Surau Puang Mellong | Daan Yahya/Republika

Sastra

Surau Puang Mellong

Cerpen Chaery Ma

Oleh CHAERY MA

Surau yang bernama Al-Ikhlas itu lebih familiar disebut Surau Puang Mellong, hingga kini, hingga silih bergantinya orang-orang. Selamanya mungkin akan dikenang seperti itu, satu-satunya jamaah yang bertahan hingga hari berganti, bulan berganti, tahun berganti.

Satu-satunya jamaah yang lebih sering merangkap menjadi pemeran tunggal: menjadi muazin, kemudian imam, kemudian makmum juga, kemudian tukang bersih-bersih. Tak ada yang mengalahkan pengabdian Puang Mellong terhadap surau itu, yang kalau keluar kota akan segera buru-buru pulang karena tidak ada yang azan di surau, katanya.

Padahal ada juga orang yang buru-buru pulang, untuk memberi makan ayam-ayamnya, untuk menyiram tanamannya. Di sepanjang jalan pulang, biasanya orang-orang dari berpesiar di luar kota itu saling mengeluh tentang siapa yang peliharaannya paling tidak terurus.

Hanya pria menjelang tujuh puluh tahun itu memilih bergumam menyalahkan dirinya sendiri berkali-kali, seharusnya dia tidak menuruti ajakan kepala warga untuk meramaikan pesta rakyat di kecamatan, seharusnya dia di rumah saja mengurus surau. Oleh karena itu, jika ada yang berniat memisahkan Puang Mellong dengan surau itu, adakah yang lebih tidak berperikemanusiaan dari itu?

***

Semua bermula saat si Cantik, anak pengusaha galian di Kampung Sana Sini itu menghebohkan penduduk sekitar karena keinginannya memeluk agama Islam. Si Cantik seperti bunga mekar yang dikelilingi kumbang-kumbang jalan, yang ramah orangnya, santun tutur katanya.

Para pemuda mulai saling mengintimidasi tentang siapa yang pantas dan paling pantas mendapatkan si Cantik. Para perempuan menaruh kagum, para lelaki menaruh cinta. Namun, karena berbeda keyakinan, para lelaki cari aman dengan memilih mundur satusatu, memandang si Cantik dari balik jendela saja, kemudian membuat skenario sendiri di kepalanya. 

Santernya si Cantik akan menjadi seorang mualaf, seperti kemarau dan embun yang hadir dalam satu waktu, menyejukkan. 
 

Santernya si Cantik akan menjadi seorang mualaf, seperti kemarau dan embun yang hadir dalam satu waktu, menyejukkan. Namun, kemudian yang tak kalah santernya dengan hadirnya berita yang datangnya tiba-tiba: si Cantik tidak jadi mualaf.

Para perempuan mulai saling berkumpul di teras-teras rumah, para lelaki di pos-pos ronda mencari tahu persoalan yang sama: apa yang menyebabkan si Cantik batal menjadi mualaf? Berhari-hari menjadi perbincangan, dan yang diperbincangkan tak pernah keluar rumah lagi setelah itu.

Ada yang bilang ayahnya si bos besar itu tidak setuju, ada yang bilang si Cantik telah dibawa ke luar kota. Dari sekian penyebab-penyebab yang bermunculan, hanya satu yang membuat penduduk geram, tentang Puang Mellong, dan satu-satunya penyebab paling jelas yang membuat si Cantik batal mualaf. Beredar kabar dari mulut ke mulut, pernah suatu hari Puang Mellong mengumandangkan azan dan si Cantik seperti orang kesurupan melompat dari tidurnya.

“Suara apa itu?”

“Itu suara azan, Nona.” 

Kenapa suara azannya tidak sama dengan yang sering saya dengar, baru pertama kali saya mendengar suara azan sejelek ini.”

Sudah. Titik. Si Cantik batal mualaf dan dia hilang tertelan bumi.

Tentang azan Puang Mellong, penduduk di sini pun baru benar-benar terbangun dari tidur panjangnya selama ini, sepertinya si Cantik juga begitu. Sebelum-sebelumnya tidak ada yang benar-benar memperhatikan azan Puang Mellong, atau ada yang memperhatikan tapi tidak peduli.

