
Konsultasi Syariah
Karena Sudah Maklum, Makan Dulu Baru Bayar
Bagaimana ketentuan syariah mengenai makan dulu baru bayar?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Mungkin bukan hanya saya, tapi banyak orang. Makan di warung makan, nggak tanya dulu, langsung minta ke pelayan, ia pilih menu dan ia makan. Setelah itu bayar. Karena sering makan di warung makan sejenis itu di Indonesia, jadi kisaran harga dah pada maklum walaupun nggak tanya dulu. Nah yang seperti itu gharar kah? Mohon penjelasan Ustaz. -- Faisal, Tegal
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jika pembeli sudah maklum dengan harga makanan yang dikonsumsinya (di kisaran sekian) seperti warung makan dan resto lokal di Indonesia, maka dibolehkan.
Karena sering makan di warung tersebut, ia pun tahu harganya di kisaran sekian. Maka jika ia makan, tapi belum ada kesepakatan harga, kemudian bayar, itu dibolehkan dan tidak termasuk gharar walaupun belum diketahui atau belum disepakati harganya terlebih dahulu. Sebagaimana bai’ al-istijrar dalam fikih klasik dan sewa taksi berbasis argometer dalam transaksi kekinian.
Kesimpulan ini akan dijelaskan dalam poin-poin berikut. Pertama, para ulama menegaskan bahwa di antara rukun yang harus dipenuhi dalam setiap transaksi adalah harga harus diketahui oleh para pihak pada saat perjanjian atau kesepakatan atau ijab qabul.
Misalkan, seseorang berbelanja di supermarket, maka pada saat membeli atau bertransaksi barang dan harganya harus diketahui agar memenuhi rukun akad. Rukun ini diberlakukan secara wajib dan mandatori.
Dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada para pihak agar hak-hak mereka terpenuhi sebagai pembeli atau penjual, dan agar tidak ada cacat ridha, serta tidak ada yang dirugikan dan dikecewakan.
Seperti seseorang yang membeli handphone dengan harga Rp 5 juta. Ia sudah melihatnya. Setelah berbelanja, pembeli mendapatkan handphone dan penjual mendapatkan keuntungan, semua lapang dan ridha.
Berbeda halnya jika berbelanja, tetapi tidak diketahui harga dan berasumsi harganya Rp 7 juta, tetapi pada saat ijab qabul ternyata harganya Rp 10 juta, maka berpotensi ia kaget dan merasa dirugikan. Atas dasar itu, harga wajib diketahui pada saat transaksi.
Atas dasar itu, harga wajib diketahui pada saat transaksi.
Kedua, tetapi beberapa literatur fikih menjelaskan tentang kondisi pengecualian. Di dalam beberapa transaksi itu ditoleransi atau diperbolehkan seseorang membeli atau menjual dengan harga yang belum diketahui.
Ia membeli, kemudian mengonsumsi, dan harganya disepakati pada saat akad. Di antara literatur tersebut adalah Standar Syariah Internasional AAOIFI No 31 tentang Dhabith al-Gharar, yang mengecualikan beberapa transaksi yang membolehkan harga masih tidak jelas dan belum diketahui pada saat transaksi, harga ditentukan di kemudian.
[1]. Bai’ al-Istijrar. istilah ini merupakan istilah transaksi dalam fikih tentang kontrak yang disebutkan oleh para ahli fikih salaf dan khalaf. Sederhananya yang dimaksud dengan bai’ al-istijrar adalah transaksi di mana para pembeli bertransaksi dengan para penjual membeli barang atau mengambil barang tanpa diketahui harganya.
Harganya disampaikan dan disepakati kemudian, bahkan setelah barang tersebut dipakai atau digunakan atau dikonsumsi (jika makanan).
Sebagaimana penegasan dari Standar Syariah Internasional AAOIFI: "...Atau bertransaksi dengan harga yang biasa dilakukan oleh masyarakat atau bai’ al-istijrar, yaitu mengambil atau membeli sesuatu dari para penjual secara rutin tanpa ijab qabul dan menentukan harganya walaupun setelah habis dikonsumsi sesuai dengan kebiasaan masyarakat..." (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 31 tentang Dhabith al-Gharar).
[2]. Seperti sewa taksi berbasis argometer. Harganya tidak diketahui pada saat naik taksi (pada saat mulai perjalanan). Baru diketahui argo dan harga yang harus dibayar itu setelah sampai tujuan.
Tetapi hal itu dibolehkan karena keumuman dan kelaziman serta yang naik taksi juga tidak akan komplain dengan harganya. Sejak awal, ia menyetujui bahwa harganya itu akan sekian dan ia ridha dengan harga tersebut.
Sebagaimana penegasan dari Standar Syariah Internasional AAOIFI: "...Atau menyewa taksi dengan argo, di mana nominal fee itu tidak bisa diketahui kecuali sudah sampai pada lokasi yang dituju..." (Standar Syariah Internasional AAOIFI No.31 tentang Dhabith al-Gharar).
[3]. Karena yang menjadi substansi adalah kelaziman dan ridha ini hanya berlaku dalam komoditas tertentu atau transaksi tertentu, di mana kedua belah pihak sama-sama memahami bahwa harga barang tersebut itu di kisaran sekian.
Ketiga, berdasarkan penjelasan poin ketiga di atas, makan dulu (tanpa tahu harga), baru bayar seperti yang terjadi di beberapa warung makan dan resto lokal di Indonesia itu dibolehkan dan tidak termasuk gharar selama ia sudah maklum bahwa harga makanan yang dikonsumsinya itu di kisaran sekian.
Di mana pada saat membeli dan mengonsumsi makanan, sedangkan harganya belum ditentukan (padahal ijab qabul sudah terjadi).
Keempat, begitu pula kebolehan tersebut bersyarat saat masing-masing pihak paham harganya di kisaran sekian dan mereka akan ridha dengan harga yang akan diketahui tersebut seperti argo taksi dan makan di warung.
Oleh karena itu, ketentuan ini tidak boleh diberlakukan di transaksi-transaksi yang tidak ada kelaziman tentang harga dalam persepsi pembali dan penjual atau tidak ada referensi yang dirujuk. Misalnya jual beli rumah, jual beli kendaraan, apalagi transaksi ekspor impor, beli makanan di resto luar negeri, maka transaksi ini wajib disepakati harganya.
Sebagaimana penegasan dari Standar Syariah Internasional AAOIFI: "...Menjual sesuatu dengan harga pasar pada saat transaksi atau sesuai dengan harga pasar pada saat membeli, atau sesuai dengan harga yang lazim dilakukan oleh masyarakat..." (Standar Syariah Internasional AAOIFI No 31 tentang Dhabith al-Gharar).
Maksudnya, berjualan atau membeli barang, saat ijab qabul harga tidak diketahui tetapi masing-masing paham bahwa harganya meliputi harga pasar pada saat itu. Misalnya membeli handphone, disepakati handphone itu dijual sesuai dengan harga pasar.
Jika para pihak sama-sama paham dengan ungkapan harga pasar, maka diperbolehkan membeli handphone tanpa diketahui harga tetapi merujuk pada harga pasar. Namun bukan bagian dari pengecualian ini jika harga pasar yang dimaksud itu tidak diketaui atau berbeda-beda.
Jika dipraktikkan saat ini berpotensi penyimpangan dan cacat ridha. Karena yang dimaksud dengan jualan dengan harga pasar, mungkin pada zaman dulu harga pasar itu diketahui definitif. Namun pada hari ini harga pasar mungkin tidak diketahui dalam setiap transaksi dan hanya diketahui dalam transaksi-transaksi tertentu.
Wallahu a’lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Jejak Perang Dunia II di Gerbang Pasifik
Pulau Morotai tempat menarik untuk menelusuri sejarah Perang Dunia II.
SELENGKAPNYAPasukan Tambahan Mulai Diterjunkan ke Nduga
Operasi TNI di Nduga dinilai memerlukan perpres.
SELENGKAPNYAMenggoreng Ikan dalam Keadaan Hidup, Apa Hukumnya?
Menggoreng ikan dalam keadaan hidup masuk kategori menyakiti hewan
SELENGKAPNYA