
Geni
Deretan Dampak Negatif yang Bisa Terjadi Akibat Flexing
Orang yang gemar flexing cenderung sulit mencari teman.
Pamer harta, pencapaian, dan gaya hidup mewah kepada orang lain kini jamak dilakukan lewat media sosial. Tindakan itu dikenal dengan istilah flexing. Menurut studi, ada sederet dampak negatif yang bisa terjadi akibat perilaku tersebut.
Mengutip dari laman Insider, Kamis (2/3/2023), sebuah penelitian menunjukkan bahwa pelaku flexing cenderung sukar menjalin pertemanan. Riset itu telah diterbitkan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science.
Temuan studi menyebutkan bahwa 66 persen orang cenderung menyukai mobil mewah daripada mobil standar. Akan tetapi, ketika berkaitan dengan relasi sosial, kebanyakan orang lebih suka berteman dengan orang yang punya kendaraan lebih murah.
"Simbol status seperti mengendarai mobil mewah akan meningkatkan minat terhadap pemakainya, tetapi simbol status seperti itu justru membuat calon teman kurang tertarik untuk berteman dengan orang itu," kata salah satu peneliti, Stephen Garcia.
Menurut Garcia, para psikolog menyebut efek tersebut sebagai perbedaan perspektif dalam perbandingan sosial. Simbol status dan apa pun yang terkait dengan hak istimewa justru dapat menjadi bumerang saat seseorang mencoba mencari teman baru.
View this post on Instagram
Sebenarnya, aksi flexing tidak hanya dilakoni Youtuber kekinian atau pengguna Instagram baru-baru ini. Beberapa dekade silam, figur publik Paris Hilton lewat tayangan realitas "The Simple Lif" yang tayang di MTV pada 2003 hingga 2007. Namun, memang kini hal itu kian gencar dilakukan sebagian influencer.
Pakar perilaku konsumen dan strategi pemasaran Carla Abdalla menyoroti tingginya minat terhadap konten gaya hidup menjadi pemicunya. Abdalla bertanya kepada para influencer digital tentang keahlian mereka dan jawabannya hampir selalu 'gaya hidup'.
"Ketika saya menanyakan gaya hidup seperti apa, mereka mengatakan itu adalah mengenakan pakaian karya desainer, restoran gourmet, gadget berteknologi tinggi, perjalanan keliling dunia, dan sebagainya. Keahlian mereka adalah konsumsi," ujar pengajar di Armando Alvares Penteado Foundation, Brasil, itu.
Menariknya, pengaruh sosial dari Youtuber dan influencer di Brasil dinilai Abdalla lebih besar daripada orang yang terkenal secara konvensional. Menurut Abdalla, banyak yang menggunakan formula "memulai dari bawah dan kini berhasil mencapai banyak hal".
Elemen berjuang dari nol itu mungkin yang membuat banyak penggemar mengidolakan para influencer, meskipun mereka suka pamer dan melakukan flexing. Media sosial membuat pencapaian yang ada tampak lebih dramatis, dengan berbagai bumbu kisah. Meskipun, bagi pengguna internet yang skeptis, tayangan hiperkonsumerisme itu mungkin sedikit menjijikkan.
Ganggu Kesehatan Mental
View this post on Instagram
Psikolog Tim Kasser dari Knox College di Illinois, Amerika Serikat, menyoroti bahwa nilai-nilai materialis turut dipopulerkan oleh para pemilik jenama lewat iklan media massa. Banyak konten iklan pada era 1950-an di AS fokus pada kekayaan, status, citra, dan kepemilikan.
Semakin besar dukungan seseorang terhadap konsumerisme, semakin buruk kesejahteraan mental orang tersebut. "Mereka menjadi kurang berempati, kurang prososial, lebih kompetitif. Mereka cenderung tidak mendukung kelestarian lingkungan, lebih cenderung mendukung keyakinan yang merugikan dan diskriminatif," ujar Kasser, dikutip dari laman Wired.
"Impian Amerika" bukan lagi tentang kebebasan menjalani hidup, melainkan kesuksesan dengan garasi dua mobil dan kulkas mewah. Tren itu meningkat hingga 1980-an dan terus berlanjut walaupun ada juga gerakan kontra, seperti punk, grunge, dan hipster.
Saat ini, para komentator terkadang mengomel tentang tayangan flexing berupa konten bersponsor yang sebenarnya merupakan kesepakatan dengan jenama tertentu. Nyatanya tayangan konsumerisme juga jadi cara yang lebih murah dan mudah bagi jenama untuk beriklan daripada menayangkan iklan televisi.
Dengan semua kondisi itu, Kasser tetap menyarankan untuk mewaspadai flexing karena itu bisa membahayakan kondisi psikologis. Setelah meninjau lebih dari 200 penelitian, Kasser menyampaikan efek negatif bagi orang yang mendukung materialisme.
Semakin besar dukungan seseorang terhadap konsumerisme, semakin buruk kesejahteraan mental orang tersebut.TIM KASSER, Psikolog dari Knox College di Illinois, Amerika Serikat
Serangan Pemukim Israel Berlanjut
AS mengecam komentar pejabat Israel soal penyerangan di Huwara.
SELENGKAPNYARagam Penyakit yang Bisa Diidentifikasi Melalui Sembelit
Sembelit yang sudah kronis juga bisa menjadi tanda dari penyakit berbahaya,
SELENGKAPNYARumah Ibadah Lawan Perubahan Iklim
Mewujudkan rumah ibadah ramah lingkungan merupakan bentuk pertobatan ekologis.
SELENGKAPNYA