
Sastra
Petani dan Puing-Puing Langgar
Cerpen Muhamad Iqbal
Pada suatu pagi di sawah itu. Ketika butir-butir embun masih hinggap pada dedaunan, rerumputan, dan pada padi-padi yang sedang merunduk—terlihat seperti kumbang-kumbang bening sekarat yang lambat-lambat berjatuhan.
Matahari di timur yang terhalang oleh perbukitan kecil, perlahan-lahan meninggi, cahaya keemasannya menerobos dari sela-sela pepohonan. Udara pagi yang seharusnya menyejukan dan menyegarkan. Tidak lagi bagi para petani. Rasanya udara pagi kali ini begitu menyesakkan dada. Terhirup bau sehabis pembakaran, aroma yang menyakitkan: sebuah langgar telah hangus terbakar.
Letak langgar pada sebuah lahan kosong, tepatnya di tengah-tengah hamparan sawah. Langgar itu dibangun layaknya rumah panggung. Terbuat dari bilah papan kayu yang dipakukan dengan dinding anyaman bilik, juga empat bambu gombong terpancang pada batu semen, dan ijuk-ijuk sebagai atapnya. Namun semua itu telah menjadi gundukan arang dan kenangan.
Hangusnya langgar tercinta; patah hati bagi mereka. Petani-petani itu berdiri, berkumpul persis di muka puing-puing langgar. Dengan serentak, mereka menanggalkan capingnya masing-masing, lalu dipeluknya caping itu di dada-dada mereka.
Semua petani menunduk, berduka atas kematian langgar kesayangan. Butir-butir embun baru—keluar—menitik dari tiap kelopak mata para petani. Mereka merasa terpukul, ‘tuk memandangnya pun tak kuasa. Bila ditanya mana yang paling memedihkan antara langgar terbakar atau panen yang gagal, para petani tak mampu menjawab. Dua-duanya sangat menyayat hati.
Letak langgar pada sebuah lahan kosong, tepatnya di tengah-tengah hamparan sawah.
Petani-petani itu mencangkul ingatan lama mereka. Saat-saat membangun langgar, mulai dari perizinan, berujung pada penolakan oleh pemilik lahan, sampai-sampai para petani mengumpulkan uang dari hasil penjualan padi-padi mereka untuk membeli sepetak tanah dan material bahan bangunan, lalu serempak mereka mengangkut bahan-bahan itu dan mendirikan langgar bersama. Perjuangan itu begitu membekas pada benak mereka.
Langgar adalah satu-satunya tempat mereka mengadu, memanjatkan doa, serta menggantungkan harapan hasil padinya di sawah itu. Juga dibangun dengan alasan jarak antara sawah dan perkampungan, yang kurang lebih harus ditempuh dengan berjalan kaki setengah jam. Langgar pun telah menjadi bagian dari mereka. Ketika jam-jam istirahat, semua berkumpul di depan langgar, makan siang sambil bergurau bersama.
“Siapa yang tega-teganya membakar langgar kami?” teriak satu petani sembari terisak.
“Sungguh jahanam bagi si pembakar langgar!” makian petani lain.
Petani-petani itu meluapkan ketidakterimaannya, melampiaskan rasa sakitnya. Sebagian marah dan geram; sebagian lagi meratap. Riuh caci-maki dan keluhan terus bersahutan, susul-menyusul, dan menggema. Suara mereka bagaikan jeritan sawah yang sedang menangis. Sungguh, hari panen yang muram.
“Mengapa Engkau biarkan rumah-Mu hangus terbakar, ketika kami yang seharusnya senang dan gembira pada hari panen ini?” ratap satu petani.
Petani-petani itu ingin sekali segera memanen tanamannya.
Petani-petani itu ingin sekali segera memanen tanamannya. Namun mereka tak bisa, saat ini suasana tengah berduka. Bila menghiraukan langgar—memaksakan ‘tuk bekerja—rasanya ada sesuatu yang mengganjal dan berdosa, seperti kewajiban orang hidup belum tuntas mengurusi mayat.
Tiba-tiba suara entah dari mana mengagetkan para petani.
“Hei, petani-petani cengeng, tak malukah kalian menangisi saung butut itu?”
Semua petani terkejut, isak tangis mereka mendadak berhenti. Mereka menyeka air matanya dengan punggung tangan. Raut wajah mereka yang sehabis menangis, sekarang tampak kebingungan. Sorot matanya mencari-cari sumber suara itu.
Siapakah yang baru saja berbicara? Apakah puing-puing langgar? Atau padi-padi? Atau belalang-belalang? Oh, siapakah?
“Siapakah kau? Tunjukkan wajahmu pada kami!” teriak lagi petani yang tadi.
“Aku. Akulah yang berbicara.”
Mereka memalingkan wajah, menatap pada asal suara tersebut dengan mata-mata yang terbelalak.
Mereka memalingkan wajah, menatap pada asal suara tersebut dengan mata-mata yang terbelalak. Suara itu berasal dari sesuatu yang menggantung—ia dipakukan pada kayu, disalib di salah satu petak sawah yang tak jauh dari langgar. Bebegig. Begitulah mereka memanggilnya.
Bebegig itu mengenakan jas dan celana serba hitam, seperti diciptakan untuk mendatangi upacara pemakaman. Bebegig yang dari dulu selalu menunduk, sekarang ia mengangkat kepalanya; mata dan mulut yang hanya digambar oleh tinta pada sebuah bola plastik putih, sekarang mampu mengedip dan berbicara. Mereka ternganga keheranan, mengapa, mengapa bebegig itu berbicara.
“Apakah kau adalah utusan Tuhan?” celetuk satu petani.
“Bukan, bodoh!” sahut bebegig, “Aku adalah makhluk buatan kalian. Namun atas izin Tuhanlah, aku mampu berbicara.”
“Apa maksudmu, bebegig, kami menangisi saung butut? Kau mencela Tuhan? Apakah kau tidak tahu itu adalah langgar: rumah Tuhan!” teriak kesal petani tadi.
Kepala bebegig memutar, matanya menyalang, melihat satu per satu petani-petani itu.
Kepala bebegig memutar, matanya menyalang, melihat satu per satu petani-petani itu.
“Langgar adalah fana. Itu hanyalah bangunan. Kalian terlalu mengagung-agungkan kayu dan bambu. Tuhan tak sudi mengunjungi pada saung butut itu, karena diisi oleh petani-petani busuk macam kalian. Sembahyang hanya sekadar lisan dan gerakan. Tidak ada Tuhan pada hatinya juga jiwanya. Padahal Tuhan senantiasa hadir dalam hati dan jiwa manusia, namun kalian, penuh dengan lumpur busuk.”
“Ah, kau jangan mengada-ngada,” dalih satu petani,” untuk apa merawat langgar, bila di hati dan jiwa kami tak ada Tuhan? Tuhanlah yang selalu membersamai kami. Buktinya, lihatlah! Lihat panen kami sekarang, berlimpah ruah! Tuhan yang menganugerahinya karena kami selalu mengingatnya.”
“Bila di hati dan jiwa kalian ada Tuhan, mengapa langgar kalian terbakar?
“Itu adalah sebuah musibah.” timpal petani itu.
“Tapi musibah itu hukuman dari dosa-dosa kalian!” tegas bebegig.
Sejenak mereka hening. Ucapan terakhir bebegig seperti gemuruh kebenaran yang menggelegar, yang mampu mengguncangkan hati para pendengarnya.
Tiba-tiba dengan tubuh gemetar satu petani wanita memberanikan diri untuk bertanya.
“Tuan bebegig, kau selalu diam di sana, tepat dekat langgar. Apakah kau tahu siapa pelaku yang membakar langgar?”
Rasa sayang dan cinta kalianlah yang membakar langgar.
“Rasa sayang dan cinta kalianlah yang membakar langgar. Sayang dan cinta menjelma menjadi percik-percik api dan minyaknya adalah dosa kalian. Api menjalar menggerogoti kayu dan bambu. Api kian lama kian membesar. Menjilat-jilat. Lalu rubuh perlahan-lahan.”
“Dosa? Kami tidak pernah melakukan dosa. Kami selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Kami benar-benar suci, tanpa ….”
“Bohong!” tukas bebegig, “Congkak betul kalian menganggap suci tanpa dosa. Padahal terdapat noda hitam pada tubuh kalian.”
Dosa apa yang kami perbuat? Pikir para petani. Mereka mencangkul kembali ingatan-ingatan lama. Ingatan tentang dosa, apakah ada atau mungkin telah terbenam oleh lumpur-lumpur di kepalanya.
Tapi mereka tetap mencangkul, terus mencangkul, sampai-sampai cangkul menghantam sesuatu: sebuah batu. Batu besar dalam lumpur itu. Para petani ingat, dosa mereka adalah batu. Ya, batu adalah dosa mereka.
Pada musim tandur tahun-tahun lalu, ketika para petani sibuk menanam padi. Datang seseorang lelaki—entah dari mana asalnya— mengencingi langgar. Seorang petani yang bekerja dekat langgar, tak sengaja melihat itu, tiba-tiba meninggalkan pekerjaannya, terus menghampirinya dengan perasaan geram.
Tanpa basa-basi, ia menyeret bajunya, lalu mengempaskannya ke lumpur sawah. Para petani-petani lain kaget dan penasaran, menunda pula pekerjaannya, beramai-ramai mendatangi dan mengerumuni orang itu. Ia menjelaskan kepada petani-petani lain bagaimana kejadian tersebut. Sontak, semua petani marah.
“Dasar orang gila!” maki petani.
Orang gila mengatakan alasannya bahwa tak tahu yang dikencinginya adalah sebuah langgar karena bangunan itu seperti jamban.
Orang gila mengatakan alasannya bahwa tak tahu yang dikencinginya adalah sebuah langgar karena bangunan itu seperti jamban. Para petani mendengar penjelasannya semakin marah.
Satu petani mengangkatnya dari kubangan lumpur, lalu mengusir dengan menendangnya. Orang gila yang bermandikan lumpur itu bangkit, lalu berjalan meninggalkan para petani yang sedang berteriak memaki sembari melempari batu kerikil.
Mengingat itu, wajah petani-petani mendadak pucat, lalu berlinang air matanya.
“Setiap manusia pasti berdosa,” ujar bebegig, “mereka pernah melakukan dosa. Maka cepat bertobatlah! Lalu sembahlah, berdoalah, panjatkan nama-Nya di mana pun! Hamparan tanah adalah sajadah. Sungkurkan kepala kalian! Biarkan tanah menyerap dosa-dosa yang telah kalian perbuat.”
Tubuh mereka lesu dan lemas. Pasrah. Petani-petani menyungkurkan kepalanya pada tanah. Sujud menghadap langgar. Memohon pengampunan, memanjatkan nama-Nya dan berjanji senantiasa bertobat. Sawah menangis kembali, namun isak tangis kali ini berbeda, bukan lagi kemarahan, tetapi suatu penyesalan.
“Tak apa. Tuhan pasti mendengar penyesalan dan pertobatanmu. Sekarang bangkitlah, bersihkan puing-puing langgar, dan panenlah padi-padi kalian! Semoga Tuhan mengampuni kalian.” kata bebegig.
Petani-petani bangkit dari sujud. Melirik pada bebegig, ia telah menunduk kembali. Dengan bercucuran air mata, mereka mengangkat satu per satu puing langgar secara gotong-royong.
Ketika salah satu petani mengangangkat satu balok kayu hitam, ia benar-benar terkejut, pada timbunan antara balok-balok itu meringkuk sebuah arang yang berbentuk aneh. “Ada mayat!”
Cikukuk, 2022.
Muhamad Iqbal, kelahiran Ciamis. Saat ini sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Cirebon.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Masa Ibadah Haji Dipangkas demi BPIH Murah, Mungkinkah?
Bandara Taif disebut GACA belum memenuhi standar penerbangan haji.
SELENGKAPNYANikah di KUA dan Kisah Armand Maulana
Fenomena nikah di KUA tak lepas dari program revitalisasi KUA yang dicanangkan Kemenag.
SELENGKAPNYAShalat Ghaib bagi Korban Gempa Turki Suriah
Korban tewas di Turki telah mencapai angka 18.342 jiwa.
SELENGKAPNYA