Bersuara cempreng dengan di tengah-tengah azan lebih sering terputus napasnya karena sesak, pernah juga batuk berkepanjangan. Kemudian anak-anak kecil akan tertawa cekikikan sambil menirukan, menjadikannya lelucon berhari-hari. 

Hingga malam harinya, para lelaki di pos ronda mulai berunding bagaimana caranya memisahkan Puang Mellong dengan surau itu. 
 

Hingga malam harinya, para lelaki di pos ronda mulai berunding bagaimana caranya memisahkan Puang Mellong dengan surau itu, sekaligus pembalasan atas perbuatan Puang Mellong yang menyebabkan si kembang Kampung Sana Sini semakin sulit untuk mereka miliki.

Mulanya mereka saling tunjuk tentang strategi apa yang harus mereka tempuh, kemudian saling tunjuk kembali tentang siapa yang akan menjalankan strategi itu. Mereka menghabiskan waktu pada adegan saling tunjuk. Dan berhasil menunjuk Sholihun, bocah kemarin sore yang kerjanya lebih banyak tidur dengan bekas iler yang tidak pernah lepas dari sudut mulutnya.

***

Mencuri pengeras suara, menjadi satu-satunya jalan supaya azan Puang Mellong tidak terdengar lagi. Tentu saja Sholihun tidak perlu melakukan upaya keras untuk menyelesaikan strategi ini—selain upaya keras melawan kantuknya sendiri yang sering menyerang tiba-tiba.

Sholihun beraksi pada waktu tengah malam, dengan mudahnya mengambil pengeras suara dari surau yang dari dulu memang tidak pernah terkunci dan menyembunyikannya di rumah Badrun—pemimpin kelompok mereka. Strategi yang berhasil, karena seminggu lamanya tidak pernah terdengar lagi suara azan dari surau itu.

Mereka merayakan keberhasilan di pos ronda, sambil tukar berita, kalau-kalau ada kabar dari si Cantik yang sudah tidak pernah terlihat lagi. Tak lupa si Sholihun dijejali rokok sepuluh batang, juga kacang rebus yang bisa membuat diare.

Tapi, sepertinya kesenangan mereka tak berlangsung lama. Siang bolong lebih tepatnya, suara azan Puang Mellong dengan sesekali diselingi batuk kembali berkumandang. Yang tertidur melompat, yang memang sudah terbangun kesurupan. Berakhir pada gigitan bibir kecele ketika mendapatkan kenyataan kalau Puang Mellong baru pulang dari ibu kota kecamatan membawa pengeras suara baru.

Yang kejernihan suaranya lebih bagus dari sebelumnya, yang lebih kuat meskipun dibanting berkali-kali, yang bisa ditenteng kemana pun Puang Mellong pergi, yang tidak pernah jauh dari tangan Puang Mellong kini, yang dibawanya pulang ke rumah, kemudian dibawanya kembali ke surau. Pekerjaan baru Puang Mellong saat ini, menjadi penjaga pengeras suara. 

Siang bolong lebih tepatnya, suara azan Puang Mellong dengan sesekali diselingi batuk kembali berkumandang. 
 

Kemudian para lelaki itu kembali berunding di pos ronda, dimulai saling tunjuk tentang siapa yang seharusnya menjalankan strategi berikutnya, kemudian bubar satusatu menyisakan suara kodok yang habis diguyur hujan sepanjang hari.

***

Surya yang meskipun sudah berusaha menolak segala cara pada mulanya, tapi dia berakhir juga di sini, di jalan yang sering dilalui Puang Mellong dengan sepeda ontelnya. Memecahkan ban sepeda Puang Mellong, adalah strategi mereka berikutnya. Rusaknya sepeda Puang Mellong sama halnya terputusnya akses Puang Mellong untuk ke surau.

Tak ada yang tidak mengenal sepeda ontel tua tersebut. Telah digunakan Puang Mellong puluhan tahun lamanya, satu-satunya kendaraan yang tidak pernah absen mengantarnya ke surau yang jaraknya memang terlalu jauh jika ditempuh jalan kaki.

Surya sudah menabur paku-paku kecil di titik jalan yang pasti dilewati sepeda ontel itu dengan pikiran yang kacau. Jika memang benar ban sepeda itu sampai bocor, Puang Mellong tidak akan semudah itu memperbaikinya sesegera mungkin. Bengkel hanya ada di ibu kota kecamatan yang jaraknya lumayan jauh.

