Sejumlah bangunan semi permanen hunian warga berdiri dengan latar belakang gedung-gedung apartemen di tepi Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta, Selasa (29/6/2021). | ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Islamia

Kebijakan Publik, Keadilan Ekonomi, dan Maqashid Syariah

Maqashid syariah mencoba menggagas keadilan ekonomi yang optimal.

Oleh Sigit Pramono

Di tengah kemajuan pesat yang telah dicapai ilmu ekonomi dalam kurun waktu satu abad terakhir, ilmu ekonomi di mata ekonom Umer Chapra, dihadapkan kepada sebuah pertanyaan krusial.

Pertanyaan itu ialah sejauh mana disiplin ilmu ini berhasil memainkan peran kuncinya dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas hidup bagi seluruh umat manusia?

Dalam konteks inilah, kita semestinya menyepakati bahwa tolok ukur untuk menilai keberhasilan atau kegagalan setiap cabang ilmu adalah sejauh mana kontribusi langsung atau tidak langsungnya dalam mewujudkan kesejahteraan umat manusia.

Dalam perspektif ekonomi Islam, hal ini berkorelasi dengan seuntai doa yang diwariskan Rasulullah SAW melalui lisannya yang suci, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu pengetahuan yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan."

Kemelut sejarah

Diskursus di atas mengingatkan kita pada permasalahan epistemologi disiplin ilmu ekonomi dalam upayanya mencari nisbah antara "etika dan ilmu ekonomi" (M Dawam Raharjo, 1981).

Apa yang menjadi keyakinan para ekonom aliran mainstream bahwa ilmu ekonomi bersifat wertfrei alias bebas--nilai--adalah salah alamat. Karena, konsekuensi logis dari semua ini adalah ilmu ekonomi telah ditampilkan hanya menjadi serangkaian persamaan dan parameter matematika, time series, regresi, dan ekonometri sehingga lahirlah wajah ilmu ekonomi yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan (Boulding, 1970).

Sebagaimana ditulis dengan tajam oleh Khursid Ahmad (2001) bahwa paradigma ekonomi konvensional yang muncul saat ini bercirikan pada paradigma yang berupaya melepaskan ilmu ekonomi dari semua kaitan transedental dan kepedulian etika, agama, dan nilai-nilai moral. Pendekatan yang sangat sekuler dan berorientasi duniawi, positivistik, dan pragmatis.

Lebih dari itu, ilmu ekonomi berkembang sebagai sebuah disiplin yang semata-mata 'mengitari pusat kepentingan diri, usaha pribadi, mekanisme pasar, dan motif mencari keuntungan…'. Semua ini pada akhirnya bermuara pada kemelut sejarah ilmu ekonomi konvensional saat ia tercerabut dari 'matrik budaya dan nilai-nilai' dalam menganalisis dan menggagas pemecahan berbagai persoalan ekonomi.

Alhasil, apa yang selanjutnya kita temui adalah pertumbuhan dan pengembangan ilmu ekonomi dengan pilar penyangga teori yang rapuh. Seperti dinyatakan oleh Robert Heibronner (1976), para ekonom mulai menyadari bahwa mereka telah membangun sebuah bangunan yang canggih di atas landasan sempit yang rapuh.

Kesimpulan serupa ditunjukkan oleh Chapra, menurutnya, peristiwa depresi hebat telah memperlihatkan secara jelas kelemahan logika hukum Say dan konsep Laissez Faire.

 

Kemajuan ilmu ekonomi yang begitu pesat tetap memiliki keterbatasan. 

   

 

Ini dibuktikan oleh ekonomi pasar yang hampir tidak mampu secara konstan menggapai tingkat full employment dan kemakmuran. Ironisnya, di balik kemajuan ilmu ekonomi yang begitu pesat, penuh inovasi, dilengkapi dengan metodologi yang semakin tajam, model-model matematis, dan ekonometri yang semakin luas untuk melakukan evaluasi dan prediksi, ternyata ilmu ekonomi tetap memiliki keterbatasan.

