
Kisah Dalam Negeri
Indonesia Abaikan Rekomendasi Dewan HAM PBB?
Pelanggaran HAM di Papua disoroti Dewan HAM PBB.
Oleh RIZKY SURYARANDIKA
Koalisi LSM untuk Pemantauan UPR menyesalkan sikap Pemerintah Indonesia terhadap rekomendasi dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas sidang Universal Periodic Review (UPR) Putaran Keempat di Swiss pada tahun lalu.
Berdasarkan situs resmi Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR), dari 269 rekomendasi, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk hanya menerima secara penuh (support) 205 rekomendasi dan menolak secara penuh (note) 59 lainnya.
"Sementara, ada lima rekomendasi sisanya yang diterima hanya sebagian (partially supported, Red)," Kata Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra selaku bagian dari koalisi, Kamis (23/3).
UPR merupakan mekanisme HAM di bawah Dewan HAM PBB yang setiap empat hingga lima tahun sekali akan meninjau situasi HAM dalam negeri di tiap-tiap negara oleh negara-negara anggota PBB yang lain. Sebelum sidang UPR Putaran Keempat pada November 2022 lalu, Indonesia telah tiga kali menghadapi sidang UPR, yakni pada tahun 2007, 2012, dan 2017.
Rekomendasi-rekomendasi yang ditolak oleh Pemerintah Indonesia dalam sidang UPR Putaran Keempat secara garis besar menyoal beberapa isu pelanggaran HAM yang terjadi.
"Seperti pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua, isu kebebasan berekspresi, pencabutan atau revisi aturan-aturan hukum yang represif (UU ITE, KUHP, dan UU Ormas --Red), serta rekomendasi-rekomendasi mengenai penghapusan dan/atau moratorium hukuman mati," ujar Daniel.
Mengenai situasi HAM di Papua, Koalisi menyebut Indonesia mendapatkan 10 rekomendasi. Akan tetapi, hanya lima rekomendasi yang di-support oleh Pemerintah Indonesia.
Rekomendasi mengenai jaminan atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul serta rekomendasi untuk investigasi dugaan pelanggaran HAM di Papua secara umum diterima, kecuali rekomendasi dari Slovenia yang mengusulkan investigasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan.
"Rekomendasi-rekomendasi yang ditolak adalah mengenai hak penentuan nasib sendiri dengan mekanisme dialog inklusif serta mengenai kunjungan-kunjungan oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB maupun oleh pengamat independen ke Papua," ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani sebagai anggota Koalisi.
Kemudian, koalisi memantau lebih dari 20 rekomendasi mengenai penghapusan atau moratorium hukuman mati seluruhnya ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Dalam laporan resmi PBB mengenai sikap Indonesia terhadap rekomendasi UPR, Pemerintah Indonesia berargumen, hukuman mati akan terus berada dalam hukum positif Indonesia. "Itu dianggap sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia," ujar Julius.
Selain itu, Koalisi menemukan lima rekomendasi yang mendorong penghapusan maupun revisi pasal-pasal yang dinilai represif dan membatasi ruang sipil. Di antaranya UU KUHP, UU ITE, dan UU Ormas. Koalisi mencatat lebih dari lima negara merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk mencabut, merevisi, meninjau, atau mengamendemen aturan-aturan hukum yang mengekang kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat di Indonesia.
"Ditolaknya rekomendasi-rekomendasi ini menegaskan tidak adanya kemauan negara untuk menjamin hak-hak sipil dan politik setiap orang yang ada di yurisdiksinya," ujar Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur.
Berdasarkan sikap yang diambil Pemerintah Indonesia atas rekomendasi-rekomendasi UPR tersebut, koalisi menilai pemerintah memilah fakta tanpa sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.
Koalisi menganggap pemerintah mengabaikan berbagai kajian dan temuan yang dilaporkan oleh masyarakat sipil mengenai situasi pelanggaran HAM di Papua, pentingnya perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan, urgensi untuk menghapuskan hukuman mati, dan penyempitan ruang sipil serta perampasan ruang hidup di Indonesia.
