
Analisis
BRICS Dan Multipolaritas Baru (?)
Menguatnya eksistensi BRICS ini semakin menguatkan adanya multipolaritas dalam ekonomi global.
Oleh SUNARSIP
Belakangan ini, media internasional ramai mengulas mengenai dinamika ekonomi global yang ditandai dengan menguatnya kembali blok kerja sama ekonomi negara-negara berkembang (emerging market) atau yang dikenal sebagai BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan).
Konflik geopolitik tampaknya menjadi “pemantik" bagi menguatnya eksistensi BRICS. Campur tangan Amerika Serikat (AS) dan Eropa dalam konflik Rusia-Ukraina yang dinilai telah terlalu jauh, turut menggugah “solidaritas” anggota BRICS kepada Rusia meskipun tidak diungkapkan secara terbuka.
Bagaimanapun, Rusia adalah mitra strategis dalam BRICS. Bila ekonomi Rusia jatuh, maka dapat berdampak pada ekonomi anggota BRICS, termasuk masa depan BRICS.
BRICS semakin mendapat perhatian karena anggotanya terlibat aktif dalam konstelasi global.
BRICS semakin mendapat perhatian karena anggotanya terlibat aktif dalam konstelasi global. Konon, telah menjadi diskusi di G-20 bila Cina lebih aktif memberikan bantuan finansial selama pandemi Covid-19.
Berdasarkan data dari China Africa Research Initiative menyebutkan, Cina melalui Eximbank dan CIDCA menunda pembayaran utang senilai 1,3 miliar dolar AS di 23 negara, 16 negara di antaranya dari Afrika. Cina juga aktif membangun komunikasi bilateral dengan negara lain.
Terakhir, Cina disebut sebagai pihak yang paling berperan di balik perdamaian Arab Saudi dan Iran. Hasilnya, Iran bersedia memenuhi ajakan Arab Saudi untuk memangkas produksi minyaknya pada rapat OPEC 2 April 2023.
Rusia juga terlihat aktif membangun komunikasi dengan negara lain. Rusia memang berkepentingan menjalin komunikasi untuk menggalang dukungan terkait konfliknya dengan Ukraina.
Namun, Rusia memperlihatkan komitmennya secara “lebih” dalam kerja sama yang dibuatnya. Pada awal April lalu, Rusia sebagai OPEC+ mengikuti langkah OPEC untuk memangkas produksi minyaknya. Padahal, Rusia berkepentingan mempertahankan produksi minyaknya untuk menjaga pendapatan negara.
Di sisi lain, Rusia memperlihatkan komitmen kepada mitranya untuk memasok kebutuhan minyak seperti kepada Cina dan India dengan “harga khusus” di tengah tingginya harga minyak selama 2021-2022.
Hal yang diperlihatkan BRICS, terutama Cina dan Rusia, menjadi daya tarik bagi negara lain untuk menjajaki kerja sama dalam kerangka BRICS. Terlebih, AS dan Eropa kini sedang dalam krisis ekonomi.
Krisis ekonomi AS dan Eropa menyebabkan negara mitranya kehilangan pasar (market) dan tentunya perlu mencari pasar baru untuk menjaga eksistensi pasarnya di luar negeri. Dan BRICS sebagai kelompok negara berkembang besar (big emerging market) memang memiliki daya tarik itu.
Cina dan India adalah pasar besar. Sedangkan Rusia adalah pemasok energi, terutama migas, yang penting bagi dunia di tengah transisi energi global yang masih setengah hati.
Menguatnya eksistensi BRICS ini semakin menguatkan adanya multipolaritas dalam ekonomi global, sekaligus memperlihatkan adanya penyikapan yang berbeda terkait konflik geopolitik saat ini.
Diskursus mengenai BRICS bahkan kini telah berkembang sebagai suatu tatanan ekonomi baru dunia (a new world order). Salah satu kantor berita milik Jerman, DW News, menyebut BRICS berpotensi menjadi model alternatif bagi G-7 (kelompok negara maju).
Saya memiliki keyakinan, BRICS akan menjadi kekuatan ekonomi baru, dengan Cina sebagai leader-nya. Menguatnya eksistensi BRICS ini semakin menguatkan adanya multipolaritas dalam ekonomi global, sekaligus memperlihatkan adanya penyikapan yang berbeda terkait konflik geopolitik (Rusia-Ukraina) saat ini. Multipolaritas adalah suatu keniscayaan.
Menguatnya posisi Cina sebagai leader dalam multipolaritas sebenarnya bukan hal baru. Pada 2011, Bank Dunia dalam laporannya, Global Development Horizons 2011 berjudul “Multipolarity: The New Global Economy” telah menjelaskan perkembangan multipolaritas tersebut.
Multipolaritas, antara lain, ditandai dengan terbentuknya orde ekonomi global baru, dengan motor pertumbuhan ekononomi global bergeser dari negara-negara maju ke emerging market. Kemudian, peran korporasi multinasional dari emerging market semakin penting sebagai sumber dan pendorong investasi global.
Selanjutnya, multipolaritas juga ditandai dengan sistem moneter internasional yang beranjak ke arah sistem multi mata uang (multi-currency), tidak lagi bergantung pada satu jenis mata uang dalam hal ini dolar AS.
Terkait dengan laporan Bank Dunia tersebut, saya telah menulis di Koran Tempo (23 Juni 2011) berjudul “Multipolaritas Global Dan Posisi Indonesia” yang memperkuat mengenai perkembangan multipolaritas tersebut, sebagaimana terlihat dari tiga indikator.
