Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Raffles dan Kegigihan Ulama

Raffles meminta organisasi orang-orang Nasrani agar mencari jalan keluar mengimbangi para mubaligh Islam.

Oleh ALWI SHAHAB

Sir Thomas Stamford Raffles, yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris (1811-1816), dalam bukunya History of Java pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Indonesia, khususnya Betawi. Raffles memiliki kediaman di Rijswijk (kini Jalan Segara) yang kini menjadi Bina Graha, bersebelahan dengan Istana Negara.

Raffles dikenal sebagai letnan gubernur jenderal yang banyak memberikan perhatian terhadap kesenian dan kebudayaan. Pada salah satu pidatonya dalam peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap sebagai Lembaga Kesenian yang anggota-anggotanya beragama Kristen, Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama Indonesia dalam menyebarkan Islam.

Pada masa pemerintahannya, pada awal abad ke-19, Alquran sudah menjadi bacaan di kampung-kampung. Umat Islam lebih memahami tulisan Arab yang disebut Arab Melayu katimbang tulisan latin. Inilah yang membuat penguasa Inggris khawatir terhadap perkembangan Islam.

 
Pada masa pemerintahannya, pada awal abad ke-19, Alquran sudah menjadi bacaan di kampung-kampung.
 
 

Raffles meminta organisasi orang-orang Nasrani agar mencari jalan keluar mengimbangi para mubaligh Islam. "Jika sukses para mubaligh itu terus menerus dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan," tegas Raffles.

Perkembangan Islam yang pesat itu juga dikhawatirkan oleh  Prof C Snouck Hurgronje -- seorang orientalis Belanda pada abad ke-20. Setidak-tidaknya upaya Kristenisasi pihak kolonial sulit mengubah keyakinan orang Islam untuk beralih agama. Menurutnya, Islam adalah musuh utama mereka. Keturunan Arab, bangsa yang melahirkan Islam, dengan sendirinya dianggap musuh utama pula.

Untuk itu, pada tahun 1925 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak lembaga pendidikan pribumi. Tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini dikeluarkan pemerintah kolonial lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir (1905) banyak pendidikan Islam bermunculan.

 
Untuk itu, pada tahun 1925 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak lembaga pendidikan pribumi.
 
 

HAMKA yang selama bertahun-tahun pernah tinggal di perkampungan Betawi juga mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi dalam memeluk Islam meski menghadapi halangan dari pemerintah kolonial. Menurutnya, antara penjajah dan anak negeri sebagai minyak dan air. Meski keduanya dimasukkan ke dalam satu botol tapi tidak bisa bercampur.

Zikir, tahlil, ratiban, dan maulid Nabi sejak dulu menjadi santapan warga Betawi berkat peran dan kegigihan para ulamanya. Kita boleh berbangga, 350 tahun dijajah Belanda dengan upaya Kristenisasinya, namun jarang sekali orang Betawi atau Jakarta yang masuk Kristen. Meskipun kehidupan mereka kala itu sangat miskin. Sementara, warga Betawi yang berpunya memilih untuk menyekolahkan putranya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah dan Madinah.

Menurut HAMKA, pada tahun 1925 ketika Raja Ali mengaku kalah pada Ibnu Suud, dia meminta supaya orang-orang besar, selain kerabatnya, para tokoh ulama Betawi dibebaskan. Permintaan ini disanggupi oleh Raja Saud yang kala itu memimpin Arab Saudi.

Tahun 1939 Indonesia mengirimkan jamaah haji ke Tanah Suci. Tapi tidak lama kemudian terjadi Perang Dunia II. Mereka tidak bisa pulang ke tanah air, karena zona laut ketika itu dinyatakan sebagai daerah peperangan. Raja Saud juga memberikan izin kepada para jamaah ini untuk tinggal di negaranya, sehingga menambah jumlah mukimin Indonesia di tanah suci.

 
Tahun 1939 Indonesia mengirimkan jamaah haji ke Tanah Suci. Tapi tidak lama kemudian terjadi Perang Dunia II.
 
 

Pada abad ke-19, bahkan jauh sebelumnya, banyak ulama Betawi belajar pada Sayid Alwi Almaliki, ayah Sayyid Muhammad Al Maliki. Ketika tahun 2002 saya umroh ke tanah suci, sempat mendatangi kediaman Sayyid Muhammad Al Maliki sedikit di luar kota suci Mekah.

Ketika itu, saya beserta rombongan dari Jakarta shalat magrib sampai Isya diselingi ratiban dan zikir. Setelah shalat Isya, majelis Al Maliki yang juga dihadiri sejumlah ulama dari Afrika dan Arab Saudi, membaca kisah maulid Nabi Muhammad saw yang menurut mazhab pemerintah Saudi tidak dibolehkan.

Menurut keterangan, pihak kerajaan membolehkan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti Maulid khusus di kediaman Sayyid Muhammad Al Maliki. Bahkan, ketika beberapa tahun lalu beliau meninggal dunia, Raja Abdullah memberikan penghormatan kepadanya.

Di sini saya dapati sekitar 200 pelajar dari Indonesia, termasuk para mukimin yang telah menjadi warga negara Arab Saudi. Di Indonesia banyak lulusan Al-Maliki yang mendirikan pesantren dan majelis taklim di Indonesia.

Di antara ulama Betawi yang terkenal di Tanah Hejaz (sebutan untuk Arab Saudi ketika itu) terdapat Shaikh Junaid Al-Betawi. Dia ulama kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Guru Mujitaba, seorang ulama Betawi terkemuka, juga mendapatkan pendidikan di Arab Saudi. Muridnya antara lain guru Mansyur yang telah menulis 19 buah buku berbahasa Arab.

 
Selain di Tanah Suci, banyak ulama Indonesia yang mendapat pendidikan di Mesir.
 
 

Selain di Tanah Suci, banyak ulama Indonesia yang mendapat pendidikan di Mesir, bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI, seperti Dr HA Nahrawi Abdul Salam, lulusan Kairo. Sementara, Habib Usman bin Yahya (lahir di Pekojan 1882), yang pernah bermukim di Mekah selama tujuh tahun, berguru pada Syaikh Dahlan, mufti Mekah. Kemudian, Habib Usman ke Hadramaut, Kairo, Tunisia, Persia dan Suriah, kemudian diangkat sebagai mufti Betawi dan wafat pada 1913.

Habib Usman sangat produktif menulis. Tidak kurang 47 kitab karangannya kini masih disimpan di Arsip Nasional. Dalam bukunya, Risalah Dua Ilmu, ia membagi ulama dalam dua golongan, yakni ulama dunia dan ulama akhirat.

Menurutnya, ulama dunia tidak ikhlas, materialistis, ambisi kedudukan, sombong, dan takabur. Sedangkan ulama akhirat ikhlas, tawadhu, dan mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apapun -- lillahi taala.

Disadur dari harian Republika edisi 27 September 2009. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. beliau wafat pada 2020. 

Keutamaan Menahan Emosi

Menjadi orang yang kuat adalah mampu menahan atau mengendalikan emosi.

SELENGKAPNYA

Jaringan Ulama di Selatan Jawa

Jaringan ulama sangat berperan dalam penyebaran Islam di wilayah selatan Jawa.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya