Berita Duka yang Menyenangkan | Daan Yahya/Republika

Sastra

Berita Duka yang Menyenangkan

Cerpen Mahrus Prihany

OLEH MAHRUS PRIHANY

Setiap mendengar berita itu, hati Darima selalu berbunga-bunga. Tapi ia tutupi rasa itu dari teman-temannya dan orang-orang agar mereka tak memiliki prasangka yang tidak-tidak terhadapnya. Bagi semua orang, mungkin berita itu adalah duka, tapi baginya itulah kebahagiaan.

“Siapa yang meninggal itu, Darima?” Perempuan berusia tiga puluh lima itu bertanya sambil mengipasi kayu bakar agar api tetap menyala. Jika api tungku telah membesar, ia akan melakukan hal lain seperti mengupas bawang, mengiris cabai, atau mempersiapkan sayuran untuk dimasak.

Darima membantu ibunya dengan mencuci peralatan dapur yang kotor. Ya, mereka berbagi tugas, ibu memasak dan Darima mencuci perkakas seperti wajan, periuk, panci, sodet, piring, sendok, garpu, dan gelas.

“Haji Bardian, Mak.” Suara pelantang masjid yang mengumumkan berita itu sepertinya tidak terdengar jelas oleh ibu, tapi bisa jadi suara itu terburu dibisingkan oleh suara knalpot tetangga Darima yang begitu keras.

 

 
Darima telah mendengar berita itu terlebih dahulu.
 
 

 

Darima telah mendengar berita itu terlebih dahulu. Sejak mendengar Haji Bardian sakit, ia sering bertanya pada orang tentang perkembangan kesehatan lelaki itu seolah peduli. Pagi benar tadi sekitar pukul enam kurang lima menit, saat Darima pergi ke warung untuk membeli garam, ia mendengar tukang warung bercerita jika Haji Bardian telah meninggal dunia.

“Kasihan keluarga Haji Bardian. Semoga mereka tabah.” Ibu berkata setelah mengucap kalimat istirja’.

“Haji Bardian orang kaya, Mak. Hartanya ada di mana-mana. Pastilah keluarganya tak akan kekurangan apa-apa meski beliau tiada.”

“Tetap saja sedih sangat hati keluarganya. Setelah matang masakan dan sarapan, Emak akan melayat sebentar ke sana sebelum pergi bekerja.”

Darima diam saja, ia tak ingin juga ibunya menduga macam-macam jika pembicaraan berlanjut. Darima mendengarkan saja saat ibunya bercerita tentang keluarga Haji Bardian.

Haji Bardian adalah salah seorang paling kaya di kampung Darima. Selain rumahnya megah dan memiliki beberapa mobil bagus, Darima tahu bahwa haji itu memiliki toko dan perkebunan di banyak tempat. Bahkan tanah luas yang terletak di samping kebun ibu yang sempit adalah milik Haji Bardian.

 

 
Haji Bardian adalah salah seorang paling kaya di kampung Darima.
 
 

 

“Darima pergi dulu, Mak. Cuci perkakasnya nanti saja ya. Hari ini kan Darima libur sekolah.” Darima berkata setelah ia menyelesaikan sarapannya.

“Hendak pergi ke mana?”

“Ke rumah Haji Bardian, Mak.” Sahut Darima sambil berlalu cepat. Ia tak ingin ibunya melontarkan pertanyaan lagi.

Kenapa tak bareng Emak saja?” Masih didengarnya kalimat ibu itu tapi Darima tak menyahut.

Darima berlari menuju arah rumah Haji Bardian. Tak ia hiraukan ketika beberapa teman yang melihatnya di jalan, memanggil namanya. Ia ingin tiba duluan dan memastikan keadaan.

Napas Darima agak terengah-engah ketika tiba di dekat suatu rumah megah. Ia duduk mengambil posisi agak jauh. Perempuan berusia sebelas tahun itu senang saat dilihatnya banyak orang mulai berdatangan. Ia seperti tak sabar kapan jenazah akan dikuburkan.

 

 
Tak ia hiraukan ketika beberapa teman yang melihatnya di jalan, memanggil namanya.
 
 

 

Hati Darima sempat gelisah tak keruan. Bagaimana jika Haji Bardian dikuburkan di pemakaman mewah dekat kantor kecamatan sana yag jaraknya sekitar empat kilometer seperti Haji Rahman, kakak Haji Bardian yang meninggal satu setengah tahun lalu.

Pastilah nanti jenazah akan dibawa dengan mobil jika dimakamkan di pekuburan mewah itu. Darima berdoa semoga pak haji itu dimakamkan di kuburan desa saja. Darima menunggu sambil mencoba mengamati orang-orang yang datang secara bergiliran.

