
Ekonomi
Ekspor CPO akan Diwajibkan Lewat Bursa Berjangka
Kemendag masih melakukan koordinasi dengan berbagai pihak.
JAKARTA -- Pemerintah berencana mewajibkan ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit melalui bursa berjangka. Kebijakan tersebut dinilai menjadi upaya untuk memperbaiki tata kelola indsutri sawit.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Didid Noordiatmoko mengatakan, Indonesia sudah punya ekosistem bursa berjangka untuk memfasilitasi CPO pada Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (BKDI).
Didid juga tidak menutup kemungkinan anak usaha holding BUMN perkebunan, PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN), bisa menjadi bursa berjangka untuk pasar ekspor CPO.
"Kami lebih pede (percaya diri) karena izin ekspor CPO tetap dari Kemendag. Dengan itu, kami akan mengatur ekspor CPO akan kita wajibkan melalui bursa berjangka," ujar Didid dalam diskusi bertajuk "Strategi Indonesia menjadi Barometer Harga Sawit Dunia" di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Didid menyampaikan, kewajiban ekspor CPO melalui bursa berjangka menjadi prioritas Kemendag dalam memperbaiki tata kelola CPO nasional. Meski begitu, Didid belum bisa membeberkan kapan pastinya kebijakan ini diterapkan, mengingat Kemendag masih akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain.
"Kami ingin secepatnya, tapi belum kami tetapkan sampai saat ini karena masih bicara dengan berbagai pihak, mungkin (kebijakan) ini belum ideal, tapi menjadi paling tepat untuk saat ini," ujar Didid.

Menurut Didid, upaya ini juga selaras dengan upaya kedaulatan Indonesia sebagai barometer harga sawit dunia. Kewajiban ekspor CPO melalui bursa berjangka akan meningkatkan transparansi, kepastian harga, dan akurasi data yang lebih kredibel.
Didid mencontohkan, laporan volume ekspor CPO Indonesia sejak 2019 berbeda dengan laporan impor yang diterima negara tujuan, seperti Cina, India, Pakistan, AS, dan Malaysia. Terdapat selisih yang menjadi indikasi terjadi kebocoran volume ekspor.
"Kalau begitu ke mana larinya? Artinya, kuota ekspor yang lebih rendah maka ada potensi negara tidak menerima dari yang seharusnya," kata Didid.
Dia menambahkan, kewajiban ini juga akan mendorong Indonesia dapat menjadi acuan dalam harga CPO dunia. Sebagai negara produsen CPO terbesar, Indonesia justru bergantung pada harga acuan dari Belanda dan Malaysia.
Didid megnatakan, harga patokan ekspor CPO Indonesia mengacu pada harga Belanda, Malaysia dengan bobot masing-masing 20 persen. "Indonesia negara terbesar penghasil CPO, tapi kenapa kita masih ambil harga dari Belanda dan Malaysia. Data lain menunjukkan seharusnya negara bisa menerima pendapatan yang lebih baik dari perdagangan CPO. Harapannya kita bisa menjadi penentu harga CPO dunia," kata Didid.

Indonesia memang menjadi salah satu produsen CPO terbesar di dunia. Namun, harga acuan sawit dunia justru merujuk ke dua bursa utama di Rotterdam, Belanda. Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan, sudah semestinya Indonesia menjadi rujukan pembentukan harga acuan minyak sawit dan referensi harga komoditas sawit dunia.
"Dulu, kita harganya ditentukan di global, karena kita tidak tahu pasarnya di mana lagi selain untuk minyak makan. Sekarang kita punya biodiesel, makanya harga kita yang tentukan," ujar Musdalifah.
Mus, begitu dia akrab disapa, mengatakan banyak pihak yang senang jika harga minyak sawit Indonesia jatuh. Untuk itu, pemerintah sangat serius mengembangkan biodiesel untuk menjaga stabilitas harga sawit. Mus mengatakan, langkah ini tentu mendapat tentangan dari sejumlah negara, terutama Uni Eropa (UE).
"Banyak yang untung kalau harga kita jatuh. Sekarang, kita harus menjaga konsistensi pemerintah dan masyarakat untuk teruskan biodiesel," kata Mus.
Mus menyampaikan Indonesia sejak lama telah mengimplementasikan aturan deforestasi dan traceability atau ketertelusuran terkait produksi sawit. Meski begitu, UE tetap mewajibkan adanya pernyataan due diligence atau uji kelayakan produk yang tidak berkontribusi ke penggundulan dan degradasi hutan di manapun setelah 31 Desember 2020.
Mus menilai aturan UE hanya ingin menyulitkan dan membuat buruk citra sawit Indonesia. "Pasar tuntut deforestasi, kita telah lakukan. Tracebility kita sudah punya ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System). UE sudah bingung di WTO, lalu cari-cari yang lain seolah-olah kita tidak melakukan upaya keberlanjutan," kata Mus.
Pamer Kekayaan Pejabat Warisan Kumpeni
Warga menjuluki Buaya Besar bagi pejabat VOC yang pamer kekayaan.
SELENGKAPNYADunia Takut Perubahan Iklim
Frekuensi bencana alam di Indonesia pun meningkat hingga 81 persen.
SELENGKAPNYADeretan Dampak Negatif yang Bisa Terjadi Akibat Flexing
Orang yang gemar flexing cenderung sulit mencari teman.
SELENGKAPNYA