
Nostalgia
Orang Betawi Menyambut Puasa
Tempo doeloe, hampir tidak ada yang berani makan dan minum di tengah jalan.
Oleh ALWI SHAHAB
Bagi warga Betawi, menjelang Ramadhan seperti saat ini merupakan peristiwa yang mereka nanti-nantikan. Bagaimana menyambut bulan suci di tempo doeloe? Ada sesuatu yang hilang yang sampai 1950-an masih kita dapati.
Saat pada sore hari, sehari menjelang ibadah puasa, di getek-getek tepi sungai terlihat para ibu, khususnya para gadis tengah keramas. Dengan berkemben kain batik, mereka mandi dan menyiram seluruh tubuh.
Kalau sekarang digunakan sampo, ketika itu keramas menggunakan merang. Merang itu berupa kulit gabah yang dibakar, kemudian dicampur dengan buah rek-rek, hingga menimbulkan busa.
Di samping merang, juga digunakan lidah buaya. Kala itu, mereka menggunakan minyak kemiri. Baunya harum dan dipakai juga oleh pria. Sekarang, minyak kemiri jarang digunakan dan digantikan hair tonic yang banyak diiklankan di televisi.
Seingat saya, minyak kemiri yang terkenal kala itu cap Dua Anak keluaran Tio Tek Tjoe, seorang sinse yang membuka praktik di depan Bioskop Grand (kini Bioskop Kramat), Jakarta Pusat.
Saat pada sore hari, sehari menjelang ibadah puasa, di getek-getek tepi sungai terlihat para ibu, khususnya para gadis tengah keramas.
Ada lagi tradisi yang sampai kini masih terus dilakukan, berupa ziarah kubur dua hari atau sehari menjelang puasa. Di masyarakat Betawi tidak dikenal istilah nyekar. Mereka lebih mengenal ziarah kubur yang diikuti para keluarga dan kerabat yang wafat. Dalam acara ini, yang dapat untung banyak adalah penjaga kubur yang diminta untuk membacakan surah Yasin dan doa-doa.
Saat itu, yang berziarah adalah laki-laki karena kaum wanita dikhawatirkan sedang haid. Ada juga yang membacakan tahlil di makam kerabatnya. Mereka pun dengan nada sedih mengenang kembali saat-saat orang yang mereka ziarahi masih hidup.
Yang tidak boleh dilupakan menjelang Ramadhan bersiap-siap belanja lebih banyak lagi untuk keperluan sahur dan berbuka. Tentu saja, uang harus lebih banyak keluar, apalagi di masa sekarang ini harga-harga semakin meroket tidak terkendali.
Sehari menjelang puasa, malamnya masyarakat berbondong-bondong pergi ke masjid untuk shalat Tarawih. Pada hari-hari pertama Tarawih, masjid dan mushola penuh pengunjung. Tapi, semakin lama, apalagi mendekati Idul Fitri, jamaah shalat Tarawih berkurang.
Walau begitu, suasana Ramadhan tetap terasa karena di depan rumah-rumah diterangi oleh lampu minyak.
Walau begitu, suasana Ramadhan tetap terasa karena di depan rumah-rumah diterangi oleh lampu minyak. Ini mereka lakukan hingga akhir bulan Ramadhan. Maklum, kala itu belum banyak perkampungan yang tersentuh listrik. Kala itu, seperti juga sekarang, anak-anak yang berusia tujuh tahun juga ikut meramaikan masjid meski banyak juga di antara mereka yang bercanda.
Awal 1950-an, penduduk Jakarta belum mencapai satu juta jiwa, tapi berbuka dengan es merupakan kebiasaan. Sayangnya, yang memiliki kulkas tidak banyak. Dalam satu kampung, pemilik lemari pendingin bisa dihitung dengan jari. Hanya mereka yang tajir.
Rupanya, solidaritas antarwarga miskin dan orang kaya masih tinggi. Mulai pukul empat sore sampai menjelang berbuka, banyak orang meminta es di rumah mereka. Meskipun para pendatang banyak tinggal di Jakarta, menjelang Idul Fitri tidak tampak kesibukan 'pulang mudik'. Kalau sekarang harus 'berjibaku' untuk bisa pulang kampung, dahulu seperti hari-hari biasa.
Rupanya, solidaritas antarwarga miskin dan orang kaya masih tinggi.
Yang banyak didatangi justru tempat hiburan. Seperti sampor di Cilincing, Jakarta Utara, dan kebun binatang di Cikini (kini TIM = Taman Ismail Marzuki). Ragunan yang kini menjadi kebun binatang, waktu itu hampir tidak ada penghuninya. Dijuluki 'tempat jin buang anak'.
Kalau sekarang, banyak yang tidak mengindahkan kesucian Ramadhan, di tempo doeloe, hampir tidak ada yang berani makan dan minum di tengah jalan. Bahkan, para tamu sekalipun jangan harap dapat suguhan makan dan minum. Hampir tidak dijumpai mereka yang berdagang makanan dan minuman pada siang hari.
Juga, anak-anak sejak usia tujuh tahun sudah diajari berpuasa oleh orang tuanya. Meski setengah hari dan berbuka kala Zuhur. Meskipun sulit mencari tukang makanan pada siang hari, pada sore hari setelah Ashar para tukang dagang bermunculan. Mereka menjual gado-gado dan asinan untuk berbuka. Termasuk, makanan-makanan berbuka, seperti kolak pisang, ubi, dan tales.
Juga, anak-anak sejak usia tujuh tahun sudah diajari berpuasa oleh orang tuanya.
Kala itu, yang disebut mal dan pertokoan yang sekarang ini jumlahnya seabrek-abrek belum ada, kecuali pasar-pasar tradisional. Bagi mereka yang bertempat tinggal di perkampungan masyarakat Betawi, jangan takut ketinggalan sahur. Karena, untuk menyiapkan makan sahur, para ibu sudah siap begadang dan sejak pukul 02.00 pagi sudah menyiapkan masakan.
Sementara, para pemuda mengitari rumah-rumah di kampung-kampung. Dengan membawa kencengan atau memukul tiang listrik mereka berseru: Sahur sahur... sahur.... Selamat menunaikan ibadah puasa!
Disadur dari Harian Republika edisi 8 Juli 2013. Alwi Shahan adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.
BRIN Prediksi 1 Ramadhan Seragam
Diperkirakan hilal akan terlihat di Indonesia sehingga sidang itsbat akan memutuskan awal Ramadhan 1444 jatuh pada 23 Maret 2023.
SELENGKAPNYAJokowi: Hati-Hati Bebaskan Sandera di Papua
Panglima TNI tak mau menggunakan tindakan militer.
SELENGKAPNYADoa Menyambut Ramadhan
Semoga ibadah Ramadhan dijalani dengan keamanan, kenyamanan, dan kedamaian
SELENGKAPNYA