Darima buru-buru mencari posisi yang lebih tersembunyi lagi saat dilihat tubuh ibunya. Untunglah di seberang jalanan depan rumah Haji Bardian banyak pepohonan dan Darima bisa mengumpet.

Seperti lazimnya yang terjadi ketika ada berita kematian, ibu datang untuk bertakziah. Darima akan menjawab pada ibunya bahwa ia telah pulang ke rumah jika ibu bertanya kenapa tak melihat Darima di rumah Haji Bardian.

Begitulah yang sudah-sudah, jika ada berita kematian di desa, Darima termasuk orang yang pertama pergi ke rumah duka. Bahkan bisa jadi, Darima adalah orang luar pertama yang mendengar berita kematian di daerahnya. Ibu tahu itu dan tak pernah melarangnya. Ibu berpikir jika Darima ingin melayat dan turut berdoa meski ibu tak melihat lagi anaknya jika ia datang ke rumah duka.

Setelah sekian lama Darima memperhatikan rumah Haji Bardian, tibalah saat yang ia nanti. Ibunya telah kembali pulang, jenazah juga telah disalatkan di masjid dekat rumah haji tersebut. Hati Darima tetap diselimuti cemas ketika melihat banyak mobil berjejer di depan rumah, akankah jenazah diantar menuju pemakaman mewah?

 
Begitulah yang sudah-sudah, jika ada berita kematian di desa, Darima termasuk orang yang pertama pergi ke rumah duka.
 
 

Hati Darima merasa senang saat dilihatnya keranda jenazah digotong oleh beberapa orang. Mereka melewati beberapa mobil yang berderet di depan rumah.

Sekelompok orang yang bertahan di rumah Haji Bardian sejak tadi keluar mengiringi. Haji Bardian akan dikebumikan di pemakaman warga desa. Penantian Darima tak sia-sia. Inilah saatnya beraksi, Darima membisik dalam hati.

***
Darima menghitung uang yang didapatnya hari ini. Banyak juga jumlahnya. Ini adalah jumlah paling besar yang ia dapat. Biasanya yang Darima dapatkan kebanyakan uang koin seribu dan lima ratus, hanya sedikit lembaran uang kertas.

Tapi kali ini sebaliknya, Darima mendapat banyak lembaran uang kertas dengan nominal lima ribu dan sepuluh ribu dan hanya sedikit uang koin. Totalnya lebih dari sembilan puluh ribu, padahal biasanya Darima dapat antara lima belas sampai dua puluh ribu meski jumlah itu tetaplah berarti bagi Darima. Hati Darima berbunga-bunga.

Darima mengambil lima ribu untuk jajan, selebihnya ia tabung di sebuah kaleng biskuit besar yang ia sembunyikan di dalam lemari bekas peninggalan ayah. Darima sendiri tidak ingat rupa ayahnya. Menurut cerita ibu, ayah meninggal saat ia berusia satu tahun. Ayah meninggal di perantauan sebagai seorang kuli bangunan. Darima tak paham kenapa persisnya ayah meninggal.

Setelah kematian ayah, ibu belum mau menikah lagi meski ada beberapa lelaki mendekati dan ingin menikahi. Ia ingin membesarkan Darima penuh cinta. Memang ibu sangat perhatian dan menyayangi Darima walau anak itu tahu betapa susah perjuangan ibu dalam membesarkannya.

 
Setelah kematian ayah, ibu belum mau menikah lagi meski ada beberapa lelaki mendekati dan ingin menikahi.
 
 

Selain mengurus sebidang kebun yang ditanami ibu dengan cabai dan sayuran, ibu juga bekerja di kios sembako di pasar kecamatan.

Ibu tak perlu membeli kebutuhan harian untuk dapur karena bisa memetik di kebun dan sebagian lagi bisa dijual untuk menutupi kebutuhan lain. Kebun itu ibu beli juga dari uang sumbangan atau santunan yang diberikan oleh perusahaan tempat ayah bekerja.

Tiga tahun ini Darima melakukan itu. Ia menghitung sudah ada dua puluh tujuh warga yang meninggal dunia di desanya. Semua meninggal secara normal, tidak ada berita duka disebabkan Covid 19 yang banyak muncul di teve seperti waktu lalu.

Satu warga meninggal dan dikuburkan di pemakaman mewah di dekat kantor kecamatan. Orang itu adalah Haji Rahman. Teringat itu, Darima merenung, jika saja waktu itu kakak Haji Bardian dikuburkan di pemakaman desa, tentu ia bisa mendapat uang yang jumlahnya sama besar dengan kematian Haji Bardian.

Darima memang senang jika mendengar berita duka yang disiarkan oleh masjid besar kampungnya. Bahkan sering sebelumnya ia telah mengetahui kematian warga kampungnya sebelum disiarkan di masjid besar.