Pertama, melemahnya pertumbuhan ekonomi negara maju dan kuatnya pertumbuhan ekonomi emerging market. Kedua, penggunaan mata uang renminbi (yuan) dalam perdagangan internasional yang semakin luas. Bahkan, sejak 1 Oktober 2016, IMF memasukan renminbi ke dalam basket mata uang special drawing rights (SDR).
Ketiga, peran korporasi multinasional emerging market dalam percaturan global semakin besar. Kini, banyak korporasi multinasional Cina yang berkibar di dunia.
Dalam konteks kekinian, setelah 12 tahun terbitnya laporan Bank Dunia tersebut, posisi Cina dalam multipolaritas global tampaknya semakin kuat.
Dalam konteks kekinian, setelah 12 tahun terbitnya laporan Bank Dunia tersebut, posisi Cina dalam multipolaritas global tampaknya semakin kuat. Sebagai contoh, korporasi multinasional asal Cina kini mendominasi daftar Fortune 500 atau 500 korporasi global terbesar sedunia.
Laporan McKinsey pada Januari 2023 lalu juga menyebutkan pada 2021 lalu, pangsa (share) korporasi multinasional Cina terhadap produk domestik bruto (PDB) dunia mencapai 18 persen, naik lebih dari dua kali lipat dibanding posisi 2010 yang baru mencapai 8 persen.
Kenaikan pangsa korporasi multinasional Cina ini terutama menggerus pangsa korporasi multinasional dari Eropa dan Jepang. Sedangkan, pangsa korporasi multinasional AS cenderung stagnan di level 21-24 persen.
Posisi Indonesia dalam konstelasi ekonomi global sebenarnya cukup strategis. Dibanding negara-negara BRICS, PDB Indonesia lebih tinggi dari Afrika Selatan. PDB Indonesia menduduki peringkat 17 terbesar sedunia, sedangkan Afrika Selatan di peringkat 39 dengan nilai PDB yang kurang dari separuh PDB Indonesia.
Posisi Indonesia dalam konstelasi ekonomi global sebenarnya cukup strategis. Dibanding negara-negara BRICS, PDB Indonesia lebih tinggi dari Afrika Selatan.
Bahkan, sekitar 10 tahun lalu sempat muncul ide dari kalangan investment bankers untuk menambahkan akronim “I” (Indonesia) ke dalam BRICS sehingga menjadi BRIICS. Namun, hingga kini tidak terwujud.
Dalam jangka pendek, posisi Indonesia diperkirakan masih tetap sama, yaitu tidak terlibat aktif dalam BRICS. Pertimbangannya, Indonesia ingin menjaga hubungan baik dengan seluruh komunitas global termasuk menjaga peran di G-20 maupun ASEAN.
Saya berpendapat, pilihan Indonesia dalam dinamika multipolaritas saat ini adalah tepat. Indonesia memang harus memelihara portofolio kerja sama dengan semua pihak.
Saat ini, ada yang mengarahkan BRICS sebagai alternatif lembaga (seperti IMF). Sejak 2015, BRICS telah memiliki bank sendiri bernama New Development Bank berpusat di Shanghai, Cina.
Kini, berkembang ide tentang dedolarisasi (dedolarization) melalui penciptaan mata uang tunggal baru (new single currency) di lingkungan BRICS. Kecenderungan seperti ini berpotensi mengarah ke politik yang dapat mengganggu posisi politik ekonomi Indonesia.
Perkiraan saya, ide new single currency di lingkungan BRICS sulit terwujud. Ini mengingat, Cina diperkirakan lebih memilih ekspansi penggunaan renminbi.
Posisi bilateral Indonesia dengan Cina juga tepat. Indonesia telah memiliki kerja sama bilateral currency swap arrangement (BCSA) dengan Cina sejak Maret 2009, tiga bulan sebelum BRICS dibentuk. Melalui kerja sama ini, ekspor impor dan transaksi lainnya antara Indonesia-Cina dapat dilakukan dengan menggunakan mata uang masing-masing negara.
Indonesia juga telah memiliki BCSA dengan negara lainnya, seperti Korea, Australia, Singapura, dan Malaysia. Sebagai bagian untuk memperluas portofolio kerja sama ekonomi, Indonesia memang perlu memperluas BCSA dengan negara BRICS lainnya dan negara lain yang mungkin akan bergabung ke BRICS sesuai dengan skala kerja sama ekonomi bilateral yang telah terbentuk.
Penyikapan terhadap BRICS sebaiknya tidak dibangun karena euforia. Yang justru perlu dilakukan adalah memperkuat kapasitas domestik.
Kita memang perlu merespons perkembangan BRICS. Meningkatkan kerja sama dengan negara-negara emerging market adalah keharusan. Ini mengingat, pasar emerging market kian membesar dan perannya semakin penting.
Namun, penyikapan terhadap BRICS sebaiknya tidak dibangun karena euforia. Yang justru perlu dilakukan adalah memperkuat kapasitas domestik. Yaitu, memaksimalkan posisi Indonesia sebagai pemilik komoditas strategis (pangan, material, dan energi) untuk memperkuat posisi kita sebagai pasar, terlebih sebagai produsen.
Tujuannya, agar eksistensi kita dalam berbagai kerja sama ekonomi semakin memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Bulan Pernikahan Rasulullah
Sejumlah wanita dinikahi Nabi Muhammad SAW tepat pada bulan Syawal.
SELENGKAPNYAKeringkihan Berbangsa
Bangsa ini tampak masih ringkih, ibarat rumput kering mudah terbakar.
SELENGKAPNYAInvestasi tak Lagi Jawa-sentris
Sebanyak 52,6 persen investasi pada kuartal I 2023 berada di luar Jawa.
SELENGKAPNYA