Tapi bagaimana kalau tidak berhasil? Tapi memang lebih baik tidak berhasil, kasihan Puang Mellong. Surya hanya menjalankan tugas ini atas dasar kesetiakawanan. Bagaimana kalau paku itu ternyata tidak hanya menusuk ban sepedanya, tapi kakinya juga.

Surya bolak-balik menabur, kemudian mengumpulkannya kembali, menabur lagi, mengumpulkannya lagi, sampai dari kejauhan terdengar suara kring kring ontel yang amat dihapalnya. Paku-paku yang sudah terlanjur dihambur barusan tidak sempat lagi dikumpulnya, dia melompat mencari tempat persembunyian yang jauh dari lampu jalan.

Berharap Puang Mellong memutar haluan, atau tiba-tiba kebelet buang air. Belum sempat selesai harapan-harapan si Surya yang sudah memenuhi kepalanya dari tadi, terdengar bunyi "bum!", sepeda ontel itu oleng, kemudian terjatuh, pengeras suara terpelanting, pemiliknya meringis.

Surya terdiam seperti patung, masih tak percaya dengan perbuatannya. Suara hatinya ingin segera buru-buru pulang, bersembunyi di bawah selimut, tapi suara hati lainnya tak tega melihat Puang Mellong yang bahkan untuk bangun pun terlihat kesusahan. Bagaimana kalau ada kendaraan lewat nantinya kemudian menabrak Puang Mellong? Bagaimana kalau paku-paku itu benar menusuk di kulitnya.

Satu kakinya sudah melangkah ingin membantu Puang Mellong. Namun, di sisi lain, tertahan begitu suara-suara lain mulai bermunculan: Bagaimana kalau Puang Mellong tahu kalau itu perbuatanmu?

Bagaimana kalau Puang Mellong nantinya melapor ke polisi? Suara-suara yang datangnya paling belakangan itu telah memenangkan hati Surya yang lainnya. Dia berbalik ke belakang, meninggalkan Puang Mellong masih dengan rintihannya dan perasaannya yang semakin tak karuan, kemudian dia menangis seperti anak kecil di bawah selimut begitu sampai di rumah. 

Bagaimana kalau Puang Mellong nantinya melapor ke polisi? 
 

Besoknya, orang-orang pada ramai membicarakan Puang Mellong, yang setelah jatuh ada orang berbaik hati yang membawanya ke puskesmas. Kata orang-orang lagi, tubuhnya luka-luka dengan tusukan paku.

Kemudian ditimpali orang-orang lagi, kenapa ada orang yang tega ingin mencelakakan Puang Mellong. Kemudian malamnya Surya dan rombongannya kembali berkumpul di pos ronda, dengan keheningan yang tak seperti biasanya. Entah mau merayakan atau berduka. Sedikit banyaknya, ada segumpal rasa bersalah di hati mereka, hati Surya paling utama.

Puang Mellong bukan orang jahat. Hidupnya sebatang kara sejak istrinya, Puang Norma, meninggal puluhan tahun lalu. Hidup Puang Mellong pernah dihabiskan bersama si Badrun kecil, si Sholihun kecil, si Surya kecil, juga yang lainnya yang ada di situ.

Dulunya, mereka pernah menghabiskan sisa hari di halaman surau, berlarian mengambil air wudu begitu kring-kring ontel Puang Mellong terdengar dari kejauhan, saling memercikkan air wudu, kemudian masuk surau dengan meninggalkan jejak pasir yang lebih sering menempel di telapak kaki.

Puang Mellong yang akan membersihkannya lagi setelah itu, kemudian mengajak anak-anak untuk mendengarkan ceritanya tentang kehidupan-kehidupan orang-orang dulu yang entah apakah memang seperti itu kenyataannya atau sekadar khayalan Puang Mellong semata. Kemudian semakin ke sini, anak-anak itu hilang satu-satu, tidak pernah muncul kembali di surau. 

Berhari-hari tak pernah terdengar lagi suara azan dari surau itu, bahkan sampai hitungan bulan. 
 

Berhari-hari tak pernah terdengar lagi suara azan dari surau itu, bahkan sampai hitungan bulan. Puang Mellong ada riwayat diabetes sehingga adanya tusukan paku berdampak parah pada dirinya.

