Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah, pahlawan nasional yang juga pendiri Aisyiyah. | Dok Aisyiyah

Dunia Islam

Nyai Ahmad Dahlan, Sang Pendiri 'Aisyiyah

Istri KH Ahmad Dahlan ini berjuang dalam emansipasi kaum perempuan Muslim.

Pergerakan keislaman dan kebangsaan di Indonesia tidak hanya menampilkan figur-figur lelaki. Banyak pula tokoh berkemajuan yang muncul dari kalangan perempuan. Di lingkungan Muhammadiyah, misalnya, salah seorang sosok penggerak adalah Nyai Ahmad Dahlan.

Sebelum menikah dengan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, nama gadisnya ialah Siti Walidah. Jarot Wahyudi dalam artikelnya pada buku Ulama Perempuan Indonesia (2002), menyejajarkan kiprahnya dengan figur-figur lain yang tercatat mengemansipasi wanita Indonesia. Sebut saja Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, atau Cut Meutia.

Menurut Wahyudi, Nyai Ahmad Dahlan berpandangan bahwa spirit Islam mampu mendorong kemajuan kaum perempuan. Tekad demikian tentunya tidak muncul begitu saja, melainkan berasal dari tempaan keluarga dan lingkungan yang islami.

Siti Walidah lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1872. Permukiman tersebut dihuni para pejabat keagamaan yang mengabdi pada keraton. Mereka biasa disebut abdi dalem santri.

Tidak seperti biasanya abdi dalem, orang-orang ini terlibat aktivitas perdagangan. Selain itu, ada pula alim ulama yang aktif di Masjid Agung.

Ayahanda Siti Walidah merupakan seorang mubaligh, Haji Muhammad Fadlil. Di luar kegiatan dakwah, pria ini juga berperan sebagai penghulu Keraton dan berdagang batik. Adapun ibundanya bernama Nyai Mas yang asli warga Kauman Yogyakarta.

Dengan latar belakang demikian, keduanya membesarkan Siti Walidah dengan penuh disiplin. Mereka mendidik buah hatinya itu agar kuat berakidah Islam dan senang belajar. Selain Alquran, gadis ini juga diajarkan kitab-kitab tentang ilmu-ilmu agama dengan aksara Jawi (Arab Pegon).

Masyarakat Kauman Yogyakarta kala itu masih menganggap tabu hal-hal yang berbau Barat. Misalnya, mereka menghindarkan anak-anaknya dari sekolah-sekolah umum bentukan Belanda. Bahkan, sekolah formal dinilainya menurunkan derajat kesusilaan perempuan. Kaum hawa pun diarahkan agar tidak aktif di luar rumah.

Hal yang sama juga ikut berdampak pada Siti Walidah kecil. Pelajaran yang diterimanya di samping mengaji Alquran dan ilmu-ilmu keislaman hanyalah keterampilan rumah tangga, semisal menjahit, menyulam, atau membatik. Hingga usianya sembilan tahun, praktis kehidupannya tidak ubah seorang gadis dalam pingitan.

Kemudian, Siti Walidah dipertemukan dengan Muhammad Darwis, nama kecil Ahmad Dahlan. Pria ini pada waktu itu masih sebatas sepupunya. Namun, ketokohannya sudah dikenal masyarakat sebagai perintis Muhammadiyah. Organisasi ini digerakkan dengan prinsip-prinsip modernisme dan pemurnian praktik-praktik ajaran Islam.

Atas kesepakatan orang tua masing-masing, menikahlah Siti Walidah dengan Ahmad Dahlan. Pasangan ini akhirnya dikaruniai enam orang anak, yakni Djohanah, Siradj, Siti Busyra Islam, Siti Aisyah Hilal, Irfan, dan Siti Zuharah Masykur. Sejak saat itu, namanya lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan.

Memang, dia bukanlah istri pertama dan satu-satunya. Hanya saja, Siti Walidah paling lama mendampingi KH Ahmad Dahlan di antara istri-istri lain. Tidak heran bila sebutan “Nyai” Ahmad Dahlan melekat padanya.

Adapun istri-istri KH Ahmad Dahlan selainnya adalah Nyai Abdullah, putri seorang ningrat Jawa; Nyai Rum yang adalah adik kandung KH Munawir asal Krapyak; Nyai Aisyah, seorang putri ningrat Cianjur, Jawa Barat; dan Nyai Solihah yang masih sekerabat dengan KH Yasin Pakualaman.

Semua pernikahan itu dilakukan Ahmad Dahlan semata-mata dengan niat jalan dakwah di Pulau Jawa. Sebagai contoh, dengan menikahi Nyai Aisyah, maka perkembangan Muhammadiyah kian dikenal masyarakat Tanah Sunda.

Peran di pergerakan

Dengan menjadi istri seorang tokoh penting, mulailah dia menempatkan diri sebagai figur publik. Nyai Ahmad Dahlan ikut sibuk mengurus organisasi Muhammadiyah, termasuk ketika suaminya harus pergi ke luar daerah. Kadang kala, dia pun ikut mendampingi KH Ahmad Dahlan dalam perjalanan dakwah ke daerah-daerah.

Tidak jarang pasangan ini mendapatkan ancaman dari masyarakat setempat karena dituduh ingin merebut pengaruh dari penguasa lokal yang konservatif. Lantaran kiprahnya yang besar, kelak sejarah menggelari Nyai Ahmad Dahlan sebagai “Ibu Muhammadiyah.” Demikian Wahyudi mengutip di dalam tulisannya.

Pada 1914, dia mulai aktif mengadakan forum-forum yang mengumpulkan para remaja putri di sekitar Kauman Yogya. Belakangan, para ibu juga diajaknya turut serta.

Nyai Ahmad Dahlan menamakan forum silaturahim ini Sopo Tresno. Seperti tampak dari namanya, perkumpulan itu terbuka bagi siapa saja yang cinta atau suka memajukan kehidupan kaum Muslimah di tengah arus zaman.

Cikal Bakal 'Aisyiyah

Dia mulai menyadarkan kaumnya tentang arti penting emansipasi. Dalam pandangannya, perempuan bukanlah bawahan atau subordinat laki-laki, melainkan kawan setara. Bila sudah berumah tangga, misalnya, menjadi istri tidak berarti menghentikan kiprah perempuan tersebut di tengah masyarakat.

Karena itu, Nyai Ahmad Dahlan memandang penting pendidikan sebagai kunci kemajuan kaum hawa. Dia mulai memperkenalkan gagasan bahwa perempuan sesungguhnya mempunyai hak yang sama dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Dengan demikian, tidak ada batasan pendidikan hanya karena perbedaan jenis kelamin atau pun strata sosial. Sebagai contoh, Sopo Tresno juga menyertakan para perempuan buruh batik atau pembantu rumah tangga di samping para majikannya.

Dalam setiap pertemuan, Nyai Ahmad Dahlan selalu mengingatkan mereka akan pentingnya nilai-nilai islami, semisal kejujuran, harga diri, dan sebagainya. Dengan alasan yang sama, ditolaknya pula sistem kawin paksa yang menafikan persetujuan si gadis. Baginya, sistem tersebut tidak benar karena si gadis-lah, bukan orang tuanya, yang akan mengarungi rumah tangga baru.

Pada masa itu, ide-ide tersebut terbilang baru dan cukup mendobrak tatanan yang sudah berlangsung lama.Namun, melalui dakwah yang bertahap, pelan-pelan, serta menghargai tata krama, pesan-pesan Nyai Ahmad Dalan mulai diterima masyarakat.

Apalagi, Kauman sejak awal menjadi tempat berkembangnya Muhammadiyah. Seiring dengan kian membesarnya organisasi modernis Islam ini, praktik dan sikap emansipasi Muslimah juga mulai terwujud.

Sopo Tresno juga mengadakan pengajian Alquran dan kajian-kajian keagamaan. Semakin hari, kian berkembang pesat. Hadirin terus bertambah banyak jumlahnya. Melihat perkembangan demikian, para pengurus PP Muhammadiyah berinisiatif mempertegas status Sopo Tresno sebagai sebuah organisasi modern, lengkap dengan anggaran dasar dan peraturan tertulis.

Maka dari itu, namanya berubah. Ada yang mengusulkan agar ini dinamakan Fatimah, mengikuti nama putri Rasulullah SAW. Akhirnya, yang kemudian disepakati adalah usulan Haji Fakhrudin: ‘Aisyah. Ini tentunya merujuk pada nama istri Nabi Muhammad SAW, Siti Aisyah.

Digambarkannya bagaimana ummul mu`minin setia berjuang di sisi Rasulullah SAW emnyebarkan risalah Islam. Sehingga, lengkapnya organisasi ini bernama ‘Aisyiyah. Pada 27 Rajab 1335 H, bertepatan dengan 22 April 1917 Masehi, berdirilah ‘Aisyiyah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Sosok Rasulullah, Pemimpin Demokratis dan Musyawarah

Kepemimpinan Rasulullah memberi ruang pada nilai-nilai demokrasi dan musyawarah.

SELENGKAPNYA

Ja'far bin Abi Thalib, Teladan Kedermawanan dan Keberanian

Ja'far bin Abi Thalib sudah dekat dengan Rasulullah SAW sejak sebelum menyatakan Islam.

SELENGKAPNYA

Riwayat Damaskus Dalam Sejarah

Damaskus adalah salah satu kota unggul pada masa keemasan peradaban Islam.

SELENGKAPNYA