Dawam Rahardjo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Ekonomi, Hukum, dan Demokratisasi Politik

Demokrasi masih rawan, jika perkembangan ekonomi mengalami hambatan.

Oleh DAWAM RAHARJO

Pada tahun 1989, Samuel P Huntington dari Universitas Harvard menulis artikel ceramah yang setelah terbit dalam Jurnal of Democracy, diterbitkan kembali dalam buku The Global Resurgence of Democracy (diedit oleh Larry Diamond & Marc F Fletter, 1993) dengan judul Democracy's Third Wave. Inilah artikel cikal bakal bukunya yang terkenal, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991).

Hal yang menarik dalam artikel itu adalah tesisnya mengenai tiga gelombang demokrasi sejak 1920-1980. Gelombang demokrasi itu ternyata diikuti dengan gelombang balik (reverse wave) demokrasi yang telah masuk ke dalam sistim politik suatu negara. Karena itu, kita belum yakin tentang kelangsungan suatu demokrasi, sehingga lebih aman negara bersangkutan, khususnya negara-negara sedang berkembang, itu disebut sebagai baru memasuki masa "transisi menuju demokrasi".

Contoh yang paling mutakhir adalah Pakistan yang dalam tempo yang cukup lama telah menjalankan sistem demokrasi, tiba-tiba pada tahun 1999 ini dilanda oleh sebuah kudeta militer.

Sekarang ini, Indonesia, sejak 1998, telah memasuki fase transisi menuju demokrasi. Kasus Indonesia ini menarik. Pertama, Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia, sehingga jika demokratisasi berhasil di Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat. RRC sendiri belum bisa disebut sebagai negara demokratis hingga kini.

 
Karena itu, kita belum yakin tentang kelangsungan suatu demokrasi.
 
 

Kedua, Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, yang menurut Huntington, sulit menjadi negara demokratis. Huntington melihat data empiris, bahwa ternyata, demokrasi menghadapi hambatan kultural di berbagai negara.

Dua kultur besar yang mungkin tidak kompatibel dengan demokrasi adalah Konfusianisme yang dianut oleh negara-negara di Timur Jauh dan Asia Tenggara (Singapura) dan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara. Menurut survei Freedom House yang dikutip Huntington, sampai kini, di Dunia Islam, kecuali Turki dan Pakistan, yang dapat disebut demokratis, hanya ada dua negara baru di antara 37 negara yang dapat disebut bebas' (free), yaitu Turki Siprus dan Gambia.

Budaya dilihat oleh Huntington adalah faktor yang paling menonjol sebagai penghambat demokrasi. Islam bisa saja dan sering disebut sebagai agama yang memuat nilai-nilai demokrasi, walaupun nilai egalitarian lebih menonjol, tetapi dalam kenyataannya, demokrasi sulit masuk ke negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim.

Namun, Huntington berpendapat bahwa budaya itu adalah sebuah faktor yang dinamis dan bukannya statis. Satu-satunya yang bisa mengubah nilai-nilai budaya itu adalah faktor ekonomi. Dengan demikian, Huntington berpendapat bahwa perkembangan ekonomi adalah faktor terpenting yang bisa mengantar suatu negara ke dalam proses demokratisasi.

Sementara itu, kemiskinan adalah faktor yang lebih penting daripada budaya sebagai penghambat proses demokratisasi. Lebih rinci Huntington mengemukakan tiga faktor sekaligus yang harus berjalan bersama-sama: berkembangnya ekonomi, tegaknya hukum dan rule of law, serta proses demokratisasi politik.

 
Budaya dilihat oleh Huntington adalah faktor yang paling menonjol sebagai penghambat demokrasi.
 
 

Di Indonesia, proses demokratisasi timbul karena adanya perkembangan ekonomi di masa Orde Baru. Perkembangan ekonomi itu sendiri berjalan ke arah yang makin berorientasi pada pasar. Perkembangan pasar itulah yang sebenarnya menimbulkan tuntutan-tuntutan demokratisasi. Dengan demikian pasar tidak lepas dari demokratisasi. Hanya saja, sistem pasar itu sendiri di Indonesia tidak diikuti oleh perkembangan rule of law.

Kesenjangan inilah yang menimbulkan KKN. Selanjutnya KKN menimbulkan reaksi yang berupa tuntutan demokrasi, karena KKN sangat mengganggu perkembangan ekonomi, bahkan ternyata juga merupakan salah satu sumber krisis 1997.

Kegagalan Pakistan menempuh ujian masa transisi menuju demokrasi, ternyata karena KKN. Dengan alasan itulah militer mengambil alih kekuasaan dan sekarang melaksanakan program antikorupsi. Kita di Indonesia sekarang, perkembangan ekonomi ditahan oleh masalah penyelesaian KKN di masa lalu, bahkan yang dicurigai masih timbul sekarang.

 
Perkembangan pasar itulah yang sebenarnya menimbulkan tuntutan-tuntutan demokratisasi.
 
 

Seperti ditesiskan oleh Huntington, perkembangan ekonomi merupakan faktor pendukung proses demokratisasi. Jika perkembangan ekonomi gagal, demokrasi bisa tersandung. Karena itu untuk menyukseskan masa transisi tersebut, perkembangan ekonomi harus berhasil. Indonesia telah membuktikan bahwa kultur Islam bukan penghambat demokrasi. Bahkan kultur Islam, terutama doktrin amar makruf nahi mungkar, justru merupakan kekuatan pendorong demokrasi.

Dalam kenyataannya, Islam merupakan pelopor reformasi dan demokratisasi. Dalam proses demokrasi itu, tiga pemimpin Muslim, yakni M Amien Rais dari Muhammadiyah, Akbar Tanjung dari HMI, dan Abdurrahman Wahid dari NU berhasil menduduki posisi puncak di lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara, MPR, DPR, dan pemerintah.

Tapi demokrasi masih rawan, jika perkembangan ekonomi mengalami hambatan. Dewasa ini, perekonomian Indonesia, seperti penilaian Dr Syahrir, belum pulih dan masih berada dalam krisis. Indikatornya sederhana, perbankan belum mampu mengucurkan kredit, sehingga sektor riil belum bisa bergerak.

Perbankan belum mampu mengucurkan kredit karena hampir seluruhnya, termasuk bank negara, berada dalam keadaan insolvent alias bangkrut. Guna mengatasi itu ditugaskan BPPN yang memecahkan persoalannya antara lain dengan melakukan rekapitalisasi. Sebagian bank-bank swasta juga perlu diambil alih oleh pemerintah.

Dalam rangka rekapitalisasi dan pengambilalihan itu, BPPN harus menyita aset perbankan. Karena sebagian besar aset perbankan itu berada di tangan perusahaan-perusahaan yang meminjam dan tidak mampu mengembalikan utangnya, maka BPPN harus mengambil alih aset-aset perusahaan. Kini BPPN menghadapi sejumlah perusahaan yang membandel dalam penyelesaian utang.

 
Tapi demokrasi masih rawan, jika perkembangan ekonomi mengalami hambatan.
 
 

Kasus yang dijumpai adalah, bahwa ketidakmampuan membayar utang itu bukan hanya disebabkan krisis, tetapi juga penyelewengan-penyelewengan di masa lalu, ketika perusahaan-perusahaan itu menerima kredit. Inilah kasus yang dihadapi oleh Texmaco dan 12 konglomerat lainnya, yang di masa Orde Baru menjadi captain of industry.

Sekarang, dalam proses penanganan kredit macet Texmaco, Marimutu Sinivasan, orang pertama kelompok bisnis itu telah dinyatakan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung, setelah masalahnya dibongkar oleh Meneg BUMN, Laksamana Sukardi, sebagai mengandung proses KKN yang kompleks.

Di sini masalah penyehatan perbankan dan penyelesaian utang ternyata harus melewati proses peradilan. Di situ berdiri dua tujuan. Pertama, pemulihan ekonomi, dengan cara penyelamatan Texmaco, sebagai perusahaan yang dianggap cukup berhasil, masih berjalan dan memiliki aset sebesar Rp 4 triliun.

Kedua, adalah penegakan hukum dan rule of law. Texmaco barulah satu kasus. Kasus Bank Bali saja belum kunjung selesai. Untuk menyelesaikan semua kasus, diperlukan waktu yang cukup lama.

Baik penyelesaian masalah ekonomi dari krisis dan penegakan hukum dan rule of law> merupakan pendukung proses demokratisasi. Tetapi kedua hal itu sering tarik-menarik. Penegakan hukum tampak menghambat penyelesaian soal ekonomi. Tapi penyelesaian ekonomi tidak bisa mengabaikan penegakan hukum dan proses rule of law.

Jika hukum tidak bisa ditegakkan, bisa jadi akan timbul demonstrasi lagi. Tampilnya militer memang bukan kemungkinan besar. Tetapi demonstrasi-demonstrasi juga bisa merusak demokrasi maupun pasar. Itulah dua tantangan besar pemerintah.

Disadur dari Harian Republika edisi 13 Desember 1999. Dawam Rahardjo (1942-2018) adalah seorang cendekiawan Muslim terkemuka. Pembelaannya terhadap hak asasi manusia membuatnya diganjar Yap Thiam Hien Award pada 2013.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kakak dan Menantu Jadi ‘Bumper’ Rafael Soal Harta

KPK diminta melakukan pendalaman lebih jauh terkait harta Rafael.

SELENGKAPNYA

Ekspor CPO akan Diwajibkan Lewat Bursa Berjangka

Kemendag masih melakukan koordinasi dengan berbagai pihak.

SELENGKAPNYA

Erick Thohir Terjun Langsung Siapkan Piala Dunia U-20

Piala Dunia U-20 bisa menjadi kebangkitan sepak bola Indonesia.

SELENGKAPNYA