
Laporan Utama
Fikih Peradaban untuk Perdamaian Dunia
Halaqah Fiqih Peradaban ingin mendengar pandangan para ulama dunia tentang posisi PBB.
OLEH ANDRIAN SAPUTRA
Rangkaian Halaqah Fiqih Peradaban yang telah digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di 260 tempat di berbagai daerah sejak Agustus 2022 akan mencapai puncaknya pada Muktamar Internasional Fiqih Peradaban di Surabaya, Senin (6/2) mendatang.
Dalam Halaqah Fiqih Peradaban yang berlangsung di Pondok Pesantren Lirboyo beberapa waktu lalu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, ada masalah besar yang dihadapi masyarakat dunia sejak lama, tapi tak kunjung ada jalan keluarnya. Persoalan tersebut yakni ketegangan antara realitas kehidupan dalam konteks sosial-politik, baik domestik dalam negeri maupun internasional.
Gus Yahya mencontohkan radikalisme dan terorisme sebagai isu yang dihadapi masyarakat dunia sejak lama. Di Indonesia, misalnya, pasca-proklamasi kemerdekaan RI, muncul DI/TII yang berupaya mendirikan negara Islam.
Selain itu, sekian lama dalam catatan sejarah, tidak dapat dimungkiri, masyarakat Muslim juga terlibat konflik penuh kekerasan dengan non-Muslim. Di sisi lain, terjadi konflik di internal Islam.
"Kita harus menemukan satu wawasan untuk menempatkan masalah ini dengan semestinya di dalam kerangka pemahaman syar'iah supaya kita ini menjalani hidup untuk membangun perdamaian ini jelas landasannya, enggak cuma seruan normatif yang abstrak," kata Gus Yahya dalam Halaqah Fiqih Peradaban yang berlangsung di Pondok Pesantren Lirboyo beberapa waktu lalu, yang juga disiarkan melalui kanal Youtube resmi Ponpes Lirboyo.
Gus Yahya mengatakan, sebenarnya kecenderungan untuk terlibat konflik melawan kelompok mana pun yang dianggap berbeda itu adalah umum dan merata di semua kelompok agama. Perang atas alasan agama bukan saja terjadi antara Islam dan non-Muslim saja, melainkan juga terjadi di antara kelompok-kelompok agama lainnya. Bahkan, konflik di internal agama di luar Islam pun kerap terjadi.
"Kita melihat konflik ini kalau diterus-teruskan nanti akan membawa akibat luar biasa destruktif yang akan membawa kehancuran besar-besaran terhadap masyarakat di seluruh dunia dan dapat meruntuhkan peradaban," ujar dia.
Lihat postingan ini di Instagram
Selain itu, Gus Yahya menilai peperangan apa pun akan dapat memberi akibat global yang menyengsarakan masyarakat dunia. Dia menegaskan, meletusnya peperangan akan mengganggu dan berbahaya bagi perekonomian dunia.
Menurut dia, masyarakat dunia membutuhkan tatanan internasional yang bisa mencegah konflik, memelihara stabilitas dan keamanan, agar bisa terus hidup dengan damai. Untuk itu, Gus Yahya mengungkapkan, kepentingan bersama seluruh umat manusia adalah untuk mencegah kekacauan peradaban ini. Itulah pentingnya untuk menemukan landasan.
"Kita menemukan satu titik terang yang mungkin bisa kita gunakan, yaitu tentang Piagam PBB sebagai konsensus internasional yang ditandatangani sesudah Perang Dunia Kedua. Maka, dalam muktamar fikih peradaban nanti kita akan angkat maudu' tentang Piagam PBB ini," katanya.
Maka dalam muktamar fikih peradaban nanti kita akan angkat maudu' tentang Piagam PBB ini.KH YAHYA CHOLIL STAQUF Ketua Umum PBNU
Gus Yahya menjelaskan, ada dua pokok isi dalam Piagam PBB yang ia nilai paling penting, yaitu tentang perjanjian perbatasan negara bahwa negara mana pun tidak dapat sewenang-wenang memasuki daerah teritorial negara lainnya. Kemudian, hak asasi manusia universal bahwa setiap manusia setara satu sama lain.
"Maka, sekarang kita punya, tidak, pegangan yang muktamad secara syar'i tentang Piagam PBB ini? Sehingga kita lontarkan kepada semua ulama di seluruh dunia, bagaimana status Piagam PBB ini di hadapan syariat," kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa mengatakan, secara global, ide tentang isi Halaqah Fiqih Peradaban adalah rekonstruksi fikih dan transformasi pola pikir umat Islam demi perdamaian dunia.
