
Fikih Muslimah
Kaum Perempuan Lebih Baik Shalat Tarawih di Rumah, Benarkah?
Hukum shalat fardhu berjamaah di masjid bagi perempuan tidaklah wajib.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kaum Muslimin, baik lelaki maupun perempuan, kerap meramaikan masjid pada waktu malam. Mereka menunaikan ibadah shalat Isya hingga shalat sunah Tarawih di masjid.
Sebaliknya, ada beberapa mubaligh menganjurkan kaum perempuan agar tidak ikut ke masjid menunaikan shalat berjamaah. Mereka berdalil dengan sabda Nabi SAW kepada Ummu Humaid as-Sa'diyah, "Shalatnya salah seorang (perempuan) di makhda' (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku." (HR Ahmad).
Hadis yang dihasankan al-Albani ini juga menjadi dalil Mufti Arab Saudi Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya soal shalat kaum perempuan. Manakah yang lebih utama, shalatnya kaum perempuan di rumah atau di Masjidil Haram yang keutamaannya 100 ribu kali lipat daripada shalat di masjid biasa? Bin Baz tetap mengatakan, shalat kaum perempuan lebih utama di rumah saja.

Hal ini terkadang menuai kegelisahan bagi kaum perempuan. Di satu sisi, merekalah yang paling bersemangat untuk shalat ke masjid. Fenomena di berbagai masjid, jamaah perempuan kadang lebih banyak dari jamaah laki-laki, terlebih saat Ramadhan. Sementara itu, ketika mereka ingin shalat ke masjid, ada anjuran agar mereka lebih utama untuk shalat di rumah saja.
Para fukaha memang berbeda pendapat dalam persoalan ini. Beberapa ulama lebih cenderung menghukum secara tekstual dari hadis tersebut. Sementara itu, ulama kontemporer lebih cenderung mengkaji aspek mudarat-maslahat serta tinjauan fiqh aulawiyat (prioritas). Kebanyakan fuqaha mu'ashirah tetap menganjurkan kaum perempuan untuk shalat ke masjid sebagaimana kaum laki-laki.
Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.HR AHMAD
Ulama kontemporer berpendapat, penekanan dalam hadis riwayat Imam Ahmad tersebut bukan pada larangan ke masjid, melainkan perhatian kaum perempuan untuk lebih menjaga hijab. Makhda' lebih tertutup dari kamar. Kamar lebih tertutup dari rumah. Rumah pun lebih tertutup daripada masjid kaumnya.
Kemudian, masjid kaumnya lebih tertutup daripada masjid jami. Berarti, yang dimaksud hadis tersebut adalah penegasan agar kaum perempuan lebih memperhatikan penutup (sitr) pada saat shalat.
Selain itu, ulama kontemporer juga mengkaji asbabul wurud (latar belakang keluarnya hadis Nabi SAW) dari hadis riwayat Imam Ahmad tersebut. Menurut mereka, hadis itu dikeluarkan ketika maraknya gangguan yang dihadapi kaum Muslimin dari orang-orang kafir.
Tak jarang kaum Muslimin mendapatkan pelecehan dan penistaan di tempat umum. Tentu saja kondisi rawan keamanan itu sangat berbahaya bagi kaum perempuan yang lemah secara fisik.
Adapun saat ini tak ditemui lagi kondisi rawan keamanan sebagaimana zaman Rasulullah SAW dahulu. Maka, dengan hilangnya 'illat (penyebab) berupa rawan keamanan, hilang pula hukum berupa anjuran shalat berjamaah lebih utama di rumah bagi perempuan. Jadi, kaum perempuan tetap dianjurkan ke masjid selama aman dari fitnah dan bisa menjaga auratnya dengan baik.

Pada zaman Rasulullah SAW, kaum perempuan kerap hadir shalat berjamaah, tentunya ketika kondisi aman lagi kondusif. Riwayat dari Aisyah RA, "Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Subuh bersama Rasulullah SAW. Mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian, para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap" (HR Bukhari Muslim).
Hadis sahih ini juga didukung banyak hadis sahih lainnya. Ummu Salamah RA juga menambahkan, "Pada masa Rasulullah SAW, para wanita ikut hadir dalam shalat berjamaah. Selesai salam, segera bangkit meninggalkan masjid, pulang kembali ke rumah mereka." (HR Bukhari).
Pada masa Rasulullah SAW, para wanita ikut hadir dalam shalat berjamaah. Selesai salam, segera bangkit meninggalkan masjid, pulang kembali ke rumah mereka.HR BUKHARI
Tak hanya kaum perempuan, bahkan di antara sahabiyah pada masa Nabi SAW ada yang membawa bayi untuk ikut shalat berjamaah. Hadis dari Abu Qatadah al-Anshari RA mengatakan, Rasulullah SAW pernah berniat ingin memanjangkan shalatnya. Namun, tak lama beliau SAW mendengar tangisan bayi. "Maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya," sabda Nabi SAW (HR Bukhari).
Jadi, perbuatan melarang kaum wanita untuk ikut shalat berjamaah ke masjid adalah tindakan keliru. Hal itu juga bertentangan dengan hadis Nabi SAW, "Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya" (HR Bukhari Muslim). Kendati demikian, hukum shalat fardhu berjamaah di masjid bagi kaum perempuan tidaklah wajib sebagaimana pendapat masyhur yang diperuntukkan bagi laki-laki.

Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (3/125) mengatakan, tak ada perselisihan di kalangan ulama dalam hal tidak wajibnya kaum perempuan untuk hadir shalat berjamaah di masjid. Menurut Imam Nawawi, hukumnya bukan fardhu ain, bukan pula fardhu kifayah, melainkan hanya mustahab (sunah). Demikian menurut Imam Nawawi dalam al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab (4/188).
Kaidah asal kaum perempuan untuk ikut shalat berjamaah ke masjid adalah sunah. Apalagi, selepas shalat juga ada wirid pengajian. Tentu hal itulah yang lebih utama mengingat ada aspek ibadah dan tarbiahnya.
Krisis Politik Israel Kian Parah
Netanyahu memecat Menteri Pertahanan yang menolak perombakan peradilan.
SELENGKAPNYARiwayat Kerajaan Saba
Punahnya Kerajaan Saba menjadi awal babak atau pendahulu bagi terbentuknya Makkah.
SELENGKAPNYA