 
Darima memang senang jika mendengar berita duka yang disiarkan oleh masjid besar kampungnya.
 
 

Hal yang paling menyenangkan adalah ketika jenazah akan dibawa ke pemakaman dengan digotong keranda. Para pengiring jenazah, biasanya keluarga, saudara, dan warga dewasa akan mengiringi di kiri, kanan, dan belakang. Para pengiring tersebut berjalan sambil mengucapkan kalimat tahlil.

Di bagian depan, ada seorang pembawa baskom plastik agak besar berisi kembang dan beras. Pembawa baskom itu akan menebar kembang dan beras sepanjang jalan dari rumah jenazah hingga menuju pemakaman.

Bukan kembang itu yang Darima senangi, tapi uang yang ditaburkan bersama kembang dan beras itu yang Darima cari. Darima memang harus berebut dengan beberapa temannya saat kembang, beras, dan uang itu ditabur dan dilempar sepanjang jalan.

Banyak warga tahu jika Darima akan ikut berebut uang recehan, tapi hal itu biasa saja bagi mereka. Darima juga tak sendiri di sana, ada beberapa temannya yang juga rajin melakukannya. Selama ini meski anak-anak itu harus saling berebutan tapi tidak pernah terjadi pertengkaran. Ibu Darima memang belum tahu kebiasaan Darima itu. Ibu sibuk bekerja selalu. Tapi ternyata tidak pada hari itu.

 
Banyak warga tahu jika Darima akan ikut berebut uang recehan, tapi hal itu biasa saja bagi mereka.
 
 

“Jadi itu yang kau lakukan ketika ada berita kematian? Kau akan ikut berebut uang?” Suara itu mengagetkan Darima hingga kaleng biskuit berisi uang itu jatuh dan sebagian berhamburan.

“Emak bikin kaget Darima saja.” Spontan Darima berkata, terlihat cemas juga.

“Emak sedang bertanya padamu, Darima.”

“Iya, Mak. Bukankah itu uang halal dan apa yang Darima lakukan bukan suatu hal yang memalukan.” Darima buru-buru mencoba membela diri, ia takut jika ibunya memarahi.

“Tidak Darima. Hanya Emak merasakan ada sesuatu yang aneh terhadapmu.”

“Maksud Emak?”

“Emak perhatikan kau seperti merasa senang jika mendengar ada berita kematian. Parasmu pagi tadi tak bisa menyembunyikan rasa senang itu. Emak ingin memastikan saja. Itulah kenapa Emak hari ini ingin tahu apa yang kau lakukan pada hari kematian Haji Bardian.”

Ibu lalu bercerita jika hari ini sengaja tidak pergi bekerja setelah meminta izin terlebih dahulu pada majikannya. Meski ia tak melihat Darima ketika tiba di rumah Haji Bardian, tapi ia yakin jika Darima pasti ada di sana.

 
Emak perhatikan kau seperti merasa senang jika mendengar ada berita kematian.
 
 

Benarlah, ibu melihat Darima berebut uang yang ditabur dari baskom itu, tapi ibu tak ingin membuat Darima malu di depan banyak orang.

“Darima, adalah hal yang sangat memalukan jika kita menyambut dengan kebahagiaan suatu berita kematian hanya demi uang, seberapapun itu jumlahnya!” Ibu dengan penuh cinta dan kelembutan memberi nasihat padanya. Darima diam saja, tapi benaknya merenungkan semua.

“Bagaimana perasaan Darima jika ada orang berharap dan merasa senang Emak meninggal dunia?” Lanjut ibu dengan melontarkan pertanyaan.

Darima diam saja, menundukkan kepala, buliran air mata membasahi pipinya. Ia kini merasa berdosa, sebab selain bahagia jika mendengar berita duka, ia juga sering menunggu dan berharap ada warga lain lagi meninggal dunia dengan segera.

Mahrus Prihany, lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO) dan jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di STAI Publisistik Thawalib, Jakarta. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI), kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), dan redpel portal sastra litera.co.id.

Negara-Bangsa dalam Sejarah Islam

Kaum Muslimin di sepanjang histori mengalami berbagai bentuk pemerintahan.

SELENGKAPNYA

Suara Hati Pramugari yang Dilarang untuk Berjilbab

Mereka mendapatkan informasi ketika wawancara rekrutmen awal bahwa jilbab belum boleh dikenakan.

SELENGKAPNYA

Seabad Observatorium Astronomi Modern Indonesia

Teleskop sepanjang 11 meter yang didatangkan dari Jerman dan mulai beroperasi sejak tahun 1928 tersebut menjadi alat pengamatan bintang terbesar serta menjadi ikon observatorium itu.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya