IKHWANUL KIRAM MASHURI | Republika

Resonansi

Arab: Berseteru, Berbaikan, Berseteru, Berbaikan…

Negara-negara Arab itu laiknya sebuah keluarga besar.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

Negara-negara Arab itu laiknya sebuah keluarga besar. Sedangkan negara-negara lain di Timur Tengah yang non-Arab —seperti Turki dan Iran— tetap dianggap sebagai keluarga, keluarga jauh. Dan, dalam sebuah keluarga, ada persoalan itu biasa.

Persoalan yang bahkan bisa menyebabkan perseteruan. Toh, nanti akan kembali berbaikan. Pendek kata, di antara negara-negara Arab itu adalah hal biasa bila mereka berseteru, lalu berbaikan, dan kemudian berseteru lagi, lantas berbaikan kembali. Tidak perlu dipusingin.

Terbaru adalah rencana kembalinya Suriah ke pelukan Keluarga Arab — Liga Arab — setelah lama berseteru. Isyarat ke arah itu tampak ketika digelar pertemuan konsultatif di Jeddah pada Jumat (14/4/2023) lalu. Tuan rumah pertemuan adalah Menlu Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan. Sedangkan pesertanya para Menlu Kuwait, Qatar, Oman, Bahrain, penasihat diplomatik Presiden Uni Emirat Arab (UEA), plus Menlu Mesir, Yordania, dan Irak.

 
Para peserta petemuan menegaskan tentang pentingnya keterlibatan Liga Arab dalam upaya mengakhiri krisis Suriah. Para peserta pertemuan sepakat solusi politik adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri krisis Suriah.
 
 

Pertemuan itu membahas upaya penyelesaian krisis Suriah, utamanya soal kembalinya Suriah dalam pelukan Keluarga Arab. Pertemuan itu disebut untuk ‘melicinkan’ jalan atau dalam rangka ‘mematangkan’ rencana Suriah bergabung kembali dengan Liga Arab. Para peserta petemuan menegaskan tentang pentingnya keterlibatan Liga Arab dalam upaya mengakhiri krisis Suriah.

Mereka, para peserta pertemuan, sepakat solusi politik adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri krisis Suriah. Mereka juga menyetujui agar krisis kemanusiaan segera diselesaikan.

Antara lain, bantuan kemanusiaan harus menjangkau semua wilayah Suriah. Juga perlunya menciptakan kondisi yang kondusif buat para pengungsi agar mereka bisa kembali ke tanah air dengan selamat. Semua itu bisa terlaksana apabila semua wilayah Suriah stabil.

Untuk itu, para menlu peserta pertemuan konsultatif memandang Suriah perlu sesegera mungkin kembali bergabung dengan Keluarga Arab. Pertama, akan mempercepat berakhirnya krisis dalam negeri Suriah. Kedua, akan memacu percepatan kembalinya para pengungsi ke kampung halaman mereka. Ketiga, akan memperkuat upaya memerangi kelompok dan organisasi terorisme.

Keempat, dapat membantu menghentikan penyelundupan dan perdagangan narkoba. Kelima, akan memudahkan negara-negara Arab mendukung lembaga-lembaga negara Suriah untuk menjaga kedaulatan atas wilayahnya. Juga guna mengakhiri kehadiran milisi bersenjata dan campur tangan eksternal dalam urusan internal Suriah.

Suriah mulai diseteru oleh Keluarga Arab —istilah lain dari penangguhan keanggotaan Suriah di Liga Arab— pada pertemuan darurat para menlu Arab di Kairo pada November 2011. Atau sekira delapan bulan setelah pecah revolusi rakyat Arab melawan rezim Presiden Bashar Assad. Sebanyak 18 negara Arab — dari 22 anggota Liga Arab — setuju untuk mengucilkan Suriah.

Revolusi rakyat Arab —yang juga dikenal al Rabi’ al ‘Araby atau Arab Spring— telah berhasil menggulingkan sejumlah rezim penguasa diktator bin otoriter Arab, seperti di Tunisia, Mesir, Yaman, Libya, dan Sudan. Di Suriah, rezim Bashar Assad mampu bertahan di singgasana kekuasaan hingga kini berkat dukungan militer Rusia dan kelompok-kelompok bersenjata dukungan Iran.

 
Namun, kekuasaan Presiden Bashar tidak utuh lagi. Suriah telah koyak. Antara lain akibat munculnya kelompok-kelompok teroris. Yang terbesar adalah ISIS.
 
 

Namun, kekuasaan Presiden Bashar tidak utuh lagi. Suriah telah koyak. Antara lain akibat munculnya kelompok-kelompok teroris. Yang terbesar adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syam/Syria) yang sempat berkuasa di wilayah luas di Suriah dan Irak. Juga akibat konflik bersenjata antara kelompok-kelompok oposisi dan rezim Bashar Assad. Serangan militer Rusia untuk mendukung rezim Bashar juga telah menghancurkan basis-basis oposisi.

Akibatnya, kini hampir separuh penduduk Suriah, berjumlah lebih dari 21 juta jiwa, meninggalkan tempat tinggal mereka. Sebagian mengungsi di Turki dan beberapa negara lain. Bahkan banyak yang nekat menjadi imigran gelap di sejumlah negara Eropa.

Wilayah Suriah pun tidak seluruhnya di bawah kendali Presiden Bashar Assad lagi. Sebagian wilayah di dekat perbatasan dengan Turki dikuasai kelompok-kelompok oposisi bersenjata.

