itu diserahkan kepada kedua anaknya hingga kini sampai ke tangan Kang Bewok.
“Awalnya yang menjaga tugu ini saya dengan adik yang bernama Maja. Namun, setahun kemarin adik saya meninggal, makanya diteruskan sendirian,” ujar Kang Bewok.
Disadur dari Harian Republika edisi 1 April 2012 dengan reportase oleh Ita Nina Winarsih.
Isyarat Perpisahan Rasulullah
Dalam Haji Wada, Nabi Muhammad SAW menyampaikan sempurnanya Islam dan tanda beliau dekati ujung usia.
SELENGKAPNYA