
Safari
Di Rengasdengklok Langkah Bermula
Rumah itu tetap yang lama, tapi lokasinya baru.
Jangan ke Rengasdengklok tanpa berkunjung ke rumah Djiauw Kie Siong. Saya mafhum saat mendengar saran itu.
Sejarah selalu mengaitkan peristiwa proklamasi kemerdekaan dengan Rengasdengklok. Dan, itu tak lepas dari penculikan Sukarno dan Mohammad Hatta oleh para pemuda sehari sebelumnya di kota itu. Di rumah bersejarah itu The Founding Fathers negeri ini bermalam.
Penculikan ini merupakan upaya para pemuda dan pejuang Pembela Tanah Air (Peta) untuk menjauhkan Sukarno-Hatta dari pengaruh Jepang. Mereka bermaksud menekan Sukarno- Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tanpa perlu menunggu keputusan dari Jepang. Apalagi, Jepang sudah menyerah kepada Sekutu sejak 15 Agustus 1945.
Aktivis pemuda mencatat, Rengasdengklok dipertimbangkan sebagai tempat paling aman. Pertama, Rengasdengklok merupakan wilayah yang mendapat penjagaan ketat dari segala penjuru. Kedua, berlatar belakang Laut Jawa memungkinkan penyelamatan melalui jalur laut di utara bila terjadi serangan mendadak.

Saya berusaha menelusuri sepenggal jejak sejarah itu dalam perjalanan ke Karawang. Siapa pun bisa mengakses ke rumah bersejarah ini dengan mudah.
Dari perempatan Tanjung Pura, tinggal naik angkot warna biru arah Pasar Rengasdengklok, cukup membayar Rp 4.000. Di sepanjang jalan menuju Rengasdengklok, area persawahan yang luas tak mengoleskan warna hijau dalam tatapan mata. Ini bulan ketiga. Yang terlihat hanyalah sisa-sisa bekas panen petani.
Dari pasar, dengan membayar tenaga si abang becak sebesar Rp 7.000, kita bisa langsung sampai halaman rumah Djiauw Kie Siong. Naik ojek cukup mengeluarkan Rp 5.000.
Ditata seperti aslinya
Rumah panggung bernuansa putih dan hijau ini terlihat asri dan dingin. Rumah di samping kiri Jalan Bersejarah Rengasdengklok Utara ini memiliki pekarangan yang cukup luas.
Ada tiga pohon mangga berukuran besar di sana. Dari luar, rumah ini tak berbeda dengan rumah penduduk lainnya. Akan tetapi, perbedaan itu yang sangat mencolok saat masuk ke dalamnya.

Dari pintu masuk rumah ini, terdapat ruang tamu yang cukup luas. Satu set kursi tamu zaman dulu masih menghiasi ruangan ini. Selain kursi, ada seperangkat meja makan. Di sebelahnya, terdapat lemari ukuran sedang.
Di atas lemari ini, berjejer rapi foto-foto tua. Salah satunya, foto Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta ibu negara Fatmawati. Selain itu, terdapat foto keluarga lainnya.
Foto dengan warna hitam putih itu, merupakan cerminan bahwa rumah tersebut memiliki perbedaan dengan rumah lainnya. Bahkan, menyimpan sejarah yang tak ternilai harganya. Selain foto, benda kenangan lainnya yaitu tempat pembaringan sementara Bung Karno dan Bung Hatta. Keduanya masih tertata rapi seperti aslinya.
“Ranjang yang dipakai Sukarno itu, sebenarnya bukan yang asli,” ujar Iin (59 tahun), cucu Djiauw Kie Siong.
Ranjang aslinya pada 1961 telah dibawa ke Museum Siliwangi di Bandung beserta satu set cangkir yang digunakan Sukarno. Namun, ranjang yang ada saat ini, baik bahan maupun ukirannya, dibuat menyerupai aslinya. Sementara ranjang yang digunakan Bung Hatta, masih yang asli.

Iin bercerita, pada 1945, Djiauw Kie Siong seorang petani. Berkat sawahnya, dia bisa membesarkan sembilan anaknya tanpa kesulitan. Padahal, bagi sebagian besar warga Rengasdengklok lainnya, tahun itu merupakan masa yang sangat sulit.
Generasi ketiga dari pemilik rumah bersejarah Rengasdengklok itu menuturkan, kakeknya yang memiliki rumah persis di bantaran Sungai Citarum yang melintasi Rengasdengklok. Di rumah inilah, pria keturunan Tionghoa itu hidup bersama istri dan sembilan anaknya.
Lelaki yang meninggal dunia pada 1964 itu memiliki rumah yang cukup besar pada masanya. Meskipun berdindingkan anyaman bambu, tapi tiang-tiang penyangga rumah terbuat dari kayu jati asli. Alhasil, rumah yang berpondasi batu alam ini, berbeda daripada rumah penduduk pada umumnya.
Rumah itu juga sangat dekat dengan markas para pejuang Peta. “Jaraknya hanya 100 meter dari markas Peta saat itu,” ujar Iin.

Dicabut dari pondasinya
Hanya semalam Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati, dan si kecil Guntur di rumah Djiauw. Namun, keluarga itu tetap memelihara kenangan bersejarah itu.
Sepuluh tahun pascaperistiwa penculikan itu, terjadi bencana alam. Ratusan kepala keluarga yang hidup di bantaran Sungai Citarum panik. Air Citarum meluap. Rumah bersejarah ini pun terendam.
Saat itu, kata Iin, keluarganya mengungsi ke tempat yang lebih aman. Rumah mereka dibiarkan berhari-hari terendam. Pada 1957 rumah bersejarah tersebut dipindahkan. Proses pemindahannya juga cukup unik.
Rumah itu dicabut dari pondasinya. Kemudian, rumah itu dipindahkan ke lokasi saat ini, 300 meter dari tempat sebelumnya. Di tempat baru ini, rumah bersejarah tersebut masuk dalam wilayah administrasi Kampung Kalijaya RT 01/09, Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok.
Rumah tersebut mendapatkan nomor urut ke 41. “Sejak 1957 hingga saat ini kami tinggal di rumah lama tapi lokasinya baru,” ujar Iin menjelaskan.

Selama mengurus rumah bersejarah ini, Iin dan keluarga belum sekalipun menerima bantuan biaya perawatan. Setiap bulannya Iin mengeluarkan biaya untuk listrik sebesar Rp 200 ribu. “Kalau ada kerusakan saya bersama kakak bergotong royong membiayainya,” cetusnya.
Pihak yang sering membantu adalah Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang. Bantuannya tak berbentuk uang tunai, tapi tenaga untuk memperbaiki kerusakan.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, lanjut Iin, tersiar kabar yang cukup santer bahwa rumah ini akan dijual. Saat itu harga yang beredar mencapai Rp 2 miliar.
Padahal, saat ini tak satu pun cucu atau cicit Djiaw Kie Song berniat melego rumah bersejarah tersebut. “Tapi, orang di luaran sana kian santer menanyakan kebenarannya,” ujar Iin.
Pemkab Karawang, menurut Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Karawang, Acep Jamhuri, sebenarnya serius ingin menguasai rumah bersejarah tersebut. "Tapi, selama ini nuansa politiknya sangat kental," katanya, "Sehingga banyak pihak yang hendak memanfaatkan suasana tersebut."
Disadur dari Harian Republika edisi 1 April 2012 dengan reportase oleh Ita Nina Winarsih.
Isyarat Perpisahan Rasulullah
Dalam Haji Wada, Nabi Muhammad SAW menyampaikan sempurnanya Islam dan tanda beliau dekati ujung usia.
SELENGKAPNYA