
Kabar Utama
Lewat Fikih Peradaban, NU Ambil Peran di Dunia Internasional
PBB dinilai telah gagal menciptakan perdamaian dunia.
SURABAYA -- Muktamar Internasional Fiqih Peradaban dinilai menjadi momentum Nahdlatul Ulama untuk membawa Indonesia kembali berperan sebagai pemimpin di panggung internasional.
Menurut antropolog asal Belanda, Martin van Bruinesen, PBNU ingin mengembangkan lagi ijtihad yang sempat berhenti sehingga dapat kembali berperan dalam perdebatan internasional di dunia Islam.
Martin menjelaskan, muktamar yang berlangsung di Surabaya, Senin (6/2), itu menjadi kesempatan para mufti dan ahli hukum Islam dari berbagai belahan dunia untuk mengulas berbagai persoalan kontemporer dari sudut pandang Islam. Para ulama tersebut mengulas format negara-bangsa, relasi dengan non-Muslim, hingga tata politik global.
Salah satu pembahasan penting yakni tentang posisi Piagam PBB di mata syariat Islam. "Jadi, di sini kita lihat NU mengambil inisiatif dalam pengembangan pemikiran ini sehingga Indonesia kembali menjadi pemimpin di panggung internasional," ujar Martin kepada Republika di Surabaya, Senin (6/2).
Jadi, di sini kita lihat NU mengambil inisiatif dalam pengembangan pemikiran ini sehingga Indonesia kembali menjadi pemimpin di panggung internasional.MARTIN VAN BRUINESEN Antropolog
Dia menjelaskan, muktamar internasional tersebut diharapkan mampu memberikan literasi Islam kepada PBB. Jika PBB selama ini dilegitimasi hanya dengan hukum-hukum sekuler, NU ingin mewarnainya dengan pemikiran Islam. "Bagi orang Islam yang kerangka berpikirnya harus bertolak dari syariat Islam, itu seperti tidak nyambung. Nah, mereka ingin mengembangkan pemikiran syariah sehingga bisa mencakup masalah-masalah itu," ujar dia.
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhadjir mengatakan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah gagal menciptakan perdamaian dunia. Karena itu, PBNU menginisiasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I yang digelar di Hotel Shangri-La, Surabaya, tersebut.

Wakil pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo itu menjelaskan, NU adalah jamiyah diniyah, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang paling besar di dunia. Sebagai organisasi terbesar, NU pun sadar memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan dengan persoalan dunia, termasuk perdamaian dunia.
Karena itu, menurut Kiai Afif, salah satu yang dibicarakan dalam muktamar kali ini adalah tentang peranan PBB karena organisasi internasional itu memiliki kewajiban untuk menjaga perdamaian. Menurut dia, para ahli fikih dari berbagai negara yang hadir dalam muktamar akan menawarkan pandangan fikih terhadap PBB.
"Memang, dari satu sisi, kita mendukung terhadap peran Perserikatan Bangsa-Bangsa, akan tetapi di sisi lain perlu dikritik. Karena sampai saat ini sering kali PBB itu gagal di dalam menciptakan perdamaian dunia," ujar Kiai Afif kepada Republika. "Jadi, intinya bagaimana perdamaian dunia, perdamaian yang adil ini bisa diciptakan dengan peran besar daripada PBB," imbuh ulama ahli ushul fikih ini.
Kiai Afif menilai PBB kurang serius dalam mengusahakan dan menciptakan perdamaian. Buktinya, masih banyak kekerasan di berbagai daerah di dunia ini. "Oleh karena itu, kita mendorong bagaimana PBB ini memainkan peranannya sebagaimana mestinya, dengan yang seadil-adilnya sudah barang tentu," ucap Kiai Afif.
Dia menambahkan, umat Islam juga mempunyai kewajiban untuk mengembalikan wajah Islam yang akhir-akhir ini sedikit tercoreng. Padahal, menurut dia, sesungguhnya Islam adalah agama yang indah. "Sesungguhnya Islam adalah indah, akan lebih menjadi indah kalau disampaikan oleh orang-orang yang indah, dengan cara yang indah pula, dan NU berusaha untuk memiliki peran dan tanggung jawab seperti itu," kata Kiai Afif.
Muktamar Internasional Fiqih Peradaban mengangkat tema "Membangun Landasan Fiqih untuk Perdamaian dan Harmoni Global". Dalam forum internasional ini, para mufti dan ahli hukum Islam dari berbagai dunia mengulas berbagai persoalan kontemporer dari susut pandang Islam, mulai dari format negara-bangsa, relasi dengan non-Muslim, hingga tata politik global. Salah satu pembahasan pentingnya adalah tentang posisi Piagam PBB di mata syariat Islam.
Saya merasa mendapatkan kebahagiaan dengan telah berlalunya usia Nahdlatul Ulama yang melewati usianya selama satu Abad.SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL KARIM AL ISSA, Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami
Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami atau Liga Muslim Sedunia Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al Issa mengaku bangga sekaligus bahagia dengan adanya NU sebagai organisasi ulama dan Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. "Saya merasa mendapatkan kebahagiaan dengan telah berlalunya usia Nahdlatul Ulama yang melewati usianya selama satu Abad," ujar Syekh Al Issa saat menyampaikan pidato kunci secara virtual dalam Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I yang digelar di Hotel Shangri-La, Surabaya, Senin (6/2/2023).
Syekh Issa juga mengaku bangga dengan NU karena selama ini NU telah mengawal Islam dengan ilmu dan amal. Menurut dia, Islam bisa abadi hanya dengan ilmu dan amal. Selain itu, Syekh Al Issa juga mengaku bangga dengan Indonesia yang menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Di akhir pidatonya, dia pun turut mendoakan NU agar tetap menjadi organisasi yang tetap istiqamah dalam menjalankan visi-misinya demi kebaikan dan kemaslahatan masyarakat dunia.

Istilah fikih peradaban
Kiai KH Afifuddin Muhadjir yang dikenal sebagai ulama ushuli (ahli ushul fikih) itu menjelaskan makna fikih peradaban atau fiqh al-hadharah yang diinisiasi Nahdlatul Ulama (NU). Menurut Kiai Afif, sapaan akrabnya, fikih peradaban adalah fikih yang membahas tentang peradaban. "Fikih peradaban artinya fikih yang berbicara tentang peradaban," ujar Kiai Afif.
Peradaban itu sendiri, ujar Kiai Afif, sesungguhnya memiliki arti dan dimensi yang sangat luas. Namun, menurut dia, pembahasan fikih peradaban dalam muktamar kali ini hanya berfokus pada tema "Membangun Landasan Fiqih untuk Perdamaian dan Harmoni Global". "Akan tetapi, yang menjadi fokus pembahasan NU kali ini adalah fikih peradaban menyangkut perdamaian dunia," ucap Kiai Afif.
Dalam sesi pleno muktamar ini, Kiai Afif menyampaikan materi tentang “Keniscayaan Mencegah Konflik Komunal dan Perang Serta Mengupayakan Resolusi Karena Risiko Kekacauan Global dan Keruntuhan Peradaban”. Kiai Afif tampil bersama ulama dan pakar fikih dari berbagai negara.
Dia juga menjelaskan bahwa fikih peradaban baru pertama kali dibahas oleh NU. Kendati demikian, menurut dia, sebetulnya hal itu secara substansi sudah dibahas lama oleh NU, hanya bungkusnya saja yang baru. Dia pun meluruskan konsep fikih peradaban yang kerap disalahartikan sebagai fiqhul adab atau fikih yang mengatur hubungan murid dengan guru, kiai dengan santri, dan lain sebagainya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Fikih Peradaban dan Legitimasi Piagam PBB
Perbincangan fikih peradaban absen dalam kanon-kanon fikih yang ditulis para ulama.
SELENGKAPNYAPolisi tak Kebal Candu Judi Daring
Terus kalah judi daring, seorang polisi mencoba bunuh diri.
SELENGKAPNYAGereja Melunak Terkait LGBT, Muslim Protes
Umat Islam Inggris khawatir soal materi pelajaran LGBT.
SELENGKAPNYA