ILUSTRASI Pada zaman Bani Israil dahulu, terdapat suatu kaum yang diazab menjadi kera. | Dok Wikipedia

Kisah

Azab Allah pada Kaum Aylah

Sebagian besar kaum Aylah melanggar ketentuan Allah SWT.

Pada zaman Bani Israil dahulu, ada sebuah desa nelayan bernama Aylah di pesisir Teluk Aqabah. Masyarakat Yahudi setempat umumnya hidup makmur. Mereka menikmati hasil yang tinggi dari jual beli ikan di pelabuhan lokal.

Syariat pada masa itu mewajibkan orang-orang Yahudi untuk menghormati Sabtu. Allah SWT mengharamkan umat Nabi Musa AS itu untuk berkegiatan duniawi apa pun pada hari itu. Mereka semata-mata diharuskan beribadah kepada-Nya hingga terbenam matahari—tanda memasuki Ahad.

Allah SWT hendak menguji kadar ketakwaan penduduk desa tersebut. Dia pun menjadikan ikan-ikan ramai berkumpul di Teluk Aqabah pada Sabtu. Kerumunan hewan itu berjumlah sedikit di enam hari lainnya.

 
Allah menjadikan ikan-ikan ramai berkumpul di Teluk Aqabah pada Sabtu. Kerumunan hewan itu berjumlah sedikit di enam hari lainnya.
 
 

 

Menghadapi keadaan itu, masyarakat desa setempat terbelah. Ada yang lebih suka menahan diri dan memilih fokus beribadah, sesuai dengan perintah Allah. Kalangan ini pun sering mewanti-wanti sesama Yahudi agar selalu memuliakan hari Sabtu.

Namun, sebagian besar lainnya cenderung tergoda hawa nafsu. Mereka terus mencari cara untuk menjaring ikan sebanyak-banyaknya walaupun pada hari terlarang.

Di luar dua kelompok yang saling berlawanan cara berpikirnya itu, ada beberapa warga yang memilih bersikap masa bodoh. Mereka memang tidak ikut-ikutan mencari ikan pada hari yang diharamkan, tetapi tidak peduli sama sekali pada kelakuan orang-orang yang enggan memuliakan Sabtu. “Biarkan saja. Bukan urusan kami,” demikian pikir mereka.

Pada suatu hari, orang-orang yang sudah gemas dengan ikan-ikan berkumpul lantas bermusyawarah. Seorang di antaranya berkata, “Sesungguhnya kita hanya dilarang untuk menangkap ikan pada hari Sabtu. Karena itu, marilah kita membuat jaring di teluk pada hari Jumat malam sehingga ikan-ikan itu pasti terperangkap pada hari Sabtu. Kemudian, pada hari berikutnya kita dapat mengambil ikan-ikan itu semua.”

Usulan itu langsung disetujui seluruh hadirin. Pada Jumat sore, mereka bekerja dengan antusias untuk memasang jaring di teluk dan sejumlah perangkap ikan. Memasuki hari Sabtu, orang-orang ini pun beribadah walaupun pikirannya selalu teringat pada taktik yang kemarin dijalankan.

 
Pada Ahad pagi-pagi sekali, para nelayan itu pun berbondong-bondong mendatangi jaring yang telah mereka pasang.
 
 

 

Pada Ahad pagi-pagi sekali, para nelayan itu pun berbondong-bondong mendatangi jaring yang telah mereka pasang. Di sana, jalinan kawat itu telah dipenuhi banyak ikan yang terperangkap sejak Sabtu. Orang-orang itu pun senang bukan kepalang.

“Kita masih mematuhi perintah Allah karena tidak menangkap ikan pada Sabtu, tetapi hari Ahad,” teriak seorang warga kegirangan.

Melihat tingkah licik mereka, beberapa warga yang saleh pun mengelus dada. Alim ulama ini menasihati mereka agar bertobat dan kembali mematuhi perintah Allah.

Namun, suara pertentangan bukan hanya datang dari para pelanggar, tetapi juga orang-orang yang sejak awal bersikap masa bodoh. “Biarkan saja mereka dengan taktiknya! Itu bukan urusan kalian!” kata mereka.

Kepicikan sejumlah nelayan itu kian menjadi-jadi. Bahkan, sebagian besar dari mereka semakin berani untuk bertindak ngawur. Ada pula yang terang-terangan memasang jaring pada Sabtu pagi sehingga mendapatkan ikan jauh lebih banyak daripada biasanya.

Kelompok yang acuh tak acuh pun enggan memberikan nasihat. Mereka justru mengapresiasi kelihaian para nelayan yang tetap bekerja pada hari Sabtu. Maka Sabtu semakin tidak dimuliakan.

 
Kelompok yang acuh tak acuh pun enggan memberikan nasihat. Mereka justru mengapresiasi kelihaian para nelayan yang tetap bekerja pada hari Sabtu. Maka Sabtu semakin tidak dimuliakan.
 
 

Menghadapi kondisi demikian, orang-orang saleh mulai meninggalkan desa setempat. Mereka merasa telah berbuat maksimal untuk mengingatkan para pembangkang agar segera meninggalkan maksiat itu dan bertobat kepada Allah.

“Kami tidak akan bermalam bersama kalian, tetapi keluar meninggalkan desa. Selama beberapa hari, kami akan tinggal di pinggiran desa,” ujar seorang ulama.

Malam pun dilalui para hamba Allah dengan menginap di luar desa. Hingga keesokan hari, mereka merasa ada sesuatu yang janggal. Desa asal mereka tampak lebih sepi daripada biasanya.

Tak ada keramaian ataupun aktivitas warga. Sejak pagi hari, tak satu pun warga yang keluar rumah. Mereka pun mengutus salah seorang pria untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

Menjadi kera

Memasuki desa, pria utusan tersebut tercengang dengan kondisi desa yang sunyi senyap layaknya wilayah tak berpenghuni. Ia pun mengetuk pintu salah seorang warga, tak ada jawaban. Ia kemudian mengintip jendela rumah dan melihat penghuninya bukan manusia melainkan kera-kera.

Tak percaya dengan apa yang dilihat, pria itu pun menuju rumah lain. Dua, tiga, 10 rumah, namun hasilnya sama. Desa pesisir tersebut menjelma menjadi desa para kera.

Kisah Ashabul Sabt atau para pelanggar hari Sabtu itu diabadikan dalam Alquran surah al-A'raf ayat 163. "Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, (yaitu) ketika datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, padahal pada hari-hari yang bukan Sabat ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami menguji mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”

 
Tak percaya dengan apa yang dilihat, pria itu pun menuju rumah lain. Dua, tiga, 10 rumah, namun hasilnya sama. Desa pesisir tersebut menjelma menjadi desa para kera.
 
 

Gambaran mengenai azab yang ditimpakan Allah kepada penduduk Yahudi tersebut pun disebut dalam ayat-ayat berikutnya.

Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, 'Mengapa kamu menasihati kaum Yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazabkan mereka dengan azab yang amat berat?' Orang-orang (yang memberi nasihat) itu menjawab, '(Nasihat itu ialah) untuk melepaskan diri dari bersalah kepada Tuhan kamu dan supaya mereka bertakwa.'”

Maka, ketika mereka melupakan (tidak menghiraukan) apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang daripada perbuatan jahat itu, dan Kami timpakan orang-orang yang zalim dengan azab siksa yang amat berat disebabkan mereka berlaku fasik (durhaka). Maka setelah mereka berlaku sombong takbur (tidak mengindahkan) kepada apa yang telah dilarang mereka melakukannya, Kami katakan kepada mereka, 'Jadilah kamu kera yang hina.'”

Ayat tersebut juga terdapat dalam kisah sahabat Rasulullah SAW, Ibnu Abbas. Diriwayatkan, suatu ketika Ikrimah bermaksud menemui Ibnu 'Abbas. Namun, sang sahabat ternyata sedang berurai air mata.

Maka Ikrimah bertanya, apa yang menyebabkan kawannya itu menangis.

“Tahukah kau negeri Aylah?” tanyanya.

Ikrimah pun menimpali, “Ya.”

“Ada segolongan Yahudi di sana, datang kepada mereka ikan yang banyak pada hari Sabtu, gemuk-gemuk. Tapi, di luar hari Sabtu, mereka tidak mampu menangkapnya kecuali dengan susah payah.

Ketika mereka dalam keadaan demikian, setan membisikkan bahwa mereka dilarang memakannya hanya pada hari Sabtu, maka tangkaplah pada hari itu dan makanlah di hari yang lain. Akhirnya, satu kelompok berpendapat seperti ini, dan yang lain melarang dan mencegah, 'Kalian itu dilarang untuk menangkap dan memakannya pada hari Sabtu'."

Ibnu Katsir mengenai ayat-ayat surah al-A’raf tersebut menjelaskan, azab Allah Ta’ala itu dijatuhkan bukan hanya atas para Yahudi yang pembangkang dan melakukan tipu muslihat. Orang-orang yang bersikap masa bodoh atau berdiam diri terhadap kemaksiatan pun terkena azab yang sama. Mereka ikut menjelma menjadi kera yang hina.

Maka, keselamatan hanya bagi para ulama dan orang-orang saleh yang telah menasihati kaum yang fasik dan telah melaksanakan perintah Allah mengenai kemuliaan hari Sabtu.

Adapun terkait kelanjutan kisah, yakni ke mana kera-kera tersebut pergi, para ulama tafsir berbeda pandangan. Sebagian ulama mengatakan, setelah menjelma menjadi kera, mereka mati begitu saja dan punah.

Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah dengan kekuasaan-Nya, mengembalikan lagi mereka ke wujud semula. Meski demikian, hal yang pasti, kera tersebut tidak memiliki keturunan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

AMKI: Aktivitas Masjid Kampus Tetap Berjalan

Program di masjid kampus tetap berjalan hanya saja dalam bentuk daring.

SELENGKAPNYA

Butuh Kepastian Hukum untuk Perangi Islamofobia

Islamofobia sudah muncul dan berkembang cukup lama.

SELENGKAPNYA

Jaringan Yahudi di Indonesia

Konon, warga Yahudi sudah sejak kolonial Belanda banyak berdiam di Indonesia.

SELENGKAPNYA