OPINI--Pengemis Online Siapa yang Diuntungkan | Republika/Daan Yahya

Opini

Pengemis Online, Siapa yang Diuntungkan?

Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi munculnya fenomena pengemis online.

RAHMA SUGIHARTATI, Guru Besar Sains Informasi FISIP, Universitas Airlangga

Perkembangan masyarakat pada era digital tidak hanya memunculkan pekerjaan profesional yang mengandalkan keahlian penggunaan teknologi informasi, tetapi juga peluang ekonomi baru yang unik, seperti kemunculan fenomena pengemis online.

Berbeda dengan pengemis biasa yang mengais belas kasihan di pinggir atau perempatan jalan, di sekitar lampu merah, dan lain sebagainya dengan pakaian kumuh meminta sumbangan warga, pengemis online meminta sumbangan masyarakat melalui media sosial Tiktok.

Dewasa ini, fenomena pengemis online cenderung semakin menjadi tren sekaligus menjadi perbincangan publik. Aksi mandi lumpur yang ditayangkan secara langsung di Tiktok kini menjadi tren baru yang menarik perhatian warganet.

 
Ulah mereka menjadi kontroversi karena rata-rata dilakukan oleh orang tua hingga lansia.
 
 

Aksi yang ditampilkan pengemis online di Tiktok mulai dari mandi lumpur, berendam di air kotor, hingga mengguyur diri dengan air dingin selama berjam-jam. Ulah mereka menjadi kontroversi karena rata-rata dilakukan oleh orang tua hingga lansia.

Tidak sedikit pihak yang mengecam aksi mereka, tetapi tidak sedikit pula yang bersedia mengulurkan tangan memberi bantuan. Dari aksi live di Tiktok, pengemis online memperoleh sejumlah koin Tiktok dari penontonnya, yang kemudian ditukarkan ke dalam uang tunai.

Menurut laporan media massa, dalam satu kali live, bukan tidak mungkin pengemis online itu bisa mengantongi sumbangan penonton hingga jutaan rupiah.

Komodifikasi

Bagi korban PHK dan miskin, berusaha mencari penghasilan dengan memanfaatkan Tiktok atau aplikasi yang lain melalui konten pengemis online sebetulnya tidak menjadi masalah.

Secara sosiologis, di kota-kota besar sebagian kaum migran miskin yang tak bisa terserap di sektor perekonomian firma atau bekerja di pabrik, terpaksa bekerja di sektor informal kota sebagai pengemis. Tidak adanya kemampuan yang memadai, membuat kaum migran miskin menjadi gelandangan dan mengemis di berbagai sudut kota.

Menjadi pengemis online, sepanjang dilakukan karena tekanan kemiskinan secara moral hal itu bisa dimaklumi, bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk kreativitas orang miskin pada era perkembangan masyarakat digital. Namun, lain soal ketika konten-konten yang menampilkan aksi pengemis online ditengarai dikendalikan orang-orang atau sindikat yang tidak bertanggung jawab.

Ada sejumlah faktor yang ditengarai melatarbelakangi munculnya fenomena pengemis online.

Pertama, karena kemudahan dan daya tarik keuntungan yang diperoleh terkait efek jangkauan yang lebih luas, dengan memanfaatkan teknologi informasi. Berbeda dengan pengemis offline yang ruang operasinya sangat terbatas, menjadi pengemis online memungkinkan mereka menjangkau pasar yang jauh lebih luas.

 
Mengetuk rasa belas kasihan orang melalui konten Tiktok memungkinkan mereka memperoleh sumbangan yang jauh lebih besar daripada harus mengemis di jalanan.
 
 

Mengetuk rasa belas kasihan orang melalui konten Tiktok memungkinkan mereka memperoleh sumbangan yang jauh lebih besar daripada harus mengemis di jalanan. Bisa dibayangkan, siapa yang tidak tertarik ketika sekali membuat konten pengemis online, si pembuat konten bisa memperoleh keuntungan hingga jutaan, bahkan puluhan juta rupiah?

Pada era digital, konten pengemis online yang diunggah di Tiktok membuat peluang mengetuk hati warganet yang ingin bersedekah, menjadi jauh lebih luas. Pada titik inilah bisa dipahami, orang-orang tertentu tertarik membuat konten unik dan menarik sekaligus memelas agar mendapatkan simpati dan uluran bantuan.

Kedua, karena proses komodifikasi yang dilakukan orang-orang tertentu atau bahkan sindikat terorganisasi, yang memanfaatkan kemiskinan untuk mengeruk keuntungan.

Belajar dari pengalaman sejumlah negara lain, upaya mengais belas kasihan warganet biasanya dilakukan orang-orang tertentu, yang mampu memanipulasi keberadaan orang-orang miskin untuk media mencari keuntungan.

Di Indonesia, meski belum terungkap ada tidaknya sindikat atau orang yang mencoba mengeruk keuntungan dengan menjual kemiskinan, itu bukan tidak mungkin terjadi. Di sejumlah negara dilaporkan, aparat menangkap orang-orang tertentu yang bekerja di balik penyebaran konten pengemis online.

 
Di sejumlah negara dilaporkan, aparat menangkap orang-orang tertentu yang bekerja di balik penyebaran konten pengemis online.
 
 

Mereka sindikat yang sengaja memanfaatkan orang-orang miskin menjadi bagian dari konten yang dibuat, kemudian disirkulasikan ke dunia maya demi mendapatkan sumbangan masyarakat.

Ketiga, konsekuensi logis perkembangan masyarakat postmodern, yang mencontoh perilaku selebritas atau artis saat membuka permintaan donasi terbuka di media sosial. Tindakan sebagian selebritas itu, bagi sebagian masyarakat, melahirkan ilham untuk melakukan hal yang sama.

Bagi pengemis online, membuat konten kemudian menyirkulasikannya ke dunia maya untuk disebarkan dengan harapan memperoleh pemasukan, dianggap bukan hal tabu untuk dicoba. Toh sebagian selebritas melakukan hal yang sama.

Bagi mereka, yang penting semua dilakukan sukarela karena masyarakat yang bersedia menyumbang sama sekali bukan karena paksaan.

Siapa yang diuntungkan?

Saat ini, aparat kepolisian dilaporkan melakukan penanganan, menyikapi makin maraknya konten pengemis online di media sosial.

Seperti diberitakan di berbagai media massa, untuk mencegah agar penyebaran konten pengemis online tidak makin berkembang, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri telah memanggil sejumlah kreator konten untuk diberikan edukasi.

Walaupun belum ada tindakan untuk memproses kreator konten pengemis online ke ranah hukum, tujuan pemanggilan oleh aparat kepolisian adalah menyosialisasikan dan memberikan edukasi. Dengan begitu, warganet tidak membuat konten yang tidak mendidik, terlebih mengeksploitasi kemiskinan dan penderitaan orang miskin.

 
Menciptakan hiburan bagi warganet dengan mengeksploitasi kemiskinan, tidak bisa dibenarkan.
 
 

Memang, di satu sisi, harus diakui bahwa pembuatan konten pengemis online adalah konsekuensi tak terhindarkan akibat perkembangan transformasi digitalisasi. Namun, menciptakan hiburan bagi warganet dengan mengeksploitasi kemiskinan, tidak bisa dibenarkan.

Melalui konten Tiktok yang diunggah, kreator konten pengemis online memang terbukti bisa mendapatkan sumbangan atau uluran tangan dari para dermawan yang tidak sedikit.

Namun, pemberian bantuan itu harus diakui, bersifat tidak mendidik dan bukan tidak mungkin hanya sesaat. Aksi pengemis di media sosial ini bisa dikategorikan sebagai upaya yang disengaja untuk mengeksploitasi kemiskinan.

Dengan menonton penderitaan orang-orang miskin, sebagian warganet memang berpeluang terenyuh kemudian mengulurkan bantuan, dengan cara memberikan gift berupa koin melalui media sosial.

Masalahnya, apakah para kreator konten itu sadar bahwa pihak yang mengambil keuntungan terbesar dari yang mereka produksi ternyata aplikatornya?

Menurut penelusuran BBC, aplikasi Tiktok mengambil hasil hingga 70 persen dari yang disumbangkan warganet untuk kreator konten. Pada titik ini, siapa yang diuntungkan dan buntung dari penyebaran konten pengemis online sesungguhnya masih menjadi tanda tanya besar.

Manajer Desa

Kemampuan manajer menjadi penting dalam sosok kades.

SELENGKAPNYA

Nasib Janji Politik Bidang Pendidikan

Tidak mudah merealisasikan amanah konstitusi dan janji politik bidang pendidikan.

SELENGKAPNYA

Tiktok, Ruang Baru Eksploitasi Kemiskinan

Media sosial menjadi tempat untuk mendapatkan dua hal, yaitu kepopuleran dan uang.

SELENGKAPNYA