ILUSTRASI Abu Sufyan bin Harb adalah seorang sahabat Nabi SAW yang masuk Islam menjelang Pembebasan Makkah. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Kisah Abu Sufyan bin Harb Masuk Islam

Sahabat Nabi SAW, Abu Sufyan bin Harb, masuk Islam menjelang peristiwa Fath Makkah.

Sejumlah tokoh Quraisy memeluk Islam dalam konteks menjelang peristiwa Pembebasan Makkah (Fath Makkah). Di antara mereka adalah Abu Sufyan bin Harb al-Qurasyi al-Umawi.

Begitu menjadi Muslim, bapak dari pendiri Dinasti Umayyah, Mu’awiyah, tersebut menunjukkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta sungguh-sungguh membela agama tauhid.

Bahkan, Allah memuliakan kedudukannya dengan statusnya sebagai mertua Nabi Muhammad SAW. Anak perempuannya yang menjadi seorang ummul mukminin adalah Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha. Pernikahan wanita itu dengan Rasulullah SAW, bagaimanapun, terjadi jauh sebelum Fath Makkah.

Nabi SAW menikah dengan Ummu Habibah secara jarak jauh, yakni melalui korespondensi. Sebelum menjadi seorang ummul mukminin, perempuan yang bernama asli Ramlah tersebut merupakan istri dari seorang Muslim, Ubaidullah bin Jahsy. Sayangnya, kala keduanya turut berhijrah ke Habasyah, Ubaidullah menjadi murtad sehingga pasangan ini otomatis cerai.

Usai masa iddah, datanglah kabar gembira, yakni surat dari Nabi SAW. Isinya menyampaikan maksud bahwa Rasulullah SAW melamar Ummu Habibah untuk diri beliau. Pernikahan ini terjadi pada tahun ketujuh Hijriyah.

photo
ILUSTRASI Masjid Umayyah di Damaskus. Dinasti Umayyah didirikan oleh seorang putra Abu Sufyan. - (DOK WIKIPEDIA)

Profil sahabat

Sebelum menjadi sahabat Nabi SAW, Abu Sufyan bin Harb memiliki kedudukan yang terhormat—dalam perspektif duniawi. Ia adalah seorang pemuka Quraisy. Ketika masih menyekutukan Allah, lelaki yang bernama asli Shakhr itu selalu terdepan dalam tiap peperangan melawan Muslimin.

Dalam Perang Uhud, misalnya, Abu Sufyan turut serta. Awalnya, ia—sebagaimana pemimpin Quraisy lainnya—kalang kabut karena kekuatan pasukan kafir Makkah tidak mampu menanggulangi serangan kaum Muslimin. Hampir saja mereka menderita kekalahan, kalau bukan karena serangan balik yang dilakukan sepasukannya di puncak bukit. Lini yang dikomandoi Khalid bin Walid itu dapat memanfaatkan kelengahan sebagian prajurit Muslim yang tergoda harta rampasan perang sehingga meninggalkan pos mereka.

Saat masih musyrik, Abu Sufyan pernah menangkap salah seorang sahabat Rasulullah, Zaid bin ad-Datsinah. Ia berkata kepada Zaid, “Aku bersumpah dengan nama Allah, wahai Zaid, apa kau mau kalau sekarang bertukar: engkau bebas, sedangkan Muhammad berada dalam posisimu agar kami penggal dia!”

Tanpa basa-basi, Zaid menjawab, “Demi Allah, sekarang saja seandainya Muhammad sedang tersakiti karena tertusuk duri dan aku sedang duduk-duduk bersama keluargaku, tidak akan kubiarkan hal itu terjadi.”

“Aku tak pernah melihat pengikut yang mencintai seorang pemimpinnya seperti mereka ini (para sahabat). Begitu cintanya kepada Muhammad,” kata Abu Sufyan ketus.

photo
ILUSTRASI Pembebasan Makkah al-Mukarramah terjadi pada tahun kedelapan Hijriyah. - (DOK PEXELS)

Memeluk Islam

Menjelang momen Fath Makkah, Rasulullah SAW dan sejumlah sahabat berjalan dari Madinah hingga tiba di Marr al-Zahran. Di tempat yang sama, turut serta Abbas bin Abdul Muttalib.

Paman Rasul SAW itu lalu bergumam pada dirinya sendiri, “Kalau Muhammad berhasil masuk Makkah dengan cara kekerasan sebelum mereka (Quraisy) meminta jaminan keamanan, itu adalah kehancuran bagi Quraisy untuk selama-lamanya.”

Abbas terus memandang rombongan Muslimin yang berkemah di dekat Marr al-Zahran. Ia saksikan, betapa banyak dan kuatnya pasukan Islam. Timbul keinginan dalam dirinya untuk membuka negosiasi antara pihak Quraisy dan Rasulullah SAW.

“Mudah-mudahan aku bertemu pencari kayu atau badui di sini yang hendak ke Makkah sehingga mereka bisa membawa pesanku kepada Quraisy tentang posisi Muhammad SAW saat ini,” gumamnya.

Ia masih berharap, orang-orang musyrik Makkah segera menyadari, betapa kini situasi berbalik. Madinah jauh lebih kuat, dan Quraisy tidak berdaya. Seandainya terjadi perang, barang tentu yang menjadi pemenang adalah kubu Muslimin.

