IKHWANUL KIRAM MASHURI | Republika

Resonansi

Dua Jenderal Gila di Tampuk Kekuasaan Sudan

Bagi kedua jenderal itu, nyawa rakyat Sudan seperti tidak ada harganya.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

Dua jenderal ini jelas orang gila. Kalau tidak gila beneran, ya mereka gila kekuasaan. Yang satu Jenderal Abdul Fattah Burhan (63 tahun) dan yang lainnya Jenderal Muhamad Hamdan Dagalo (47 tahun) atau lebih dikenal sebagai Jenderal Hemedti.

Yang pertama merupakan pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata Sudan (SAF). Yang kedua kepala kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Yang terakhir ini merupakan pasukan tempur resmi negara, tapi di luar struktur Angkatan Bersenjata Sudan. Kok bisa?

Kedua jenderal ini dulunya bekerja sama, melakukan kudeta bersama, tapi kini mereka bertempur satu sama lain. Bukan untuk mengamankan dan menyelamatkan bangsa dan negara dari musuh, tapi demi meraih supremasi kekuasaan. Tidak peduli rakyat jadi korban. Tidak peduli negara hancur-hancuran.

 
Kedua jenderal ini dulunya bekerja sama, melakukan kudeta bersama, tapi kini mereka bertempur satu sama lain.
 
 

Hubungan kedua jenderal yang kini saling bertempur itu mulai terjalin pada masa Presiden Sudan terguling Omar Bashir tahun 2003. Saat itu, Hemedti membentuk milisi bersenjata Janjaweed untuk menghadapi gerakan bersenjata lainnya di kawasan yang melawan rezim Bashir di Darfur, Sudan bagian barat. Ketika itu, di kawasan yang sama, Burhan mengoordinasikan operasi tentara.

Di situlah hubungan keduanya terjalin. Seiring waktu, ukuran pasukan Hemedti bertambah, yang akhirnya berafiliasi dengan tentara, tetapi selalu mempertahankan semacam kemandirian dalam kepemimpinan dan operasinya.

Pada 2019, ketika pecah revolusi rakyat yang menuntut penggulingan rezim Presiden Bashir, hubungan kedua jenderal semakin menguat. Pada April 2019, mereka sepakat dengan tuntutan rakyat untuk mengkudeta rezim Presiden Bashir yang telah berkuasa lebih dari tiga dekade.

Belakangan, masih dalam tahun yang sama, mereka menandatangani perjanjian dengan para pengunjuk rasa untuk membentuk pemerintahan sipil yang diawasi oleh Dewan Berdaulat, yakni sebuah badan gabungan sipil-militer di mana Jenderal Burhan menjadi pemimpinnya dan Hemedti sebagai wakilnya.

Situasi itu bertahan selama dua tahun, hingga Oktober 2021, ketika militer bikin kudeta —mengambil alih kekuasaan— untuk diri mereka sendiri, dan menyingkirkan peran sipil. Jenderal Burhan kembali menjadi kepala negara dan Hemedti tetap menjadi wakilnya.

Namun, tanda-tanda perselisihan mulai tampak di antara mereka, ketika Jenderal Burhan mengembalikan orang-orang dari rezim lama Omar Bashir ke tampuk kekuasaan. Hemedti merasa Jenderal Burhan kurang mempercayainya.

Apalagi saat itu, lanskap politik Sudan mulai didominasi oleh elite yang sebagian besar berasal dari kelompok etnis yang berbasis di sekitar Khartoum dan Sungai Nil. Sedangkan Hemedti berasal dari Darfur.

Elite Sudan sering membicarakan dia dan tentaranya dengan nada merendahkan, seperti disebut sebagai ‘orang udik’ yang tidak layak untuk memerintah negara.

 
Ketegangan antara keduanya semakin meningkat seiring dengan kian dekatnya tenggat waktu untuk membentuk pemerintahan sipil, sesuai kesepakatan pada Desember 2022.
 
 

Ketegangan keduanya semakin meningkat seiring dengan kian dekatnya tenggat waktu untuk membentuk pemerintahan sipil, sesuai kesepakatan pada Desember 2022, yang ditandatangani berbagai pihak, termasuk oleh Jenderal Burhan dan Jenderal Hemedti.

Kesepakatan itu menyangkut pemindahan kekuasaan kepada sipil dan dikembalikannya militer ke barak. Namun, persoalan muncul menyangkut reformasi militer dan integrasi Pasukan Dukungan Cepat ke dalam angkatan darat. Dari soal tenggat waktu hingga siapa yang memimpin militer terpadu itu.

Jenderal Burhan memberi tenggat waktu satu tahun, sedangkan Hemedti menuntut 10 tahun. Soal kepemimpinan militer terpadu, Burhan menuntut dipimpin panglima angkatan darat, yakni dirinya. Hemedti meminta dipimpin kepala negara dari sipil.

Ketika berbagai perbedaan itu belum menemukan titik temu, ketegangan semakin memuncak di antara kedua jenderal, hingga pecah pertempuran bersenjata antara pasukan Burhan dan pasukan Hemedti pada Sabtu (15/4/2023).

Sejumlah pengamat menyatakan, pertempuran pasukan kedua jenderal akan berlangsung seimbang dan lama, sampai ada yang kalah. Keduanya didukung para loyalis dan logistik yang kuat.

 
Pertempuran pasukan kedua jenderal akan berlangsung seimbang dan lama, sampai ada yang kalah. Keduanya didukung para loyalis dan logistik yang kuat.
 
 

Pasukan Jenderal Burhan jelas didanai oleh negara. Sedangkan Hemedti juga tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah seorang konglomerat. Sejak muda ia sudah aktif dalam perdagangan unta dan melindungi para kafilah perdagangan ternak.

Pada pertengahan 1990-an, Hemedti telah menjadi orang terkenal di jalur-jalur perdagangan, memimpin kelompok kecil untuk mengamankan konvoi dan mencegah bandit dan pencuri. Ia terbiasa bergerak di antara Darfur, Chad, Libya, dan Mesir sebagai penjual unta dan pelindung konvoi, hingga ia memperoleh kekayaan besar dan membentuk milisi bersenjata yang kemudian memungkinkan dia untuk mempengaruhi urusan politik Sudan.

Kini pasukan Hemedti juga mengendalikan sejumlah pertambangan emas di Sudan. Belum lagi dari dana keterlibatan pasukan bayaran Hemedti dalam konflik di Yaman dan Libya.

Dengan pertempuran bersenjata dua jenderal, sekaligus pemimpin tertinggi negara, jelas telah menjadikan Sudan sebagai negara gagal. Pun menambah kesengsaraan rakyat yang sehari-hari memang sudah sengsara.

Yang satu adalah seorang jenderal yang hobi bikin kudeta militer — Jendral Burhan telah menambah deretan panjang kudeta militer dalam sejarah Sudan sejak merdeka pada 1956. Satu lagi seorang jenderal yang memimpin milisi bersenjata yang dipelihara dan dibesarkan oleh negara.

Kini kedua jenderal itu bertempur, mengerahkan pasukan besar, dan menggunakan semua persenjataan. Mereka hanya sepakat untuk gencatan senjata beberapa hari ketika hari raya Idul Fitri, dan untuk memberikan kesempatan warga asing mengevakuasi diri.

Hampir semua pemerintah asing pun tergesa-gesa melakukan hal yang mustahil itu, buat menyelamatkan dan mengevakuasi rakyat mereka keluar dari neraka Sudan. Sementara itu, rakyat Sudan tidak bisa lari ke mana-mana untuk menyelamatkan diri. Banyak di antara mereka yang kemudian jadi korban, tewas, dan luka.

Bagi kedua jenderal itu, nyawa rakyat Sudan seperti tidak ada harganya. Begitu gencatan senjata berakhir, pasukan kedua jenderal pun mulai bertempur dengan lebih dahsyat untuk saling mengalahkan pasukan musuhnya. Mereka mengerahkan semua persenjataan yang dibeli dari uang rakyat, yang kemudian berubah menjadi alat untuk membunuh mereka.

 
Sudan sebenarnya adalah negara yang sangat kaya.
 
 

Sudan sebenarnya adalah negara yang sangat kaya. “Buminya basah dan tanahnya subur,” tulis sastrawan besar Sudan, Thayib Sholeh, dalam sebuah novelnya, Ars al Zein.

Bumi basah dan tanah subur itu membentang luas di sekitar Sungai Nil, yang mengalir panjang di Sudan, sejak perbatasannya dengan Ethiopia di tenggara hingga batas dengan Mesir di utara.

Hewan ternak Sudan, terutama kambing dan unta sangat digemari negara-negara lain lantaran kualitasnya. Tak aneh bila kemudian Sudan merupakan salah satu pemasok utama unta, kambing, dan berbagai produk pertanian ke negara-negara Arab, utamanya negara-negara Teluk.

Sumber daya mineralnya pun sangat melimpah, seperti emas, minyak bumi, gas alam, asbes, krom, tembaga, granit, gipsum, besi, timah, mika, nikel, perak, uranium, dan lainnya.

Sayangnya, negara kaya —dan terluas ketiga di Afrika dan keenam belas dunia— menjadi miskin karena salah urus oleh para pemimpinnya. Sebagian besar penduduk Sudan yang berjumlah lebih dari 47 juta jiwa pun hidup sengsara seperti tetangga-tetangganya di Afrika —Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Ethiopia, dan Eritrea.

Maka, semboyan negara Sudan "an-Nasru Lana" (kemenangan adalah milik kita) adalah bukan milik rakyat, tapi milik dua jenderal yang sedang berebut kekuasaan. Begitu juga dengan lagu kebangsaan "Nahnu Jundullah, Jundul Wathan" (kami adalah prajurit Tuhan, prajurit tanah air), harusnya diubah menjadi prajurit Jenderal Burhan dan Jenderal Hemedti.

Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Perang Sabil Atas Nama Ratu Adil

Ada hal lain yang menjadi energi atau faktor penting bagi Diponegoro memulai pemberontakan.

SELENGKAPNYA

Laila Al-Ghifariyah, Paramedis Muslimah di Medan Perang

Saat beranjak dewasa, Laila terus mengabdikan hidupnya demi tegaknya ajaran Islam.

SELENGKAPNYA

Bulan Pernikahan Rasulullah

Sejumlah wanita dinikahi Nabi Muhammad SAW tepat pada bulan Syawal.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya