
Nasional
Wapres Hingga Presiden Mendukung Pemilu Proporsional Terbuka
Perubahan sistem pemilu di tengah tahapan berpotensi menimbulkan gejolak.
JAKARTA – Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan mendukung sistem pemilu proporsional terbuka yang saat ini sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) tetap dipertahankan. Hal ini sesuai dengan keinginan mayoritas partai politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan masyarakat.
“Pemerintah juga mendukung pemilu terbuka, kemudian partai-partai delapan partai juga minta yang terbuka. Banyak opini masyarakat juga seperti itu (pemilu terbuka),” ujar Ma’ruf di sela kunjungan kerjanya ke Sulawesi Barat, sebagaimana dibagikan Sekretariat Wakil Presiden, Jumat (24/2).
Karena itu, dia berharap, MK dalam pertimbangannya mendukung tetap berlakunya sistem pemilu proporsional terbuka. Saat ini, pemerintah masih menunggu putusan dan tidak dapat mengintervensi putusan MK.
“Semua menunggu sekarang, pemerintah pun menunggu, (tetapi) pemerintah sudah siap melaksanakan sistem pemilu terbuka yang berlaku sekarang. Tapi, andaikata MK memutuskan lain kan semua keputusan MK itu (pemerintah) harus tunduk, final, dan binding,” ujar Ma’ruf.

Dia menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sudah menyampaikan pendapatnya di depan MK tentang sistem pemilu terbuka.
Begitu juga partai politik lainnya. “Nah, kita tunggu MK ini mempertimbangkan seperti apa atau punya alasan seperti apa. Semua menunggu sekarang, pemerintah pun menunggu,” ujarnya.
Sidang uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu tentang sistem proporsional terbuka di MK saat ini masih terus bergulir. Terakhir, sidang atas gugatan dari kader PDIP masih dalam agenda pemberian keterangan pihak terkait, salah satunya dari partai politik seperti PKS.
Dalam sidang gugatan uji materi sistem pemilihan legislatif sistem proporsional terbuka di gedung MK, Jakarta, pada Kamis (26/1), Presiden Jokowi menilai, perubahan sistem pemilu saat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan politik.
Presiden Jokowi menyampaikan keterangan resmi tersebut lewat kuasa hukumnya, Menkumham Yasonna Laoly dan Mendagri Tito Karnavian. Keterangan itu dibacakan oleh Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar.
Dalam bagian petitumnya, Presiden meminta MK memutuskan Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka, tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan masih punya kekuatan hukum mengikat. Artinya, Presiden meminta MK menolak permohonan penggugat agar sistem pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.
Dalam keterangannya, Presiden mengatakan proses penyelenggaraan Pemilu 2024 saat ini sedang berjalan. Jika MK memutuskan mengubah sistem pileg di tengah tahapan seperti saat ini, dikhawatirkan dapat menimbulkan gejolak.
“Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilihan umum di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai politik maupun di tingkat masyarakat,” kata Bahtiar, Kamis (26/1).
Pada sidang uji materi pada Kamis (24/2), mantan calon anggota legislatif (caleg) PDIP, M Sholeh, hadir sebagai pihak terkait. Dalam keterangannya, Sholeh membantah anggapan penggugat bahwa sistem proporsional terbuka membuat caleg harus mengeluarkan biaya besar untuk menang.
Sholeh menyebut, fakta justru menunjukkan bahwa banyak caleg yang tidak punya modal besar, tapi berhasil menang. Fakta ini banyak ditemukan pada caleg PDIP. Salah satu contohnya adalah anggota DPR Johan Budi.
“Caleg PDIP yang namanya Johan Budi, mantan komisioner KPK, uang dari mana dia? Nyatanya dia bisa terpilih mengalahkan incumbent, Budiman Sudjatmiko,” ujar Sholeh di hadapan majelis hakim MK.
Nyatanya dia bisa terpilih mengalahkan incumbent, Budiman Sudjatmiko.M SHOLEH, Mantan Caleg PDIP
Pernyataan Sholeh tersebut merujuk pada hasil Pileg 2019 di daerah pemilihan VII Jawa Timur. Ketika itu, Johan meraih 75.395 suara, sehingga dinyatakan lolos ke Senayan.
Adapun Budiman Sudjatmiko, yang juga caleg PDIP, kalah karena hanya meraih 48.806 suara. Menurut Sholeh, Johan Budi bisa mengalahkan Budiman bukan karena punya modal uang besar. Johan menang karena memiliki modal sosial tinggi dan mau turun ke masyarakat.
Dalam kesempatan itu, Sholeh juga menyoroti dalil penggugat bahwa sistem proporsional terbuka membuat caleg dalam satu partai bertarung memperebutkan suara di dapil yang sama. Baginya, persaingan itu bukanlah sebuah masalah.
“Perang terbuka menurut ‘pihak terkait’ adalah sesuatu yang baik. Justru karena mereka perang, mereka berlomba-lomba mendekatkan diri kepada masyarakat,” ujar Sholeh.
Persaingan semacam itu, Sholeh melanjutkan, tidak ada dalam sistem proporsional tertutup. Sebab, hanya caleg dengan nomor urut teratas yang mau turun ke masyarakat demi meraup suara. Sedangkan, caleg dengan nomor urut besar tidak mau turun karena peluang menangnya tipis.
Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos parpol. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.
Saat Pemilu 2004, mulai diterapkan sistem proporsional semiterbuka. Pada 2008, M Sholeh mengajukan gugatan uji materi atas sistem proporsional semiterbuka itu. Hasilnya, MK memutuskan bahwa sistem proporsional terbuka penuh digunakan mulai Pemilu 2009.
Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan ataupun parpolnya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi anggota dewan. Sistem ini dipakai hingga Pemilu 2019.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Kupas Tuntas Burnout di Tengah Gaya Hidup Modern
Burnout adalah fenomena zaman modern yang disebabkan oleh terlalu banyak bekerja dan budaya gila kerja.
SELENGKAPNYA