Sebagian lagi diduduki militer Turki, dengan dalih sebagai markas untuk menyerang kelompok-kelompok perlawanan Kurdi yang berlindung di perbatasan dengan Suriah. Belum lagi intervensi militer asing, seperti Rusia, Iran, Israel, dan Amerika Serikat.

Instabilitas Suriah kemudian juga dimanfaatkan mafia peredaran narkoba, terutama di perbatasan dengan Lebanon. Kondisi ini masih diperburuk dengan adanya musibah gempa bumi besar pada 6 Februari yang meluluhlantakkan sebagian wilayah Suriah.

 
Instabilitas Suriah kemudian juga dimanfaatkan mafia peredaran narkoba, terutama di perbatasan dengan Lebanon.
 
 

Kondisi buruk atau krisis di Suriah inilah yang kemudian disadari betul oleh Presiden Bashar Assad dan negara-negara Arab (Keluarga Arab). Yaitu, pengucilan terhadap Suriah lebih banyak mudharatnya dari manfaatnya. Bukan hanya bagi Suriah, tapi juga buat stabilitas negara-negara Arab dan Timur Tengah.

Berangkat dari kesadaran tentang perlunya ‘berbaikan’ itu, dalam dua bulan terakhir Presiden Bashar Assad telah berkunjung ke Oman dan Uni Emirat. Disusul kemudian dengan kunjungan Menlu Suriah Faisal al Miqdad ke sejumlah ibu kota negara-negara Arab. Beberapa Menlu Arab juga telah berkunjung ke Damaskus.

Upaya rekonsiliasi Suriah dalam pelukan Keluarga Arab ini juga didukung oleh iklim geopolitik Timur Tengah yang mengarah pada ‘perbaikan hubungan’ negara-negara yang berseteru. Qatar, yang pada 2017 diseteru oleh saudara-saudaranya sesama Negara Teluk — Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab plus Mesir —, setelah sekitar empat tahun kemudian pun saling ‘berpelukan’. Tuduhan kepada Qatar sebagai pendukung terorisme juga tidak terdengar lagi.

Begitu juga dengan perseteruan Turki dengan sejumlah negara Arab, lantaran Ankara dituding melindungi tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin, yang di Mesir dianggap sebagai kelompok terorisme.

Hubungan Turki, terutama dengan Arab Saudi, semakin memburuk ketika terjadi pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi pada Oktober 2018 di Konjen Saudi di Istanbul. Turki menuduh penguasa Saudi terlibat dalam pembunuhan wartawan Saudi yang kritis terhadap kerajaan itu. Kini, setelah Turki ‘melunak’, hubungan Ankara dengan negara-negara Arab pun mengarah ke ‘baik-baik’ saja.

Yang menghebohkan tentu kesepakatan Saudi dengan Iran pada Maret lalu (10 Maret 2023). Kedua negara sepakat untuk ‘berbaikan’ — menormalisasi hubungan diplomatik — setelah berseteru sejak 2016. Kedua negara boleh dikata sebagai seteru bebuyutan. Karena itu ketika dua negara tersebut ‘berbaikan’ jelas merupakan peristiwa penting.

 
Yang menghebohkan tentu kesepakatan Saudi dengan Iran pada Maret lalu.
 
 

Apalagi Saudi dan Iran adalah negara besar. Iran merupakan produsen minyak. Sebagai kiblat Syiah, pengaruh Iran ada di berbagai negara Arab — Yaman, Lebanon, Irak, dan Suriah. Lebih dari itu, program nuklirnya sangat kontroversial.

Sedangkan Saudi saat ini adalah negara yang paling berpengaruh di antara negara-negara Arab, utamanya di kawasan Teluk. Hanya Saudi, dalam beberapa tahun terakhir, yang bisa mengumpulkan para pemimpin negara-negara Arab di Riyadh, untuk ber-KTT (konferensi tingkat tinggi) dengan Presiden Amerika, Presiden Rusia, dan Presiden Cina.

Saudi juga, di antara anggota-anggota OPEC, bisa menaikkan atau menurunkan harga minyak dunia. Pengaruh Saudi itu masih ditambah dengan keberadaan Makkah dan Madinah, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Jadi, ketika Saudi dan Iran berbaikan, pengaruhnya bisa ke mana-mana. Misalnya, mendinginkan konflik di Yaman, di mana masing-masing yang terlibat didukung oleh Saudi dan Iran.

Berseteru, termasuk dalam sebuah keluarga, tentu boleh-boleh saja. Tapi, jangan lama-lama. Kata Rasulullah SAW, cukup tiga hari atau malam saja. Apalagi bila perseteruan itu antara negara-negara besar di Timur Tengah, dampaknya bisa mendunia.

Tradisi Makan Daging Sapi di India Sejak Peradaban Indus, Mengapa Muslim Disalahkan?

Tradisi makanan India tidak sesederhana membedakan Hindu atau Muslim.

SELENGKAPNYA

Separatis Papua Klaim Bunuh Sembilan Anggota TNI

Serangan itu dilakukan Egianus Kogeya.

SELENGKAPNYA

Dari Baghdad, Kuliner Islam Menjelajah Dunia

Makanan untuk kalangan bangsawan pada era awal Islam punya koherensi dengan filosofi, nilai religi, dan politik.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya