Doa Pelik | Daan Yahya/Republika

Sastra

Doa Pelik

Puisi-puisi Rudiana Ade Ginanjar

Oleh RUDIANA ADE GINANJAR

Doa Pelik

Jangan kaulihat
muslihat hanya
selintas pedih.

Tinggallah bersama penakluk
yang memainkan kecapi.

Ladang-ladang akan hangus,
dan biji-bijian enggan
mengerti hujan.

Pergilah bersama penghuni
yang mendirikan kota dari berani.

Orang-orang akan menyebar,
seperti buyar air
dipatuk batu.

Bukankah sudah pernah kaudengar,
Pendahulu roboh
oleh lidah ular. Diamlah,
keasingan telah membelit
maka bukalah kembali pagi.

Semoga waktu, senantiasa waktu
mengenali paras bening
wajah lugu gergasi.

2022

***

Kontrailusi

Orang-orang tinggal sambil memacak lilin
ke atas meja; malam telah usai
menjamu seorang tamu.

Keletihan bangkit juga. Bau kantuk,
sekelebat bayangan lewat bersama
suara serak,
tanganmu meraih sebuah buku.
Salju turun, pikirmu. Di luar, pekarangan
tropis tampak sepi.

Sekali kaukedipkan mata,
untuk sekejap peristiwa
lalu.

Bau-bau hujan sudah sering
mengingatkanmu.
Huru-hara berlangsung dari luar bilik
bercat kuning, merah atau biru:
rumah-rumah pedusunan.

Akan kaukemas sebiji lagi tayangan ulang
dari rasa penasaran silam.

2022

***

Jari Petir

Jemari yang langit lukis
tiba dengan kaki hujan berlumpur.

Buah-buah musim ditutur jauh seperti
cerita ninabobo; angin pedusunan dingin
tingkap telah lama terguncang dan
kini berdiam. Panel mengembun,
sebaris kebisuan
sesudah petang.

Masa silam berkelebat,
masa depan berwajah tirus
menancap ke pertanyaan-pertanyaan.

2021

***

Warisan Kemudian

Nubuat yang dibangunkan hujan.
Seorang letih,
lebih mengerti arti air
ketika suara fajar terbentuk.
Ramallah, terangkan kepada sehelai
tabir; yang menyungkup petir.

Dari sebidang tanah kosong
akan terlihat warna keringat.
Jam telah bertalu semenjak dulu
untuk mengukur luas karsa,
peradaban dan pedalaman perawan
tonggak yang dipacak lantunan sunyi
—buah tangan lain hutan
atau hujan?

Dusun penuh dari telapak kaki
dari jejak ke jejak baru:
hidupmu.

2021

***

Lelaki dan Sebuah Dusun, 1

Tak ada rahasia,
saat musim tuai tiba.
Benar, segala merambatkan misteri.
Lebih halus dan mengarak hari demi hari
pada riwayat yang kesal
menata langkah.

Di kejauhan, orang-orang telah memberangkatkan
cuaca seperti tergesa. Keringat tiba
lebih ringan dari gerimis.
Lalu mentari berpesiar ke barat
mengharap sebuah taklimat
dari siklus musim tanam berikut.

Hatiku membungkuk
lebih kepada debu:
“Seorang telah mencatat cermin baru,
bagaimana dengan pintu ke segenap penjuruku?”

Aku mengukir simpul senyum
tatkala bagai deret komikal
kaki-kaki mungil pribumi
mengguratkan jejak lembut.
Bagai bayang-bayang malam saat bulan penuh
mengguyur pedusunan
dalam janji dan tujuan.

2019

***

Lelaki dan Sebuah Dusun, 2

Jika saja aku membuka
waktuku dan pandangku
serta kepada cahaya cerah yang jatuh
membuka pintu jendela mimpiku:
di luar, kudengar gema panjang
menada waktu.

Bulan kelima, langit beringsut dalam derajat.
Pedusunan yang menegangkan,
menenangkan dan mengalirkan
jauh lubuk tenang.

Di sinilah bila rindu
mencari berkat pertemuan.
Di sinilah bila harap
mencari harkat perkabulan.

Matahari bersenandung dan bersenandung.
Burung-burung membubung dan membubung.

Apakah wajah paling pasi dari si sakit
atau dera paling rintih dari kerja,
jam-jam adil membayar.

Sumber-sumber terbaik,
hijau—semarak merayakan warna panorama.
Kenangan-kenangan terbaik,
tumbuh kembali dalam tunas setiap musim.

2019

***

Lelaki dan Sebuah Dusun, 3

1.
Warna-warna gelap bersitahan,
ketika jam-jam baru memulai.

Di keheningan, udara terbaring lembap,
burung-burung belum memekik
dan kedamaian bertakhta cuma.

Subuh adalah fajar rekah kemudian.
Tirai hari terangkat,
seperti gema suatu pertunjukkan
dikumandangkan. Pintu rumah
dari bunyi terkuak,
angin yang melihat paras kebeningan
merendahkan laju sentuhannya.

2.
Selalu ribut tatkala desah hari berjalan.
Tatkala hujan bergiliran melanda
dinding pegunungan,
salam pertama berdenyut diucapkan
ladang dan hamparan tebal hijau
mengirim langkah-langkah angin ke ujung jauh ...

3.
Dia tidur, dia terjaga
di ranjang setiap musim. Lelaki itu adalah
pijaran di ketinggian,
bila perayaan melangsungkan sukacita.
Bebatuan di sungai,
bila gelegak arus membuncahkan
benak tanah sempit.

Tercenung dalam lubuk hari-hari
bagai sebutir bintang
di dua pertiga langit malam terakhir.

2019

***

Lelaki dan Sebuah Dusun, 4

Siklus tak putus ketika dari ketinggian
awan-gemawan, ringan dan transparan
berarak. Dia adalah hari cerah baru,
lengan menggapai kepada sang ibu.

Ketika di bawah matahari, aku merasakan
waktu berdenyut tenteram.

Lebih indah di hari itu,
tatkala kelepak fajar merintis pelan
jalan ke pintu rumahmu.

Di dusun, tabiat para kesatria
lebur dalam taklukan lembut
daur harian menara pembimbing iman.

2019

***

Lelaki dan Sebuah Dusun, 5


Seperti baru, mereka mulai melahirkan
pagi. Aku mengingat setapak
yang pernah mencairkan tangga ke surga.

Hanya sebuah bidang kecil
di kaki bukit. Dan matahari
adalah warna kuning memancar dari rona perawan.
Dengan arus dari bebatuam, engkau menjeram
musim-musim ketenangan,
sunyi memainkan seruling hati mentari.

Tanah didermakan dekat tepi laut.

Seperti para peri, mereka melantunkan himne
pengabdi. Tinggal di bawah atap-atap
yang dianyam embun rerumput kabut,
hati mereka berlarian sepanjang pepadang
menanam gelagah, bebijian ditebar
ke lahan jauh impian.

2019

Rudiana Ade Ginanjar, penyair, lahir di Cilacap, 21 Maret 1985. Sejumlah karyanya tersebar di surat kabar, buku antologi bersama, dan media daring.

Xi Jinping, Terkuat Setelah Pimpinan Mao

Putin menyelamati Xi atas perpanjangan masa jabatannya.

SELENGKAPNYA

Ketika Akasyah Hendak 'Memukul' Nabi

Akasyah seakan-akan hendak memukul Nabi sebagai balasan dahulu di Uhud.

SELENGKAPNYA

Misteri Angka 40, Sangkakala, dan Hari Kiamat

Jarak waktu antara kedua tiupan adalah empat puluh.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya