
Mujadid
Sosok dan Pemikiran Fakhruddin ar-Razi
Fakhruddin ar-Razi, sarjana Muslim dari abad ke-12 ini, dikenang sebagai filsuf dan ahli kalam yang kritis.
Fakhruddin ar-Razi (1149- 1209) merupakan salah satu ilmuwan paling cemerlang dalam sejarah peradaban Islam. Karya-karyanya mencapai ratusan jumlahnya, meliputi banyak bidang pula. Banyak ranah ditekuninya; mulai dari kedokteran, astronomi, matematika, logika, fisika, kalam, fikih, ushul fikih, hingga tafsir Alquran.
Dalam bidang tafsir, karyanya yang sampai kini menjadi bacaan masyhur adalah Mafatih al-Ghaib: At-Tafsir al-Kabir li Alquranul Karim. Adapun dalam disiplin fikih dan ushul fikih, ia telah menulis buku al-Mahshul fil Fiqh dan al-Mahshul fil Ushul Fiqh. Untuk kajian kalam dan filsafat, dua karyanya yang berpengaruh antara lain al-Qadha wa al-Qadar, al-Mulakhash fil Filsafah, al-Mathalib al-'Aliyah fil Hikmah, dan al-Mabahits al-Masyraqiyyah.
Tokoh dari abad ke-12 Masehi ini adalah seorang intelektual yang gemar melakukan perjalanan. Berbagai kota pusat ilmu pengetahuan telah dikunjunginya. Tidak hanya berguru. Pada akhirnya, ia menjadi tempat orang-orang menimba ilmu.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Husayn at-Taymi al-Bakri at-Tabaristani. Pria keturunan Abu Bakar ash-Shiddiq ini lahir di Ray (kini sekitar Teheran, Iran) dan wafat di Herat (Afghanistan) dalam usia 61 tahun.
Awalnya, Fakhruddin ar-Razi mendapatkan pendidikan dari sang ayah, Dziya'uddin Umar, seorang pakar mazhab Syafii dan Asy'ariyah. Setelah ayahandanya wafat, ia berguru pada sejumlah ulama terkemuka. Di antaranya adalah Ahmad bin Zarinkum al-Kamal, Muhammad al-Baghawi, dan Majdin al-Jilly. Sosok yang tersebut akhir itu merupakan pengikut Imam al-Ghazali. Selain itu, Fakhruddin ar-Razi juga menimba ilmu kalam dari Kamaluddin as-Samawi.

Semasa mudanya, ar-Razi memelihara bacaan dan hafalan Alquran. Melewati usia belasan tahun, minatnya terhadap sains mulai muncul. Lantaran kegeniusannya, dalam usia 35 tahun dirinya sudah memahami seluk-beluk kitab fenomenal dalam bidang kedokteran, Al-Qanun fil al-Tibb karya Ibnu Sina.
Dalam usia muda, ia mengunjungi Khawarizmi dan Transoxania untuk berinteraksi dengan ulama-ulama setempat. Di samping mengejar ilmu, perjalanannya ke wilayah-wilayah di Asia tengah itu juga menjadi awal baginya mendapatkan dukungan dari penguasa. Misalnya, Sultan Ghiyath al-Din dari Dinasti Ghazna serta penggantinya, Syihabuddin.
Namun, sang ilmuwan juga menjalin pertemanan dengan lawan politik sultan Ghazna tersebut, Shah Khawarizmi Alauddin Takesh beserta putranya, Muhammad. Dengan dukungan dari kalangan elite kerajaan, pada zamannya Fakhruddin ar-Razi termasuk cendekiawan yang hidup mapan. Selain dua kota tersebut, dirinya juga menyambangi Khurasan, Bukhara, Samarkand, dan India.
Memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, Fakhruddin ar-Razi senang berdebat dengan orang-orang yang berseberangan pandangan. Dia tidak suka dengan orang yang lemah dalam penalaran atau terburu-buru menyimpulkan argumen.
Polemik keilmuan yang dilakukannya acap kali begitu keras. Salah satu pihak yang mengecamnya adalah kelompok Karramiyah, yang mendukung penafsiran literal atas teks-teks sumber Islam.
Bahkan, kelompok ekstrem dari pendukung Ismailiyah dan Hanbali disebut-sebut pernah mengancam nyawanya. Beberapa riwayat mengatakan, kematian Fakhruddin ar-Razi terjadi karena minumannya diracun. Di Herat, kota tempatnya mengembuskan nafas terakhir, dirinya mengajar pada sebuah madrasah yang khusus dibangun Sultan Ghiyath untuknya.
Dinamika pemikiran
Ayman Shihadeh dalam bukunya, The Teleological Ethics of Fakhr al-Din al-Razi, menjelaskan perkembangan pemikiran tokoh ini. Shihadeh menggarisbawahi, cukup banyak karya-karya penting ar-Razi yang tidak sampai zaman modern. Kebanyakan buah tangannya ditulis dalam bahasa Arab, sedangkan beberapa di antaranya berbahasa Persia.
Tulisan-tulisan awal dari Fakhruddin ar-Razi masih seputar mazhab Asy'ariyah. Misalnya, kitab Ushuluddin dan Isyara. Kemudian, dalam kitab Nihayat al-Uqul, ar-Razi memperkenalkan logika Aristoteles untuk ilmu kalam. Namun, hal ini masih mempertahankan pandangannya yang saat itu khas mazhab Asy'ariyah.
Belakangan, Fakhruddin ar-Razi memakai metode eklektis untuk mengonstruksi pemikirannya tentang filsafat dan kalam. Oleh karena itu, ia mendalami pula filsafat dengan menulis Al-Mabahits al-Masyraqiyyah dan Al-Mulakhash fil Filsafah. Pada akhirnya, ia berfokus pada upaya memadukan (sintesis) antara filsafat dan kalam.
Menurut Dr Syamsuddin Arif, peneliti senior INSISTS, sintesis antara kalam dan filsafat telah dimulakan oleh Imam al-Ghazali, salah seorang pemikir yang memengaruhi Fakhruddin ar-Razi. Beberapa generasi kemudian, ar-Razi sendiri melanjutkan upaya pemaduan tersebut. Dalam khazanah pemikiran Islam, sumbangsih cerdik cendekia ini berdampak cukup besar.
Kitabnya, al-Mathalib al-'Aliyah fil Hikmah, dianggap sebagai karya yang paling penting tentang filsafat dari Fakhruddin ar-Razi. Dalam buku tersebut, ia menjabarkan argumen mengenai eksistensi Sang Pencipta sebagai syarat mutlak (wajib al-wujud) daripada eksistensi alam semesta. Keberadaan makluk ada lantaran eksistensi wajib al-wujud. Dengan kata lain, Tuhan merupakan sumber dan sebab utama segala sesuatu.
Maha Elkaisy-Friemuth dalam artikelnya, “God and Creation in al-Razi Commentary on the Quran”, memaparkan beberapa gagasan yang terhimpun dalam al-Mathalib. Ar-Razi mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu” (al-fi'l wa al-tark). Dengan kata lain, zat yang berkuasa adalah yang mampu melakukan sesuatu dan kebalikan dari sesuatu itu.
Menurut ar-Razi, jika Tuhan tidak melakukan sesuatu, maka ketiadaan akan tetap tiada. Adapun jika Tuhan melakukan sesuatu, ketiadaan maka menjadi ada. Alam semesta bergantung pada apa saja yang Tuhan lakukan.
Dengan demikian, konsep bahwa Tuhan merupakan zat yang mampu melakukan sesuatu atau menahan diri dari melakukan sesuatu tidak kukuh lagi. Sebab, kata dia, Tuhan tidak dapat menahan Diri-Nya dari melakukan sesuatu.
Sampai pada poin ini, tampaknya Fakhruddin ar-Razi sejalan dengan beberapa filsuf yang berpandangan bahwa Tuhan selalu aktif melakukan sesuatu. Akan tetapi, bagi ar-Razi, keaktifan itu bukan bagian dari sifat-sifat wajib Tuhan, melainkan semata-mata konsekuensi logis dari ke-Mahakuasaan Tuhan.
Dalam kitab yang sama, Fakhruddin ar-Razi juga membahas tentang pengetahuan. Dia mendefinisikan pengetahuan sebagai hubungan antara subjek yang mengetahui dan objeknya. Hal ini antara lain berarti adanya citra atau konsep objek tersebut dalam benak si subjek. Beranjak dari sini, ar-Razi membahas pula tentang dua konsep dalam kaitannya dengan Tuhan: tashshawur dan tashdiq.
Tashshawur adalah citra objek yang berada di dalam benak subjek. Adapun tashdiq merujuk pada penilaian subjek atas objek itu dan hubungannya dengan objek-objek lainnya.
Menurut ar-Razi, Tuhan mengetahui segala sesuatu hingga detail-detailnya melalui tashdiq. Tuhan juga pasti mengetahui apa-apa yang tidak eksis karena inilah syarat mutlak bagi ke-Mahakuasaan-Nya. Yakni, berkuasa untuk mengetahui "sesuatu yang tidak ada" sebelum Dia menciptakannya atau menjadikannya ada.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Dana Narkoba untuk Pemenangan Pemilu 2024?
Bareskrim mengendus adanya indikasi pendanaan politik dari uang kejahatan narkoba.
SELENGKAPNYAMelacak Sebab Mundurnya Peradaban Islam
Melalui karyanya ini, ekonom Umer Chapra memaparkan pelbagai hipotesis di balik kemunduran umat Islam.
SELENGKAPNYAZiarah ke Masjid Nabawi
Bagi jamaah haji, Masjid Nabawi memiliki pesona tersendiri dengan segala nilai sejarah dan spiritualnya.
SELENGKAPNYA