Klenteng Hon An Kiong. Klenteng ini dibangun pada 1878 yang berlokasi di Jalan Pemuda No 100 tepat di tengah Kota Muntilan, Jawa Tengah. | Republika/ Wihdan

Safari

Sekitaran Muntilan

Kawasan satelit memberikan daya tarik yang tak terduga dari kesejarahannya.

Semangat terasa meningkat di pagi itu. Mungkin karena begitu banyak warna merah bertebaran. Saya bergabung dengan teman-teman dari Komoenitas Petjinta dan Pelestari Bangoenan (Kota) Toea di Magelang. Mereka mengenakan kaus merah, dress code yang amat cocok untuk hari Imlek, di sebuah klenteng di Muntilan.

Muntilan adalah kota yang berjarak 25 kilometer dari Yogyakarta dan 15 kilometer dari Magelang. Ini sebuah kota satelit yang terkenal dengan perdagangan tembakau, burung merpati, hingga tape ketannya.

Pertama sampai di lokasi klenteng rombongan kami langsung disambut dengan aksi pantomim seorang gadis mungil. Siswa kelas 5 SD itu membawakan pantomim berkisah tentang perayaan Imlek. Memasuki area klenteng kami disambut oleh beberapa pengurus, salah satunya Budi Oei.

photo
Klenteng Hon An Kiong. Klenteng ini dibangun pada 1878 yang berlokasi di Jalan Pemuda No 100 tepat di tengah Kota Muntilan, Jawa Tengah. - (Republika/ Wihdan)

“Memasuki area dalam klenteng harus melepaskan alas kaki. Dan masuk melalui pintu naga sebelah kanan serta keluar melalui pintu harimau di sebelah kiri,” kata Pak Budi. Dengan keramahan, ia mempersilakan rombongan masuk satu per satu.

Istana Rezeki

Perjalanan ke Muntilan ini memang dimulai dari Klenteng Hon An Kiong. Bersama sekitar 150 peserta yang dikomandoi oleh Mas Bagus Priyana, ketua komunitas itu. Penelusuran diawali dari belakang Pasar Muntilan, menyusuri pemukiman warga dan akhirnya berjumpa dengan gerbang merah yang besar.

Sebuah gerbang besar berwarna merah dengan tulisan “HON AN KIONG” sangat mencolok di Jalan Pemuda No 100, jalan penghubung utama Yogyakarta-Magelang. Nama Hon An Kiong merupakan gabungan dari tiga kata, yakni hok, an, dan kiong. Artinya, rezeki, selamat, dan istana. Alhasil, nama klenteng itu Istana Rezeki.

photo
Klenteng Hon An Kiong. Klenteng ini dibangun pada 1878 yang berlokasi di Jalan Pemuda No 100 tepat di tengah Kota Muntilan, Jawa Tengah. - (Republika/ Wihdan)

Klenteng ini dibangun pada 1878 dengan lokasi di sisi selatan Jalan Pemuda atau bersebelahan dengan Pasar Muntilan yang ada kini. Pada 1906 bangunan klenteng dipindahkan ke sisi utara Jalan Pemuda atau di lokasi yang sekarang ini. Dan pada 1929 bentuk bangunan kemudian disempurnakan, ditandai dengan prasasti di tiang pintu pagar bertuliskan “ANNO 11-2-1929”.

Kompleks Klenteng Hok An Kiong ini berdiri di atas tanah seluas 3.120 meter persegi. Bangunan utama dikelilingi bangunan di sisi barat, timur, dan utara. Pada saat ini bangunan yang dulu sempat dijadikan sekolah ini dimanfaatkan sebagai gedung kantor pengurus klenteng, aula pertemuan, perpustakaan, dan ruang tamu. Halamannya sudah diperkeras dengan konblok dan dipagari dengan dinding tembok.

Menurut Pak Budi, sebelah kanan depan klenteng dulu sempat dijadikan bioskop dan di sebelah kiri depan menjadi tempat warung makanan. Namun, akhirnya bangunan itu dibuang dan dikosongkan. Sekarang bangunan murni klenteng dan kosong di bagian depan.

photo
Klenteng Hon An Kiong. Klenteng ini dibangun pada 1878 yang berlokasi di Jalan Pemuda No 100 tepat di tengah Kota Muntilan, Jawa Tengah. - (Republika/ Wihdan)

Bangunan utama hanya digunakan untuk ibadah. Luas bangunan 299,5 meter persegi, dengan panjang 28,5 meter dan lebar 10,5 meter. Dinding dan bangunan utama adalah tembok serta kerangka kayu dengan warna dominan merah. Aneka lampion juga dipasang di langit-langit ruangan klenteng.

Setelah melewati gerbang naga langsung menuju ke ruangan utama klenteng. Wangi dupa atau hio langsung tercium. Memang kali ini berbarengan dengan Hari Raya Imlek. Banyak umat Kong Hu Cu yang melakukan sembahyang di klenteng pagi itu.

Ruangan utama di sisi belakang dibagi menjadi tiga bilik dan disekat dengan gebyok dari kayu. Dan dari setiap bilik ditempatkan meja yang di atasnya ditempatkan arca dan yo lo kecil terbuat dari kuningan. Yo lo merupakan wadah untuk menempatkan hio usai mereka sembahyang. Di depan juga terdapat yo lo ukuran besar terbuat dari perunggu dan mungkin terbesar di Asia Tenggara. Yo lo ini dibuat di RRC pada 2002, dengan diameter 1,73 meter, tinggi 1,32 meter, dan berat 5,5 ton.

photo
Klenteng Hon An Kiong. Klenteng ini dibangun pada 1878 yang berlokasi di Jalan Pemuda No 100 tepat di tengah Kota Muntilan, Jawa Tengah. - (Republika/ Wihdan)

Pecinan dan Pasturan

Hampir selama tiga jam rombongan berkeliling di klenteng Muntilan ini. Tidak terasa rombongan harus menuju tempat lain yang menjadi bagian sejarah Muntilan. Kami menyusuri pertokoan di kawasan Pecinan Muntilan. Banyak cerita tentang kehadiran masyarakat Tionghoa di Jawa. Dalam sebuah artikel yang pernah saya baca, masyarakat Tionghoa di Muntilan dan kota-kota lain di Jawa Tengah, hadir setelah Geger Pacinan di Batavia pada 1740. Saat itu terjadi pembantaian besar-besaran warga Tionghoa oleh penguasa Belanda. Mereka melarikan diri dan memencar, membentuk komunitas-komunitas di berbagai daerah.

Mereka kemudian membentuk kawasan-kawasan pecinan. Mungkin jalur yang kami lalui ini kelanjutan dari sejarah itu. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan terlihat bermodel kolonial dengan ciri khas jendela dan pintu yang tinggi. Bisa dibayangkan pada waktu itu kawasan ini menjadi sentral niaga dan jasa.

Kemudian kami berbelok di pasar tradisonal dengan ukuran kecil, Pasar Jambu. Meski kecil, suasana pasar terasa hangat. Ada interaksi yang terjadi antara pembeli dan pedagang. Bahkan, kami juga ikut disapa oleh pedagang sambil mengumbar senyum simpul. Keramahan yang sangat terkenal bagi warga di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta yang sudah terkenal sejak dulu.

photo
Pasturan Van Lith. Bangunan utama di Komplek Pasturan Van Lith dengan arsitektur bergaya art deco itu dibangun tahun 1916 bertingkat tiga. - (Republika/ Wihdan)

Perjalanan kembali dilanjutkan menyusuri jalan-jalan kecil di dalam pemukiman yang masih banyak bangunan tuanya. Sekitar 15 menit akhirnya rombongan pun sampai di lokasi kawasan Pasturan Van Lith. Muntilan mencatat kedatangan Pastur F van Lith pada 1894. Van Lith adalah yang memulai penyiaran agama Katolik pada masyarakat Jawa. Selain membangun komunitas Katolik, ia juga membangun kompleks pendidikan sekolah Katolik, termasuk asrama dan rumah sakit. 

Serba-Serbi Muntilan

"Muntilan selalu disebut-sebut bila Gunung Merapi meletus. Kawasan ini dilewati sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Sungai Pabelan, Lamat, dan Blongkeng adalah sungai-sungai yang menjadi jalur banjir lahar hujan Gunung Merapi.

"Nama Muntilan telah disebut-sebut pada peralihan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta atas Karesidenan Kedu kepada pemerintah kolonial Inggris pada 1812. Laporan Belanda menyebutkan di Kecamatan Muntilan mereka membangun salah satu proyek benteng dari Jenderal Van de Kock. Ini berlangsung pada era Perang Diponegoro.

photo
Pasturan Van Lith. Bangunan utama di Komplek Pasturan Van Lith dengan arsitektur bergaya art deco itu dibangun tahun 1916 bertingkat tiga. - (Republika/ Wihdan)

"Setelah Perang Diponegoro usai dan tanam paksa diberlakukan di Jawa, Muntilan tumbuh menjadi kecamatan, diperintah oleh seorang wedana yang berkedudukan di Probolinggo yang terletak di sebelah timur Muntilan ke arah Yogyakarta. Pada 1900, Muntilan berstatus kawedanan.

"Pembukaan rel kereta api oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada 1892 yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang. Kecamatan Muntilan dilewati jalur ini dan sebagai teknisinya adalah Ir The Tjien Ing. The kemudian diangkat menjadi kepala kampung Cina (Chineezen Wijk) pada 1903 dan pada 1912 dilantik di Klenteng Muntilan sebagai letnan Cina (het leiutenant voor Chineezen) oleh kontrolir Muntilan. Rumah The Tjien Ing yang sekarang berada di Jalan dr Sutomo merupakan tempat tinggal sementara pastur Van Lith ketika tiba di Muntilan pada 1893

"Pada Perang Dunia II, kompleks sekolah Katolik Muntilan menjadi kamp tahanan perang oleh tentara Jepang untuk keluarga Belanda. 

Ketep Pass

Begitu menginjak gardu pandang, remaja itu berteriak kecil. “Wow, keren abis pemandangannya,” kata Silvi, salah satu pengunjung Ketep Pass. Kamera ponselnya langsung beraksi. Tak henti-hentinya dia dan temannya memotret diri, selfie, dengan latar belakang Gunung Merapi yang gagah.

photo
Pengunjung menikmati pemandangan Gunung Merapi dari parkiran bus dan mobil Ketep Pass, Sawangan, Jawa Tengah. - (Republika/ Wihdan)

Sabtu itu pengunjung cukup ramai, biasanya saat akhir pekan pengunjung bisa mencapai 5.000 orang. Cuaca begitu cerah dan hangat, berbeda dengan hari sebelumnya yang mendung. Ini pas sekali dengan tujuan saya menuju Ketep Pass, untuk menikmati suasana pegunungan. Pada cakrawala timur Gunung Merapi memperlihatkan kegagahannya. Asap sulfatara membumbung ke atas menjadi penanda bahwa Merapi masih aktif.

Ketep Pass merupakan sebuah tempat terbaik untuk melihat serta menikmati alam pegunungan dengan panorama istimewa. Diresmikan pada 2002 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dari tempat dengan ketinggian 1.200 mdpl dan luas area sekitar 800 meter persegi ini, kita bisa melihat Gunung Merapi dan Gunung Merbabu lebih dekat.

Saya memacu motor ke tempat itu melalui Blabak dengan jarak sekitar 17 kilometer ke arah timur. Ketep Pass berada di Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Magelang, di antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Pemandangan persawahan, perkebunan, dan pedesaan menjadi panorama selama perjalanan. Beberapa pasar tradisional juga terdapat di beberapa ruas jalan dan bisa menjadi pilihan untuk beristirahat sejenak sambil berinteraksi dengan penduduk setempat.

photo
Pengunjung menikmati pemandangan Gunung Merapi dari parkiran bus dan mobil Ketep Pass, Sawangan, Jawa Tengah. - (Republika/ Wihdan)

Pohon damar berjejer di kanan kiri sepanjang jalan saat mulai menanjak menuju Ketep Pass. Udara sejuk sangat terasa, khas daerah pegunungan. Lokasi objek wisata Ketep Pass ini mudah dijangkau, baik dengan bus besar, minibus, sedan atau sejenisnya, maupun sepeda motor karena medan jalannya yang tidak terlalu susah untuk dilewati.

Ketep Pass berada di sebelah kanan jalan dengan penanda besar tulisan “Ketep Pass” di tembok. Di sebelah kiri pintu masuk berjejer kios-kios penjual jagung bakar dan oleh-oleh. Untuk masuk ke dalam kompleks Ketep Pass cukup membayar Rp 7.000 per orang dan parkir motor Rp 2.000. Beruntung, saat saya ke sini cuaca sangat cerah. Kemegahan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu terlihat di sebelah timur.

Kemudian Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Slamet di sebelah barat terlihat begitu jelas. Sedangkan, Kota Muntilan terlihat di barat daya dan Kota Magelang di sebelah barat. Perdesaan beserta perkebunan warga jelas terlihat bertebaran di kaki gunung. Gardu pandang menjadi tempat pertama untuk dikunjungi. Karena dari sini dapat melihat Merapi dari jarak yang terbaik. Jika kurang dekat, kita bisa menyewa teropong dari penyedia teropong yang ada di lokasi.

Selain menikmati dari gardu pandang, pengunjung juga bisa melihat pemandangan sambil berteduh di pondok-pondok kecil di sekitar gardu pandang.

photo
Aneka koleksi di dalam museum volcano di area wisata Ketep Pass. selain sejarah perkembangan melalui foto juga batu-batuan serta bioskop mini terdapat di sini. - (Republika/ Wihdan)

Banyak fasilitas yang bisa digunakan di Ketep Pass, seperti museum vulkanologi, bioskop mini, pelataran panca arga, teropong, gardu pandang, mushala, dan restoran. Museum Vulkanologi bisa mejadi fasilitas pertama yang harus dikunjungi. Dalam museum yang memiliki area sebesar 550 m persegi, berdiri miniatur Gunung Merapi, komputer interaktif yang berisi tentang dokumen kegunungapian, beberapa contoh batu-batuan bukti letusan dari tahun ke tahun, dan poster Puncak Garuda yang berukuran 3x3m.

Pengunjung yang pergi ke museum biasanya akan berfoto di depan poster Puncak Garuda yang sudah tidak ada lagi. Fasilitas yang harus bahkan wajib untuk dikunjungi selanjutnya adalah bioskop mini. Dengan tiket sebesar Rp 7.000 dan menunggu batas minimal penonton, kita bisa melihat film pendek erupsi Merapi 2010 silam.

photo
Gedung bioskop mini yang terdapat di Ketep Pass. Di bioskop ini pengunjung dapat menikmati film pendek terkait Gunung Merapi. - (Republika/ Wihdan)

Usai menonton film, selanjutnya menuju pelataran Panca Arga. Panca Arga ini memiliki arti lima gunung. Dari pelataran ini kita bisa melihat sekeliling lebih lega daripada gardu pandang. Lokasi ini merupakan puncak tertinggi di objek wisata Ketep Pass. Dari puncak tertinggi ini pengunjung dapat melihat lima gunung, yaitu Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan Slamet. Selain kelima Gunung tersebut, pengunjung juga dapat melihat dan menikmati gunung-gunung kecil dan bukit-bukit yang sangat indah, antara lain Gunung Tidar, Gunung Andong, Gunung Pring, Bukit Menoreh, dan Bukit Telomoyo.

Waktu terbaik untuk mengunjungi Ketep Pass adalah pada hari yang cerah. Pada saat itu semua pemandangan pegunungan terlihat dengan jelas. Bersiap dengan jaket merupakan langkah tepat mengantisipasi cuaca yang dingin di sana. Jika ingin melihat pemandangan berbeda, saat matahari terbit dan terbenam merupakan pemandangan yang eksotis. 

Disadur dari Harian Republika edisi 1 Maret 2015. Repostase dan foto-foto oleh Wihdan Hidayat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat