
Dialektika
Ramadhan dan Stabilitas Harga Pangan
Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok lekat dengan bulan Ramadhan.
YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; MELI TRIANA DEVI, Peneliti IDEAS; SHOFIE AZZAHRA, Peneliti IDEAS; FAJRI AZHARI, Peneliti IDEAS; TIRA MUTIARA, Peneliti IDEAS; HUZNI MUBARAK, Peneliti IDEAS
Di Indonesia, kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok lekat dengan bulan Ramadhan. Kenaikan harga seperti beras, daging ayam, telur, minyak goreng, bawang merah, cabai rawit hingga daging sapi mulai terjadi sepekan sebelum Ramadhan dipicu oleh persiapan masyarakat menyambut bulan suci.
Tekanan harga barang kebutuhan pokok kembali terjadi sepekan menjelang akhir bulan Ramadhan. Di saat masyarakat bersiap menyambut hari raya Idul Fitri.
Bahkan, tekanan harga sering berlanjut hingga sepekan pasca hari raya Idul Fitri yang dipicu minimnya ketersediaan barang di pasar karena pedagang tidak memiliki stok barang atau karena operasional pedagang belum kembali normal.
Puasa dan konsumsi pangan
Aktivitas terpenting di bulan Ramadhan adalah ibadah puasa. Puasa secara langsung akan mengubah pola konsumsi umat Islam, yaitu turunnya konsumsi individu Muslim yang berpuasa.
Bila dilaksanakan secara konsisten, puasa membuat jadwal makan individu Muslim berkurang dari biasanya tiga kali sehari menjadi hanya dua kali sehari. Secara ekonomi, hal ini secara langsung akan menurunkan konsumsi agregat, terutama dari pengeluaran untuk makanan dan minuman.
Dengan penghematan dari turunnya konsumsi pangan hanya berasal dari 60 persen rumah tangga terkaya saja, kami memperkirakan potensi penghematan konsumsi pangan mencapai Rp 6,8 – 8,8 triliun sepanjang 2018 – 2022.
Jika penghematan pengeluaran pangan oleh 60 persen rumah tangga terkaya ini dapat dilakukan, maka akan membantu menurunkan tekanan permintaan terhadap barang kebutuhan pokok yang seringkali mendorong kenaikan harga-harga (demand-pull inflation).
Lebih jauh, di bulan Ramadhan terdapat anjuran yang sangat kuat untuk berderma dan berbuat baik kepada orang lain, seperti memberi makan orang berbuka puasa dan memberi sedekah si miskin. Maka terbuka lebar peluang hasil penghematan pengeluaran pangan 60 persen rumah tangga terkaya dari berpuasa untuk disedekahkan ke 40 persen rumah tangga termiskin.
Kelompok miskin dicirikan dengan kerawanan pangan yang akut, mulai dari kerawanan pangan ringan (mild food insecurity) hingga kerawanan pangan parah (severe food insecurity) ketika individu telah mulai mengalami kondisi kelaparan (experiencing hunger). Setiap upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem yang kredibel harus diawali dengan memastikan ketercukupan konsumsi pangan bagi penduduk di lapisan ekonomi terbawah ini.
Jika hasil penghematan pengeluaran pangan 60 persen rumah tangga terkaya disedekahkan dalam bentuk infak terikat untuk kebutuhan pangan bagi 40 persen rumah tangga termiskin, maka permintaan pangan dari orang miskin akan meningkat. Hasil akhirnya adalah terjadi efek saling meniadakan (trade-off): konsumsi pangan orang kaya menurun, konsumsi pangan orang miskin meningkat.
Maka gerakan berbagi pangan yang merealokasi sumber daya pangan dari orang kaya ke orang miskin ini dapat dipandang sebagai cara yang efektif untuk memerangi kemiskinan.

Jika sedekah pangan ke 40 persen rumah tangga termiskin ini dapat dilakukan, maka hal ini akan meningkatkan permintaan barang kebutuhan pokok dari keluarga miskin sehingga akan menekan masalah sosial seperti malnutrisi, stunting hingga kelaparan ekstrem akibat kurangnya konsumsi pangan.
Jika potensi penghematan pengeluaran pangan oleh 60 persen rumah tangga terkaya dapat dioptimalkan, maka pangsa mereka dalam total pengeluaran pangan akan menurun dari 73,7 persen menjadi 68,9 persen.
Di saat yang sama jika potensi penghematan pangan 60 persen rumah tangga terkaya tersebut dapat disalurkan dengan tepat sasaran ke 40 persen rumah tangga termiskin dalam bentuk sedekah pangan, maka pangsa pengeluaran pangan 40 persen rumah tangga termiskin akan meningkat dari 26,3 persen menjadi 31,1 persen.
Puasa dan stabilitas harga
Dengan tujuan akhir yang ingin dicapai Ramadhan adalah pemerataan konsumsi melalui consumption-transfer dari kelompok kaya ke kelompok miskin, maka dampak Ramadhan terhadap konsumsi dan pengeluaran agregat seharusnya adalah netral. Seharusnya, tidak ada tekanan permintaan secara berlebihan yang akan mendorong kenaikan harga-harga (demand-pull inflation).
Namun yang kita saksikan hari ini jauh dari idealita. Konsumsi masyarakat Muslim secara umum tidak menurun di bulan pengendalian diri ini. Di Indonesia, konsumsi di setiap bulan Ramadhan justru meningkat secara signifikan, terutama konsumsi makanan dan minuman.
Penjualan ritel barang-barang yang termasuk dalam kategori fast moving consumer goods (FMCG) melesat tajam di setiap Ramadhan, terutama makanan dan minuman, mulai dari aneka biskuit, mentega, sirup, minuman ringan hingga makanan siap masak seperti sosis, bakso, ikan kaleng, daging kaleng, dan nugget ayam.
Beberapa komoditas menunjukkan pergerakan harga yang berkorelasi dengan bulan Ramadhan, antara lain, cabai rawit, cabai merah, bawang merah, daging ayam, telur hingga beras. Komoditas yang terlihat paling fluktuatif harganya di sekitar bulan Ramadhan adalah cabai rawit.

Harga cabai rawit yang di waktu normal berada di kisaran Rp 30 ribu per kg, memasuki bulan Ramadhan umumnya melonjak, hingga menembus Rp 60 ribu per kg. Di momentum dua Ramadhan terakhir bahkan harga cabai rawit sempat menembus Rp 80 ribu per kg.
Beras sebagai pangan utama masyarakat Indonesia, juga mengalami kecenderungan kenaikan harga jelang Ramadhan, meski dengan fluktuasi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan komoditas seperti cabai rawit. Harga beras di waktu normal yang berada di kisaran Rp 11 ribu per kg, umumnya meningkat jelang Ramadhan di kisaran Rp 12 ribu per kg.
Namun terdapat pola yang mengkhawatirkan dalam enam bulan terakhir. Sejak September 2022 harga beras menunjukkan kenaikan yang konsisten dari kisaran Rp 11.500 per kg menjadi kini Maret 2023 di kisaran Rp 13.500 per kg. Pola kenaikan harga beras di Ramadahan 2023 ini berbeda dengan lima Ramadhan sebelumnya.
Pola kenaikan harga beras di Ramadahan 2023 ini berbeda dengan lima Ramadhan sebelumnya.
Pola kenaikan harga beras yang berbeda di Ramadhan tahun ini mengindikasikan permasalahan struktural yang lebih dominan dibandingkan sekadar adanya lonjakan permintaan terkait Ramadhan.
Dalam empat tahun terakhir, produksi beras terus menurun, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,4 juta ton pada 2021. Pada 2022 produksi beras dilaporkan meningkat menjadi 32,1 juta ton, naik sekitar 700 ribu ton dari tahun sebelumnya.
Namun data ini perlu diterima dengan hati-hati karena bertolak belakang dengan harga beras yang terus naik sejak September 2022 hingga memaksa pemerintah melakukan impor 500 ribu ton beras pada akhir 2022. Bahkan terkini, pada akhir Maret 2023, di tengah panen raya, pemerintah kembali membuka rencana impor dua juta ton beras hingga akhir 2023 karena minimnya cadangan beras pemerintah di Bulog.
Stagnasi produksi beras sebagai pangan utama dalam lima tahun terakhir beriringan dengan ketergantungan yang semakin tinggi pada impor gandum. Sejak 2019 Indonesia telah menjadi importir gandum terbesar di dunia dan pada 2021 impor gandum menembus 11 juta ton, sepertiga dari produksi beras nasional. Tanpa impor gandum sebagai pangan populer masyarakat seperti mi instan, roti, dan aneka kue termasuk gorengan, defisit produksi beras dipastikan akan jauh lebih besar.
Pola kenaikan harga berkelanjutan yang lebih jelas terlihat pada kasus komoditas daging sapi. Dinamika harga daging sapi terlihat jelas berkorelasi dengan bulan Ramadhan. Namun kenaikan harga daging sapi tidak hanya temporer di momentum bulan Ramadhan, melainkan juga di luar bulan Ramadhan.
Bila pada waktu normal tahun 2018 harga daging sapi berada di kisaran Rp 115 ribu per kg, maka kini pada tahun 2023 mencapai kisaran Rp 130 ribu per kg. Di dua Ramadhan terakhir, harga daging sapi menembus Rp 150 ribu per kg.
Pola kenaikan harga kebutuhan pokok yang paling tidak terkait dengan bulan Ramadhan adalah minyak goreng. Komoditas minyak goreng mengalami kenaikan harga yang signifikan dari kisaran Rp 13 ribu per kg pada 2018 menjadi kini pada 2023 berada di kisaran Rp 18 ribu per kg. Kenaikan harga minyak goreng secara jelas mengindikasikan permasalahan struktural yang akut.
Puasa dan pergeseran konsumsi
Secara umum, semakin tinggi pendapatan individu, konsumsinya seringkali adalah konsumsi barang dan jasa yang relatif tidak penting. Semakin kaya individu, semakin cenderung konsumsinya mengarah ke konsumsi yang boros (tabdzir) dan berlebih-lebihan (israf).
Seiring kenaikan pendapatan, maka pola konsumsi seseorang akan bergeser dari barang dan jasa kebutuhan primer yang umumnya masih selaras dengan maslahah ke barang dan jasa nonprimer yang sepenuhnya berbasis utility yang subjektif, yang umumnya mengarah pada pola hidup bermewah-mewahan (al-tana’um).
Bulan puasa menjadi momentum bagi individu Muslim untuk melakukan transformasi ekonomi. Pengeluaran rumah tangga yang semula didominasi belanja kebutuhan nonprimer dan mewah, bergeser menjadi didominasi belanja kebutuhan primer yang dalam perekonomian Islam terbagi dalam tiga tingkatan prioritas, yaitu dharuriyyat (hal-hal yang mendasar), hajiyyat (segala kebutuhan yang melengkapi dharuriyyat), dan tahsiniyyat (segala hal yang memperbaiki atau memperindah dharuriyyat).
Selama Ramadhan, umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan meninggalkan aktivitas yang tidak bermanfaat, sehingga konsumsi barang nonprimer dan mewah seharusnya akan menurun, terutama dari individu kaya. Dengan pengeluaran non makanan 40 persen rumah tangga menengah dan 20 persen rumah tangga terkaya mencapai 44,2 persen dan 58,4 persen dari total pengeluaran, senilai Rp 60,6 triliun dan 90,5 triliun, maka terbuka peluang transformasi pengeluaran menuju konsumsi yang lebih berkualitas.
Ramadhan juga akan mendorong aktivitas konsumsi berbasis etika dan spiritualitas seperti buku-buku agama, busana Muslim, perlengkapan ibadah hingga umrah dan wisata ruhani. Hal ini akan mendorong konsumsi yang semakin berkualitas melalui consumption-switching dari konsumsi barang-barang mewah dan tidak beretika ke barang-barang primer dan berbasis etika.

Namun sekali lagi kita menyaksikan hal yang jauh dari ideal. Konsumsi nonprimer masyarakat Muslim terlihat tidak menurun, bahkan meningkat. Pusat-pusat perbelanjaan justru semakin dipadati pengunjung, tempat-tempat wisata dan hiburan juga tidak menjadi sepi.
Aktivitas TV justru meningkat menjadi 24 jam di bulan Ramadhan, yang isi dan kualitas tayangannya secara ironis justru jauh dari semangat Ramadhan. Hasrat konsumerisme berbalut ritual artifisial justru semakin dikobarkan di bulan suci.
Ramadhan marketing menjadi mantra semua, bahkan dilakukan produsen barang syubhat dan ribawi sekalipun.
Produksi Beras Panen Raya Diperkirakan Capai 11,29 Juta Ton
Pemerintah disarankan untuk berfokus pada peningkatan efisiensi produksi.
SELENGKAPNYAPertolongan Allah di Gua Tsur
Saat berhijrah, Nabi SAW dan sahabatnya sempat bersembunyi di Gua Tsur, hindari kejaran kafir Quraisy.
SELENGKAPNYAPenggunaan Tasbih untuk Zikir
Terdapat catatan sejarah mengenai penggunaan tasbih atau benda semisal itu untuk zikir.
SELENGKAPNYA