Lukanya tidak kunjung kering dan tubuhnya yang semakin tidak kuat lagi. Hidupnya kini hanya di rumah, memandang surau dari kejauhan, kemudian menangis sejadi-jadinya, demikian kata orang-orang yang pernah menjenguknya.

***

Tapi, suatu hari, penduduk di Kampung Sana Sini itu gempar. Di siang bolong terdengar azan yang berbeda. Kali ini, lebih syahdu. Lihatlah, surau Al-Ikhlas yang dulunya penghuninya cuma Puang Mellong seorang, menjadi ramai. Penduduk Kampung Sana Sini seperti digerakkan oleh suara azan itu untuk berkumpul di surau, entah untuk salat atau hanya sekadar menjawab rasa penasaran mereka, tentang siapa sosok yang melantunkan azan.

Dari tempat duduknya, tepat di belakang muazin, Puang Mellong menangis sesenggukan layaknya anak kecil. Telah berpuluh-puluh tahun lamanya dia merindukan suasana seperti ini di tempat tinggalnya. Suara azan yang bagus, surau yang penuh jamaah.

Sesungguhnya, hal itu menjadi ketakutannya sekian lama, ketika dari cerita-cerita orang tua terdahulu bahwa akan ditimpa azab kepada penduduk negeri apabila tidak pernah terdengar azan dari surau-suraunya.

Pernah dia mendengarkan kisah itu, dulu, dan selalu dipegangnya hingga kini. Kisah yang membuatnya bertahan untuk selalu mengumandangan azan, sekali pun suaranya tidak bagus, sekalipun jamaahnya cuma dia seorang. Dia tidak pernah melakukan hal yang bermanfaat untuk orang banyak selama ini.

Kalau pun kisah itu memang betul adanya, dia ingin bisa bermanfaat dengan jalur seperti itu. Hingga di belakang doa-doanya, dia selalu memohon untuk tidak mati dulu sebelum ada yang bisa menggantikannya.

Begitulah mungkin jalannya doa dikabulkan, ada yang cepat, ada yang lambat. Surya datang menjenguk Puang Mellong tempo hari, dengan rasa bersalah yang tidak kunjung sirna.

“Kau tak perlu melakukan itu semua untuk memisahkan saya dengan surau.” Kerongkongan Surya seperti tercekat, dia tidak menduga Puang Mellong akan mengetahui siapa dalang utama peristiwa itu. Atau mungkin Puang Mellong hanya sekadar menebak saja.

“Usia saya sudah setua ini, lambat laun kemana lagi perginya selain kembali pada Tuhan.” Puang Mellong yang tak juga beranjak dari posisinya, di pinggir jendela dengan matanya lurus ke depan.

“Saya hanya ingin benar-benar mengabdikan diriku untuk surau di akhir-akhir usiaku, hanya itu.” Kemudian suara itu berubah menjadi serak, lama-lama mengeras, Puang Mellong menangis seperti anak kecil.

Berakhir indah, Surya kemudian mempunyai tugas baru mengantar jemput Puang Mellong ke surau setiap waktu salat. Kemudian tugas tambahannya lagi, dia didaulat oleh Puang Mellong untuk mengumandangkan azan setiap waktu shalat tiba.

Sisa-sisa keterampilan yang dimilikinya sewaktu menjadi santri TKA/TPA di masa Sekolah Dasar dulu digunakannya kembali. Begitu berlanjut, sampai Puang Mellong berpulang, dan dia yang bertahan menjadi Puang Mellong-Puang Mellong berikutnya.

Terinsipirasi dari cerita Jalaluddin Rumi: Seorang Muazin yang Bersuara Jelek

Chaery Ma adalah penikmat teh hangat dan menyukai segala hal tentang pagi

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kala Yahudi Madinah Berkhianat

Peristiwa pengkhianatan kaum Yahudi ini terjadi pada bulan Dzulqaidah.

SELENGKAPNYA

Apa Itu Alam Mitsal?

Mereka mampu berkomunikasi secara spiritual dengan alam-alam lain, termasuk dunia lain.

SELENGKAPNYA

Saat Nabi Isa Menjadi Makmum Imam Mahdi

Isa akan bekerja sama dengan Imam Mahdi untuk memberantas semua musuh-musuh Allah.

SELENGKAPNYA