Dalam Halaqah Fiqih Peradaban yang digelar di Pondok Pesantren Langitan beberapa waktu lalu, Kiai Zulfa menjelaskan, Halaqah Fiqih Peradaban selain mengulas fikih negara bangsa, fikih kewarganegaraan, fikih minoritas, juga mengangkat isu perdamaian dunia.
Menurut Kiai Zulfa, Halaqah Fiqih Peradaban berupaya untuk mendengar pandangan para ulama dunia tentang posisi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan keputusannya bagi umat Islam.
"Pada muktamar di Surabaya nanti memang pertanyaan yang akan diajukan NU kepada ulama-ulama dunia ini, pertanyaannya adalah apakah PBB bisa diakui sebagai perwakilan umat Islam secara syariat, termasuk negara-negara bangsa? Sejauh mana sisi keabsahannya PBB ketika keputusan-keputusannya apakah mengikat kita semua?" ujar dia.
Kiai Zulfa mengatakan, dalam konteks Indonesia, umat Islam sudah sepakat untuk menaati pemerintah sebagai bagian dari taat kepada ulil amri. Pertanyaannya, ujar dia, bagaimana Indonesia dan negeri-negeri lain sebagai perwakilan umat Islam menyikapi Piagam PBB tersebut dalam konteks kesepakatan antar-masyarakat dunia.

Pandangan MUI
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Prof Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, MUI mengapresiasi Muktamar Fiqih Peradaban yang akan digelar PBNU di Surabaya pada 6 Februari mendatang.
Menurut dia, situasi global yang makin memprihatinkan karena terjadinya perang telah mendorong umat Islam untuk turut berkontribusi mencari solusi atas masalah-masalah yang dihadapi dunia.
"Memperhatikan situasi global yang semakin hari tampak semakin rawan berbagai konflik, genosida, tindakan kekerasan, bahkan dilakukan atau disponsori negara seperti kasus Israel Palestina, penistaan, termasuk Islamofobia, krisis ekonomi dan lingkungan serta pelanggaran terhadap HAM dan lainnya mendorong khususnya kita, umat Islam, untuk memberikan respons dan kontribusi positif," ujar Prof Sudarnoto kepada Republika, belum lama ini.
Dia pun menilai Halaqah Fiqih Peradaban harus berkorelasi dengan isu-isu tersebut. Halaqah juga perlu memberikan pandangan yang konstruktif dan optimistis tentang peradaban baru yang berbasis pada nilai-nilai luhur, antara lain ialah nilai-nilai agama.
Prof Sudarnoto mengatakan, nilai-nilai yang telah dirumuskan dalam Piagam PBB dan rumusan HAM oleh dunia Islam sangat penting sebagai ijtihad untuk membangun situasi global yang damai dengan peradaban agung. Ia mengatakan, sebetulnya sudah banyak elemen masyarakat yang melakukan ijtihad untuk tujuan yang sama.
Ukurannya antara lain konflik Israel-Palestina tidak terjadi dan two states solution benar-benar terwujud.PROF SUDARNOTO ABDUL HAKIM Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional
Menurut dia, upaya atau ijtihad yang sungguh-sungguh harus terus digerakkan oleh siapa pun. Dia menjelaskan, MUI pun dalam waktu dekat akan melaksanakan konferensi internasional tentang agama, perdamaian, dan peradaban. Ia mengatakan, isu perdamaian telah menjadi perhatian bersama.
Namun, ujar dia, isu itu perlu digerakkan secara lebih sistematis agar berbagai pandangan untuk membangun peradaban agung bagi masyarakat dunia bisa benar-benar diimplementasikan.
"Ukurannya antara lain konflik Israel-Palestina tidak terjadi dan two states solution benar-benar terwujud. Palestina terbebas dari penjajahan dan memperoleh kedaulatan dan kemerdekaannya. Ini salah satu ukurannya," ujar dia.
Seabad Observatorium Astronomi Modern Indonesia
Teleskop sepanjang 11 meter yang didatangkan dari Jerman dan mulai beroperasi sejak tahun 1928 tersebut menjadi alat pengamatan bintang terbesar serta menjadi ikon observatorium itu.
SELENGKAPNYAMenggugat Dominasi Finansial Liga Inggris
Liga-liga di Eropa kesulitan bersaing finansial dengan Liga Primer
SELENGKAPNYABappebti Pelototi Investasi Aset Digital
Kepolisian juga meminta pengawasan industri kripto lebih diperketat.
SELENGKAPNYA