"Oleh sebab itu, komitmen Pemerintah Indonesia terhadap HAM sangat patut dipertanyakan," ujar Isnur.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantauan UPR terdiri atas sejumlah LSM, di antaranya HRWG, YLBHI, PBHI, Imparsial, LBH Pers, IKOHI, LBH Jakarta, AJI Indonesia, SKPKC Papua, dan Migrant CARE.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia memaparkan sejumlah keberhasilan dalam pembangunan nasional di bidang HAM selama lima tahun terakhir di hadapan negara-negara anggota PBB, di Markas PBB, Jenewa, Swiss.
Delegasi Pemerintah RI dipimpin oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly. Yasonna menilai UPR merupakan momen penting untuk menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan HAM di mata dunia.
"Banyak kemajuan yang telah dicapai, namun juga Pemerintah Indonesia tidak mengabaikan adanya sejumlah tantangan, khususnya ketika kita semua menghadapi ujian yang berat dengan adanya Pandemi Covid-19," kata Yasonna dalam keterangan pers pada Rabu (9/11).
Yasonna mengingatkan, Indonesia menghadapi situasi yang tidak mudah untuk memenuhi komitmen pembangunan HAM. Ia menyebut tantangan itu di antaranya demokrasi yang terus diuji, disahkannya berbagai undang-undang dan peraturan, dinamika penegakan hukum, peran masyarakat sipil yang kian dinamis, kondisi geopolitik global dan regional. "Itu sebagian fenomena yang mewarnai pembangunan nasional di bidang HAM selama lima tahun terakhir," sebut Yasonna.
Delegasi Indonesia menerima sejumlah pertanyaan dan rekomendasi mengenai kebijakan pemajuan HAM dalam dialog interaktif di Jenewa yang dihadiri oleh 108 negara anggota PBB. Tercatat sejumlah isu yang menjadi perhatian, antara lain isu revisi Kitab UU Hukum Pidana, Isu hukuman mati, isu ratifikasi optional protokol konvensi anti penyiksaan, isu kebebasan beragama dan berekspresi, isu perlindungan terhadap Hak wanita, anak dan disabilitas, serta isu Papua.
"Atas pertanyaan dan rekomendasi tersebut, Pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan rekomendasi yang akan diterima untuk ditindaklanjuti dan menjadi bagian penting dari kebijakan HAM nasional selama lima tahun berikutnya," ujar Yasonna.
Delegasi Indonesia dalam Dialog UPR ke-4 ini menyertakan unsur-unsur Kemenko Polhukam, Kementerian Luar Negeri, Kemenkumham, Sekretariat Kabinet, Kejaksaan Agung, kepolisian, Kementerian Sosial, serta Mahkamah Konstitusi.
Dialog UPR Indonesia juga dihadiri oleh lembaga HAM Indonesia, seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, maupun lembaga nasional dan internasional, antara lain Kontras, Amnesty International Indonesia, OHANA, Human Rights Watch Group, dan Franciscan International.
UPR merupakan forum yang mengedepankan dialog dan kerja sama yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan komitmen kemajuan dan perlindungan HAM, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 tahun 2006. Kegiatan tersebut diadakan setiap empat tahun sekali.
Selain Indonesia, pada persidangan UPR bulan November 2022 lalu terdapat 13 negara lainnya yang juga melakukan presentasi UPR, yaitu Aljazair, Afrika Selatan, Brazil, Belanda, Bahrain, Ecuador, Finlandia, Filipina, India, Inggris, Maroko, Polandia dan Tunisia.
Virus Negara Pancasila
Banyak perilaku anak bangsa yang sejatinya mengandung virus menggerogoti eksistensi negara Pancasila.
SELENGKAPNYASerangan Udara AS Tewaskan 11 Orang di Suriah
Serangan itu balasan atas tewasnya kontraktor AS di Suriah.
SELENGKAPNYA