Keterbatasan untuk menggambarkan, menganalisis, maupun memproyeksikan kecenderungan tingkah laku ekonomi dalam perspektif waktu jangka pendek.

Dengan kata lain, ilmu ekonomi bekerja dengan asumsi-asumsi ceteris paribus. Variabel-variabel yang justru memengaruhi kecenderungan jangka panjang termasuk faktor nonekonomi diasumsikan konstan.

Hal ini tidaklah mengherankan, bila kita mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Keynes, "Dalam jangka panjang kita semua toh akan mati." Sayangnya, kita seperti terkungkung dan kehabisan energi dalam perangkap teori dan implementasi ilmu ekonomi konvensional yang ternyata tetap saja mandul untuk melakukan terobosan mendasar guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Lingkaran kezaliman

Dalam bingkai kesejarahan inilah kita dapat memotret wajah buram ilmu ekonomi konvensional dalam mencapai tujuan-tujuannya. Maka krisis demi krisis ekonomi yang terus berulang--untuk menyebut antara lain krisis ekonomi 1930, 1970, 1980, 1999, dan 2001--paling tidak membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis (yang mendasarkan diri pada filsafat materialisme-sekulerisme ) telah gagal menjawab dan menyajikan solusi atas persoalan ekonomi dan kemanusiaan.

Maka, yang selanjutnya kita saksikan adalah lingkaran-lingkaran kezaliman yang mengiringi hilang timbulnya siklus krisis dalam sejarah panjang kehidupan perekonomian bangsa-bangsa di muka bumi ini. Karena itu, keadilan ekonomi macam apakah yang hendak kita wujudkan bila 'tata ekonomi dunia baru' saat ini ternyata melahirkan tragedi kemiskinan dan kelaparan; kesenjangan negara kaya dan negara miskin; serta perangkap utang luar negeri (debt trap) dan hegemoni ekonomi global. 

Sejumlah permasalahan mendasar dari perekonomian kita akibat akumulasi kezaliman ekonomi selama ini.

 

 

Dalam konteks krisis ekonomi Indonesia, apa yang tersisa dari krisis yang terus mendera negeri kita ini? Paling tidak, kita mencatat sejumlah permasalahan mendasar dari perekonomian kita akibat akumulasi kezaliman ekonomi selama ini berupa: kemiskinan struktural yang parah, angka pengangguran yang meledak, ketimpangan distribusi pendapatan, ketimpangan pembangunan antardaerah, konsentrasi kepemilikan aset produktif di tangan konglomerat, beban utang luar negeri dan penjajahan ekonomi nasional oleh kekuatan asing.

Tidak mengherankan, karena sesungguhnya apa yang dibanggakan oleh tim arsitek ekonomi Orde Baru dengan konsep tricle down effect-nya dan mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya tak lebih dari sekadar pencapaian buble economy (ekonomi gelembung sabun) yang semu.

'Keajaiban ekonomi yang hilang', mungkin menjadi kalimat yang tepat untuk menggambarkan betapa sesungguhnya fundamental ekonomi kita memang lemah saat badai krisis ekonomi menghantam negeri ini.

Sritua Arief (1997), misalnya, dengan keras mengkritik laporan Bank Dunia yang berjudul "Indonesia: Sustaining High Growth with Equity". Ia berkesimpulan bahwa laporan tersebut tidak memiliki bobot profesional dan didasari oleh pemahaman yang dangkal atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia. (Kwin Kian Gie bahkan menyimpulkan bahwa laporan tersebut mengandung analisis yang plintat-plintut).

Laporan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pemikiran ekonomi neoklasik--yang hanya menganggap pemerataan (equity) sebagai ungkapan yang klise sifatnya, masih mendominasi cara pandang Bank Dunia. Lebih jauh, Sritua Arief mencatat bahwa kemerosotan pertumbuhan dan porsi sektor pertanian di Indonesia meningggalkan kemiskinan di sektor pertanian dan orang-orang yang tercampak dari sektor pertanian umumnya masuk ke dalam sektor informal mencari sesuap nasi dan hidup dari hari ke hari dalam situasi tidak stabil dan tidak memiliki kepastian mengenai hari depannya.

Lingkaran keadilan

Sejarah merupakan cermin. Tentu kita dapat bercermin dari sejarah dan meretas jalan untuk bangkit dan keluar dari krisis multidimensi. Tesis Ibnu Khaldun (1332-1405, seorang sosiolog dan ekonom Muslim) dalam Muqaddimah yang dikutip pada awal tulisan ini mungkin dapat menjadi sumber inpirasi bagi kita.

Menurut Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditentukan oleh lima komponen yang saling berkaitan, yaitu pemerintah (G/political authority), syariah (S/syariah), kualitas SDM (N/people), pencapaian kemakmuran ekonomi (W/wealth), dan pembangunan dan keadilan (g&j/development dan justice).

 
Menurut Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditentukan oleh lima komponen yang saling berkaitan.
 

Kelima komponen ini dapat bergerak dalam siklus kemajuan dan kemunduran dengan urutan yang beraturan (Adiwarman A Karim, 2001). Chapra memformulasikan model siklus dinamika sosial-ekonomi-politik Ibnu Khaldun ini dalam fungsi ekonomi sebagai berikut: G = f (S, N, W, j&g).

Bila dalam masa krisis ekonomi ini pemerintah (G) tidak lagi mengindahkan nilai-nilai keadilan dalam pengambilan kebijakan publik, sesungguhnya kita tengah bergerak dalam siklus kemunduran yang akan mengakibatkan hilangnya nilai-nilai keadilan (j), superioritas hukum tidak dapat ditegakkan, timbulnya anarkisme di tengah masyarakat, pembangunan, dan produktivitas terhenti (g).

Saat terjadi krisis dan krisis itu berlanjut, jelas tingkat kemakmuran ekonomi (W) masyarakat akan menyusut karena meledaknya jumlah penduduk miskin dan angka penggangguran. Ketika krisis berlanjut, kualitas SDM akan menurun (N).

Akibat krisis, Indonesia menghadapai ancaman lost generation. Seperti yang diperingatkan oleh UNICEF tahun 2000 bahwa 10 juta anak balita di Indonesia mengalami gizi buruk.

Dari sekitar 300 ribu anak balita yang meninggal setiap tahun, kurang lebih 180 ribu di antaranya meninggal dengan penyebab dasar kekurangan gizi." Titik balik terjadi jika masyarakat akhirnya menyadari untuk kembali kepada nilai-nilai agama sebagai solusi krisis yang sedemikian dalam. Di sini syariah (S) diartikan secara luas yaitu untuk mencapai tujuan penerapan syariah yang dikenal dengan istilah maqashid syari’ah.

Pada dasarnya, penerapan syariah itu sendiri bertujuan meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan. Karena itu, maqashid syariah mencakup tercapainya perlindungan terhadap lima hal dasar bagi manusia: perlindungan terhadap keimanan (dien), jiwa manusia (nafs), akal (aql) keturunan (nasl), dan kekayaan (maal).

Di sinilah perbedaannya, bila 'rasionalitas-ekonomi konvensional' mendasarkan diri pada konsep Pareto Optimum, maqashid syariah mencoba menggagas dan menyandingkan keadilan ekonomi yang optimal sekaligus efisiensi yang optimal. Wallahu a'lam bishawab.

Disadur dari Harian Republika edisi 18 Januari 2003.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Supersemar dan Dokumen Penyerahan Kekuasaan 20 Februari 1967

Sukarno geram ketika dokumen penyerahan kekuasaan kepada Soeharto bocor ke media.

SELENGKAPNYA

Para Puan Dalam Sejarah Ilmu Islam

Pada masa awal, ada banyak Muslimah terpelajar yang berperan dalam perkembangan syiar agama.

SELENGKAPNYA

Madura, Antara Pasang dan Surut

Para ahli berpendapat, Pamekasan dahulu kala adalah lautan.

SELENGKAPNYA