Tiba-tiba, saat sedang berpatroli di sekitar al-Zahran, Abbas berpapasan dengan rombongan kecil Abu Sufyan dan Budail bin Warqa’. Mereka dari arah utara, hendak pulang menuju Makkah. Ketiganya lalu terlibat pembicaraan serius.

“Demi Allah,” kata Abbas, “dia (Rasulullah SAW) akan menyerang Quraisy!”

“Gawat! Jadi, bagaimana sebaiknya?” tanya Abu Sufyan.

Kedua tokoh ini lalu sepakat untuk menemui Nabi SAW. Keduanya mengendarai keledai—bukan kuda—sebagai sinyalemen lemahnya posisi Quraisy sekarang. Adapun Budail melanjutkan perjalanan pulang, dan sekaligus akan menyampaikan kejadian ini kepada penduduk Makkah.

Begitu melihat Abbas dan Abu Sufyan berboncengan dengan keledai, orang-orang Muslim berteriak, “Lihat itu! Pamannya Rasulullah datang dengan bighal!”

Keduanya lalu melewati kemahnya Umar bin Khattab. Terhadap Abbas, al-Faruq bertanya dengan nada sopan. Begitu bertemu muka dengan Abu Sufyan, sahabat Nabi SAW itu berkata setengah membentak.

“Abu Sufyan, musuh Allah! Segala puji bagi Allah yang mempertemukanku denganmu tanpa ikatan perjanjian,” katanya sembari memegang pedang.

 

Umar berjalan menuju tenda Rasulullah SAW, seolah-olah hendak meminta persetujuan untuk menangkap Abu Sufyan.

Umar berjalan menuju tenda Rasulullah SAW, seolah-olah hendak meminta persetujuan untuk menangkap Abu Sufyan. Melihat itu, Abbas segera mempercepat tunggangannya hingga bisa mendahului jalannya al-Faruq.

Maka, keduanya sampai di muka tenda Nabi SAW hampir bersamaan. “Ya Rasulullah, telah datang kepada kita, Abu Sufyan. Allah membuatnya bisa kujangkau. Ia datang tanpa ikatan perjanjian damai. Izinkan aku untuk menghabisinya,” ucap Umar.

Langsung saja Abbas menyahut, “Wahai Rasulullah, aku—pamanmu—yang memberinya perlindungan.” Paman Nabi SAW itu lalu mencium dahi kemenakannya ini.

Umar terus mengulang-ulang permintaannya agar Nabi SAW mengizinkannya untuk meringkus Abu Sufyan.

“Tenanglah, wahai Umar,” ujar Abbas, “seandainya dia (Abu Sufyan) ini berasal dari Bani Adi bin Ka’ab (kabilahnya Umar), tentu kau tak akan seperti ini (ngotot). Namun, engkau tahu, dia seorang dari Bani Abdu Manaf (kerabat Rasulullah dan Abbas sendiri).”

Menanggapi ucapan itu, Umar menjawab, “Tenang Abbas, Demi Allah! Ke-islamanmu di hari engkau memeluk Islam, itu lebih membahagiakanku dibanding seandainya ayahku memeluk Islam. Karena aku tahu, keislamanmu lebih membahagiakan Rasulullah dibanding al-Khattab memeluk Islam.”

Rasulullah menengahi, “Bawalah dia, Abbas. Besok pagi bawa dia kembali menemuiku.”

Akhirnya, Abu Sufyan diizinkan untuk bermalam di tenda Muslimin di al-Zahran. Keesokan paginya, Abbas bersegera membawanya untuk menemui Rasulullah.

“Celaka kau ini, Abu Sufyan,” ucap Nabi SAW, “Belumkah datang waktu bagimu untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang layak disembah kecuali Allah? Belumkah datang saatnya kau bersaksi bahwa aku ini utusan Allah?”

Belumkah datang waktu bagimu untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang layak disembah kecuali Allah? Belumkah datang saatnya kau bersaksi bahwa aku ini utusan Allah?

“Demi Ayah dan Ibuku,” jawab Abu Sufyan, “betapa sabar dan mulianya Anda. Sampai sekarang masih ada keraguan di hatiku.”

Mendengar jawaban itu, Abbas menjadi sangat kesal. “Celaka kau, wahai Abu Sufyan! Engkau mau tidak untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah—sebelum kutebas lehermu!?” kata Abbas geram.

Paman Nabi SAW itu merasa telah membela Abu Sufyan dengan total. Kemarin, ia membelanya habis-habisan dari Umar. Bahkan, berhasil melobi Rasulullah SAW hingga beliau membolehkannya bermalam di tenda Muslimin.

Kini, di hadapan Rasul SAW sendiri, masih saja Abu Sufyan menyatakan hal yang tidak perlu. Padahal, Nabi SAW terus dan terus bersikap tenang dengannya.

Ucapan Abbas tadi membuat Abu Sufyan tersadar. Ia pun bersyahadat dengan persaksian yang tulus sehingga memeluk Islam.

Di Balik Kalimat Baiat NU Hanan Attaki

Setelah menyatakan janjinya untuk taat pada ulama Aswaja, dia resmi menjadi warga NU

SELENGKAPNYA

Benarkah Khutbah Jumat Wajib dalam Bahasa Arab?

Para khatib Jumat kerap menyampaikan rukun-rukun khutbah Jumat dengan bahasa Arab

SELENGKAPNYA

Ummu Hakim, Menantu Abu Jahal yang Jadi Pembela Islam

Ummu Hakim dan Ikrimah sempat menjadi salah satu musuh dari kaum Muslimin.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya