
Nasional
Ketidakpedulian Terhadap Riset Sudah Mengakar
Periset saat ini sudah putus asa dan hanya bisa pasrah.
JAKARTA – Persoalan pada ekosistem riset disebut bukan hanya terjadi dalam tubuh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saja, tetapi juga terjadi di dalam satu konstruksi nasional. Di mana, ketidakpedulian terhadap riset dan ilmu pengetahuan menjadikan apa yang dicita-citakan bangsa dan negara menjadi kontraproduktif.
“Concern kami ini tidak hanya terjadi di dalam tubuh BRIN sendiri, tetapi kami melihat ada satu konstruksi nasional kita yang tidak peduli riset. Ini yang menurut saya jadi kontraproduktif,” ujar peneliti di Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN, Maxensius Tri Sambodo, kepada Republika, Rabu (8/2).
Ekosistem riset yang baik, yang dapat memberikan kebebasan kepada para periset untuk meneliti, penting untuk dihadirkan. Dengan ekosistem riset yang baik, periset dan peneliti dapat melakukan hal-hal bermanfaat dalam upaya mencapai tujuan-tujuan hidup berbangsa dan bernegara, yakni meningkatkan daya saing ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan lainnya.

“Untuk menuju hal itu tentu peneliti dan periset harus diberikan ekosistem yang baik, (dengan) anggaran yang memadai, infrastruktur yang unggul, lingkungan kerja yang bersahabat, dan seterusnya. Termasuk juga kepekaan di dalam merespons keinginan-keinginan baik dari para periset,” kata pria yang kerap disapa Max itu.
Menurut Max, semua itu saat ini tidak berjalan dengan optimal dan baik. Berbagai upaya untuk menyampaikan persoalan-persoalan ekosistem riset di Indonesia sudah dilakukan, mulai dari melalui dialog publik, pemberitaan, berkomunikasi dengan DPR dan wakil presiden, hingga bersurat kepada presiden. Dia mengaku, peneliti dan periset saat ini sudah putus asa dan hanya bisa pasrah dengan kondisi yang ada.
“Ini yang sebetulnya membuat kami agak putus asa. Bagaimana ini? Padahal kita tahu ilmu pengetahuan adalah pilar kemajuan bangsa. Ilmu pengetahuan adalah cara kita untuk menjadi negara maju. Ilmu pengetahuan adalah basis suatu peradaban bangsa, yang harusnya dikawal dengan sebaik-baiknya dengan penuh kepedulian dan kepekaan,” ujar dia.
Mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengatakan, kenyataan yang ada membuat para peneliti dan periset kebingungan dan mempertanyakan sikap pemerintah terhadap dunia riset di Indonesia. Padahal, persoalan-persoalan filosofis yang ada tersebut menimbulkan banyak ekses di level mikro, seperti keluhan-keluhan peneliti yang sudah kerap diungkap hingga saat ini. Hal itu, kata dia, akan mengganggu pencapaian target-target strategis nasional.
Ilmu pengetahuan adalah pilar kemajuan bangsa. Ilmu pengetahuan adalah cara kita untuk menjadi negara maju. Ilmu pengetahuan adalah basis suatu peradaban bangsa.
“Yang saat ini kita rasakan anggaran risetnya tidak memadai. Banyak gagasan riset yang juga tidak didanai karena memang uangnya mungkin memang terbatas. Kemudian kita rasakan juga lingkungan kerja susah. Jadi, dengan co-working space, kadang-kadang ada tempat, kadang-kadang tidak, dan kenyamanan-kenyamanan lain. Belum kita berbicara pada laboratorium dan lain sebagainya,” kata Max.
Melihat semua persoalan itu dan perjuangan yang sudah dilakukan beberapa tahun terakhir, Max menyatakan, hati pemerintah sudah beku dalam melihat dinamika yang terjadi pada peneliti dan periset Indonesia. Dia pun bertanya-tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi. Tapi, dia melihat memang ada masalah besar di demokrasi Indonesia, yang tidak bisa mendengar dan meresapi masukan-masukan yang diberikan.
“Saya tidak tahu kenapa hatinya beku. Apa karena ada kepentingan-kepentingan lain? Saya juga tidak tahu. Tapi, bagi kami, yang berjuang hampir tiga tahun lebih ini, ya kita bisa simpulkan hati yang beku terkait dengan masa depan riset,” kata dia.
Saat ini, Max dan peneliti serta periset lainnya tetap berjalan memenuhi tanggung jawab profesi meski dengan performa yang tidak optimal. Sebab, kata dia, tanggung jawab itu dikerjakan dengan sumber daya yang amat terbatas. Max kemudian mengeluarkan adagium ‘tak ada rotan akar pun jadi’ untuk menggambarkan apa yang dilakukan peneliti dan periset saat ini.

“Kita, ya sudahlah tidak apa-apa. Pemerintah pada jalannya dan kita peneliti-peneliti yang masih berdedikasi baik, tiada rotan akar pun jadi. Kita tetap jalan, tetap istiqamah, dengan resources yang terbatas kita tetap jalan sebagai tanggung jawab kita mempertanggungjawabkan gaji yang kita terima dari uang rakyat,” kata Max.
Rusaknya ekosistem riset sebelumnya juga disampaikan peneliti pusat riset politik BRIN Wasisto Raharjo Jati. Dia menilai, penggantian kepala BRIN bukan solusi utama dan satu-satunya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di BRIN. Menurut dia, pembentukan ekosistem riset harus diprioritaskan. “Yang paling penting menurut saya pribadi adalah pembentukan ekosistem kita yang belum sepenuhnya benar,” kata dia.
Dia mengambil sejumlah contoh masalah dalam ekosistem riset yang dia maksud, seperti masalah birokratisasi pengetahuan, penilaian pemberian gaji yang adil bagi periset, termasuk periset yang berprestasi di dalam risetnya, dan fasilitas bagi periset untuk bisa melakukan penelitian. Menurut Wasisto, semua itu sejauh ini dilupakan.
“Saya pikir itu yang paling penting dan selama ini agak dilupakan oleh ekosistem riset kita. Menurut saya pribadi, sistem ini yang sebenarnya harus dibenahi dulu. Karena kalau kepalanya diganti tapi sistemnya tidak berubah, ya sama saja,” ujar dia.
Teriakan Putus Asa dari Reruntuhan Gempa
Sekitar 13.740 personel pencarian dan penyelamatan telah dikerahkan ke wilayah gempa.
SELENGKAPNYABisa Dihemat, Panja Usulkan Biaya Haji Rp 50-55 Juta
Nilai penghematan bisa sampai Rp 1,2 triliun.
SELENGKAPNYAPanglima Sebut tak Ada Penyanderaan di Nduga
Laksamana Yudo menyangkal ada penyanderaan.
SELENGKAPNYA