Adi Sasono | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Paradigma Baru Pendidikan Nasional

Teknologi informasi dapat menjadi alat pendorong ke arah demokratisasi.

Oleh ADI SASONO

OLEH ADI SASONO

Model pendidikan nasional dewasa ini diuji oleh arus gelombang ketiga. Jika gelombang pertama bernuansa pola dominasi kegiatan agraris praindustri, gelombang kedua bernuansa budaya produksi-massa, pendidikan-massa, konsumsi-massa, dan media-massa, yang berskala raksasa.

Pendekatan produksi-massa telah mendorong tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkompartementalisasi dalam spesialisasi dan superspesialisasi karena sejalan dengan ideologi efisiensi yang melandasinya untuk mengejar skala besar itu.

Akibatnya, terjadi reduksi besar-besaran yang membawa kepada budaya yang mengabaikan keterkaitan antarberbagai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam sebuah konstelasi keseluruhan bumi dan alam semesta secara holistik.

Gelombang ketiga ditandai oleh berkembangnya masyarakat informasi. Gelombang ini dipicu oleh revolusi teknologi informasi yang memaksa kita mempertanyakan kembali hampir semua aspek kehidupan. Ada tiga faktor yang mendorong kesadaran baru ini.

Pertama, keterbatasan bahan-bakar fosil sehingga manusia harus kembali kepada sumber energi yang dapat diperbarui. Kedua, adanya teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan manusia jauh lebih banyak melihat keterkaitan berbagai fenomena yang saling mempengaruhi dalam cakupan yang lebih dalam dan luas secara sinergis dan serasi dengan bumi dan alam semesta.

Ini kemudian mendorong proses produksi yang cenderung menjauhi produksi-massa yang terkonsentrasi. Faktor ketiga adalah terjadinya deurbanisasi dan globalisasi berdasar kompetisi dalam koperasi yang sinergis dan saling menguntungkan.

 
Gelombang ketiga ditandai oleh berkembangnya masyarakat informasi.
 
 

Memformulasi paradigma baru

Sebenarnya revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data dan kompresi, lebar pita (bandwidth), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampai data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer.

Konvergensi dari revolusi teknologi ini telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks.

Pada dasarnya, teknologi yang memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah, dan terjangkau memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat yang demokratis. Teknologi semacam ini harus dimiliki oleh rakyat untuk membantu rakyat mengorganisasi diri secara modern, efisien, sehingga pada gilirannya rakyat mendapat manfaat terbesar dari proses berekonomi dan bermasyarakat.

Teknologi informasi dapat menjadi alat pendorong ke arah demokratisasi. Salah satu dampak terbesar adalah dimungkinkannya demokratisasi di bidang pendidikan. Inilah yang menjadi jembatan menuju perkuatan masyarakat madani di mana masyarakat dapat memiliki alat-alat yang membantu mereka mengembangkan usaha dan menikmati hasilnya secara mudah, murah, dan merata.

Dengan arahan yang tepat dan sedikit intervensi, teknologi informasi dapat membantu mentransformasikan populasi marjinal di banyak negara dari posisi pengamat menjadi partisipan aktif. Di sini, peran dunia pendidikan dalam proses demokratisasi pendidikan menjadi sangat signifikan -- suatu hal yang tidak dapat dihindari karena perubahan ekonomi dan demokratisasi sedang berjalan pesat secara luas di mana pun. Tugas penting dunia pendidikan adalah memungkinkan dan mempercepat elemen-elemen baru ini bergabung dengan nilai-nilai tradisional secara sinergis. Hal itu menjadi tolok ukur kesuksesan proses demokratisasi.

 
Teknologi informasi dapat menjadi alat pendorong ke arah demokratisasi.
 
 

Dengan banjirnya berbagai informasi, ilmu, dan pengetahuan melalui teknologi informasi secara searah, rakyat Indonesia kini hanya menjadi konsumen, bukan produsen ilmu dan pengetahuan secara aktif. Besar kemungkinan akan terjadi proses tercerabutnya kearifan lokal masyarakat dan hilangnya identitas diri peserta didik.

Karena revolusi teknologi informasi tidak bisa ditolak lagi, dan karena negara kita tidak mungkin menutup diri dari proses globalisasi, dampak revolusi teknologi informasi itu perlu diantisipasi secara aktif melalui keaktifan sebagai penyedia berbagai content pendidikan secara nasional tapi terdistribusi. Tanpa itu, pendidikan nasional kita akan kehilangan arah dan hanya akan menjadi objek proses perubahan global.

Persoalan inilah yang membuat kita berpikir dan bekerja keras untuk menempatkan pendidikan dalam bingkai situasi dan kondisi, baik dari sisi sosial kemasyarakatan, politik, maupun kebudayaan, yakni, kegiatan belajar-mengajar yang mampu merekomendasi peserta didik menjadi dirinya sendiri, yang menghargai keunikan dan percaya pada sesamanya.

Anak didik harus diupayakan mampu mengembangkan solidaritas dan empati dalam menggunakan kepercayaan tersebut. Untuk itu peserta didik sejak dini perlu dilatih mengelola konflik, menghargai pluralisme dan bersikap adil, serta mengentalkan empati kemanusiaan.

Demi terpenuhinya kepentingan itu, sistem pendidikan nasional tidak perlu mengacu pada sistem pendidikan komando yang berpusat pada penguasa, atau sistem pasar yang menumbuhkan industrialisasi pendidikan. Sistem pendidikan yang perlu dibangun adalah sistem yang humanis-populis yang esensinya mengembalikan pendidikan pada rakyat.

Pelaku pendidikan yang berbasis kerakyatan mengorientasikan pendidikan sebagai proses pencarian identitas diri rakyat, yakni mencari jati diri kemanusiaan dan menuntut keadilan sosial.

Perubahan global yang dipacu oleh revolusi teknologi informasi memungkinkan berbagai potensi kerakyatan kembali berperan secara setara dalam pergaulan antarbangsa dan antarkomponen masyarakat dunia. Hal inilah yang harus dijadikan bahan pertimbangan oleh sistem pendidikan nasional untuk merumuskan paradigma baru ke depan, bila identitas bangsa kita masih ingin dipertahankan.

 
Demi terpenuhinya kepentingan itu, sistem pendidikan nasional tidak perlu mengacu pada sistem pendidikan komando.
 
 

Kemauan politik

Permasalahan pendidikan nasional harus diangkat dalam wacana politik. Masalah pendidikan yang tidak dianggap sebagai isu politik tidak akan efektif dalam tiga hal yakni, alokasi anggaran, arah, dan pemihakan.

Selama pendidikan tidak menjadi isu kuat tak akan pernah anggaran pendidikan diberi alokasi memadai. Akibatnya, pendidikan yang seharusnya membebaskan justru menindas mereka yang jelas-jelas secara finansial tidak mampu.

Data BPS memberi gambaran jumlah anak putus sekolah masih sangat besar dibandingkan mereka yang bisa terus melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Berdasarkan penelitian 1995-1999, ternyata pencapaian kelulusan hanya 26,39 persen untuk perempuan dan 30,57 persen untuk laki-laki.

Artinya, hanya sepertiga peserta didik yang bisa meneruskan sekolah, dan dua pertiganya putus sekolah. Kenyataan ini menunjukkan beratnya daya dukung ekonomi masyarakat untuk menopang kegiatan pendidikan.

Yang terjadi kemudian, anak putus sekolah ini masuk dalam pasar kerja, demi alasan membantu ekonomi orang tua. Anak harus bekerja sebelum kedewasaan psikologis sosial dan fisiknya memungkinkan. Inilah ironi sebuah kegiatan belajar-mengajar yang gagal karena minimnya daya dukung ekonomi.

Dalam konteks ini perlunya kearifan pendidikan di tengah ketimpangan ekonomi sosial bangsa yang menimpa dan menantang sekarang, pelaku dan peserta didik harus menjadi perhatian utama.

Dengan kata lain, anggaran pendidikan --semula 8 persen pada 1998/99-- yang menurun pada anggaran 1999/2000 perlu secepatnya dikembalikan naik. Besarnya adalah 20 persen untuk 10 tahun mendatang, dan 25 persen dari APBN untuk 15 tahun mendatang. Target ini bukan angka mimpi sebab anggaran pengaman sosial (JPS) saja mencapai 16 persen dari APBN, yaitu Rp 34 triliun.

 
Dalam konteks ini perlunya kearifan pendidikan di tengah ketimpangan ekonomi sosial bangsa.
 
 

Dengan adanya paradigma revolusi teknologi informasi, efisiensi alokasi anggaran pendidikan perlu ditinjau kembali. Komponen yang bisa mempercepat proses desentralisasi dan distribusi pendidikan perlu diberi prioritas. Sistem pendidikan online yang dapat menampung konten pendidikan dari seluruh penjuru tanah air perlu segera dilaksanakan.

Dengan demikian sumber-sumber keilmuan dapat diakses dan dijangkau oleh sebanyak dan seluas mungkin peserta didik dan para pendidik yang harus selalu memperbarui ilmu dan pengetahuannya.

Proyek-proyek pembangunan fisik seperti gedung sekolah perlu ditinjau kembali. Kita bisa belajar dari apa yang sedang terjadi di Amerika Utara yang diperkirakan dalam waktu lima tahun mendatang, 50 persen gedung sekolah akan kosong.

Saat ini lebih dari 90 persen lembaga pendidikan sedang membangun pendidikan online. Menurut data IDC (International Data Corporation), di Amerika Utara saat ini pelayanan distance learning telah meningkat sekitar 33,1 persen.

Dalam sistem distance learning, lembaga pendidikan membangun virtual community lewat penyediaan fasilitas portal teleedukasi. Peserta didik, dosen, karyawan, dan pihak-pihak terkait, dapat mengakses informasi dan menangani transaksi lewat intranet, extranet, atau internet.

Dengan demikian, sentra-sentra keilmuan yang sekarang ini terpusat di beberapa kota besar saja dapat didistribusikan ke seluruh penjuru tanah air, sejauh terdapat fasilitas akses yang memadai.

 
Dalam sistem distance learning, lembaga pendidikan membangun virtual community lewat penyediaan fasilitas portal teleedukasi.
 
 

Mengenai fasilitas akses ini, perlu dipikirkan secara terintegrasi dengan pengembangan sentra-sentra ekonomi rakyat agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam pengembangan prasarana telekomunikasi yang mengakibatkan biaya tinggi. Kebiasaan memasang perangkat keras sebagai proyek bantuan asing yang cepat terserap dalam pembiayaan besar perlu ditingkatkan karena akan semakin menambah beban utang tanpa berhasil mendorong potensi ekonomi rakyat untuk mengembalikan pinjaman.

Maka, model bisnis terpadu dalam jangkauan geografis tertentu harus dikembangkan untuk menghitung potensi pengembalian investasi dari peningkatan kemampuan ekonomi rakyat yang bersangkutan.

Di situ, faktor pendidikan sebagai lokomotif pembangunan daerah perlu dimasukkan dalam skenario bisnis terpadu tersebut. Ini yang disebut dengan market-driven education, demikian juga untuk utilitas publik seperti telekomunikasinya disebut dengan community-based public services in a market-driven system.

Suatu hal yang salah kaprah bila pemaknaan otonomi pendidikan yang "berorientasi pasar" (market-driven) lantas direduksi dengan menaikkan biaya kuliah selama pasar masih berminat.

Maka, ketimpangan struktural akan semakin menjadi-jadi karena kader-kader bangsa yang cerdas akan terseleksi terlebih dulu oleh faktor ekonomi sebelum mereka bisa menjangkau perguruan tinggi yang andal.

Disadur dari Harian Republika edisi 1 Oktober 2001. Adi Sasono (1943-2016) menjabat menteri koperasi dan UKM pada 1998-1999. Ia adalah salah satu pelopor pemikir ekonomi keumatan di Indonesia.

Fikih Peradaban dan Legitimasi Piagam PBB

Perbincangan fikih peradaban absen dalam kanon-kanon fikih yang ditulis para ulama.

SELENGKAPNYA

Roda Kehidupan Para Penjaja Kopi Keliling

Pedagang kopi starling sudah ada sejak 1999. Mereka memilih menggilas jalanan Ibu Kota dengan berjualan kopi keliling.

SELENGKAPNYA

Peneguhan Kesadaran HAM di Indonesia (Bagian III/Habis)

Banyak pelanggaran HAM di Indonesia dianggap biasa saja.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya