
Nostalgia
Musik Rock dan Razia Rambut Gondrong
Presiden pertama RI paling benci musik ngak-ngik-ngok yang dianggap bertentangan dengan budaya Indonesia.
Oleh ALWI SHAHAB
Saat ini, lagu-lagu the Beatles masih banyak digemari. Kelompok musik band asal Inggris yang populer akhir 1950-an hingga awal 1960-an ini langsung menggebrak muda-mudi Indonesia sebagai penggemarnya yang setia. Tapi, rupanya musik yang para pemainnya berambut gondrong ini tidak disenangi Bung Karno.
Presiden pertama RI ini paling benci musik ngak-ngik-ngok yang dianggap bertentangan dengan budaya Indonesia. Maklum, ketika itu dia sedang menggerakkan bangsa Indonesia agar mencintai kebudayaan negeri sendiri.
Begitu tidak senangnya Bung Karno terhadap the Beatles hingga dalam satu pidatonya, dia dengan lantang berujar, “Jangan bergaya betel-betelan.” Band yang bergaya the Beatles ketika itu adalah Koes Plus. Mereka dijuluki Bitel dari Jawa.
Mematuhi perintah Bung Karno untuk menyetop lagu-lagu ngak-ngik-ngok, personel Koes Plus tanpa ampun dipenjarakan di rumah tahanan Glodok, yang sekarang ini sebagian sudah menjadi pusat perdagangan Harco.
Presiden pertama RI ini paling benci musik ngak-ngik-ngok yang dianggap bertentangan dengan budaya Indonesia.
Saya yang masih menjadi wartawan pemula kantor berita Antara masih ingat bagaimana Jaksa Aruan dari Kejaksaan Negeri Jakarta menangani kasus ini. Beberapa kali ia memeriksa Koes Plus.
Waktu itu, para remaja meniru rambut gondrong the Beatles. Padahal, Bung Karno sudah memperingatkan, “Mereka yang meniru-niru gaya rambut the Beatles akan saya perintahkan agar diplontos.”
Bung Karno yang dikenal sebagai seorang nasionalis yang tegas rupanya tidak main-main. Maka, dimulailah razia rambut gondrong. Sampai polisi dibuat sibuk, mereka yang berambut gondrong harus rela menggunting nya. Ada lagi tugas aparat ketika itu, yaitu razia celana ketat atau celana jengki yang sekarang bernama blue jeans.
Mau tahu caranya? Botol kecap dimasukkan ke bagian bawah (kaki) celana. Kalau botol bisa masuk maka celana dinyatakan aman. Tapi, kalau botol tidak bisa masuk, si pemilik harus rela celananya digunting. Mereka yang ke-betel-betelan ada yang sampai dituduh meniru budaya Barat dan di cap tidak revolusioner.
Bung Karno dalam salah satu amanatnya pada 17 Agustus mengemukakan Trisakti Tavip. Berdaulat dalam bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sen diri) dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Bung Karno dalam salah satu amanatnya pada 17 Agustus mengemukakan Trisakti Tavip.
Selain lagu-lagu Barat, lagu Indonesia juga cukup disenangi remaja Jakarta waktu itu, terutama lagu-lagu berirama rock dan kalipso. Dangdut belum muncul.
Masih lagu-lagu Melayu yang kalem. Kalau saja penyanyi-penyanyi dangdut dengan pakaian dan go yang seperti sekarang diketahui Bung Karno, saya perkirakan akan terkena razia.
Dansa-dansi secara terbuka apa lagi di kampung-kampung hampir tidak ditemukan. Yang populer adalah tari Serampang Dua Belas yang membelai-belai tanpa jingkrak-jingkrakan. Penyanyi yang terkenal kala itu adalah Bing Slamet, Sam Saimun, dan Said Effendi. Sedangkan, penyanyi wanita, seperti Titik Puspa dan Lilis Suryani.
Orkes Melayu (OM) terkenal kala itu adalah Kenangan pimpinan Husein Aidit dan Sinar Medan pimpinan Fauzi Aseran. Lagu-lagu Minang dengan Orkes Gumarang juga banyak mendapat panggilan dan secara rutin tiap minggu main di RRI. TVRI baru muncul saat Asian Games 1962.
Dansa-dansi secara terbuka apa lagi di kampung-kampung hampir tidak ditemukan.
Pakaian perempuan kala itu adalah rok biasa dengan blus di bagian atasnya. Rok rata-rata tidak ada yang di atas lutut. Kalau sekarang, jilbab merupakan busana perempuan yang paling banyak dipakai. Setahu saya, pada 1950-an dan 1960-an belum ada perempuan yang mengenakan jilbab. Termasuk istri para alim ulama, paling-paling berkerudung.
Syarifah Aisah istri Habib Ali Kwitang hanya berkerudung, termasuk ibu dan bibi saya. Jilbab mulai dikenal sejak masa revolusi Iran pimpinan Ayatullah Khomeni pada 1976. Sekarang ini, jilbab berkembang pesat disertai aksesori-aksesori agar tampak lebih cantik dan anggun.
Ketika itu, memakai busana you can see yang memperlihatkan ketiak bisa kena razia atau disoraki. Karena merupakan kebijaksanaan yang kudu dipatuhi. Yang sekarang hampir kita tidak dapati lagi adalah para gadis dan ibu-ibu yang rambutnya dikepang dan memakai sanggul “berunding” sebutan untuk konde dua. Seperti juga sanggul, ada yang disebut kepang dua.
Tapi, jangan dikira para remaja tidak menikmati hiburan saat itu. Meski belum dibangun Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), mereka dapat rekreasi ke pantai Sampur atau Cilincing. Tapi, hiburan dan rekreasi paling populer kala itu adalah nonton film di bioskop. Umumnya film-film produksi Hollywood.
Ketika itu, memakai busana you can see yang memperlihatkan ketiak bisa kena razia atau disoraki. Karena merupakan kebijaksanaan yang kudu dipatuhi.
Bioskop-bioskop kelas wahid adalah Garden Hall di Cikini (TIM), Megaria (Metropole), bioskop Menteng, Capitol, dan Astoria di Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat. Nonton film tidak mahal dan saya dapat ke bioskop dari uang jajan yang diberikan orang tua saat sekolah. Bioskop-bioskop membuat peraturan setiap pertunjukan film. Ada untuk semua umur, 13 tahun ke atas dan 17 tahun ke atas. Yang terakhir berarti film roman.
Sayangnya, pada 1960-an bioskop-bioskop banyak yang tutup berubah menjadi gudang-gudang atau perkantoran. Penyebabnya, politik anti-Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme) diboikot oleh serikat-serikat buruh yang bernaung di bawah PKI. Film-film Barat baru muncul kembali setelah masa Orde Baru pada 1966.
Disadur dari Harian Republika edisi 18 Juni 2012. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.
Ikhtiar Indonesia Mencegah Perang Irak
Pada awal 2003, marak aksi menentang serangan AS ke Irak.
SELENGKAPNYA