Melalui buku ini, Sulthan Fathoni menelusuri sejarah praksis pendidikan sebagai jantung peradaban Islam. | DOK IST

Kitab

Telaah Transmisi Ilmu Dalam Sejarah Islam

Dalam buku ini, Sulthan Fatoni memaparkan sejarah keilmuan Islam sejak era Nabi SAW.

Dalam sejarah, ada berbagai aliran yang muncul di tengah kaum Muslimin. Sebagai contoh adalah Sunni, Syiah, Mu'tazilah, dan sebagainya. Masing-masing memunculkan banyak tokoh yang memberikan sumbangsih dan karya bagi dinamika ilmu pengetahuan.

Buku karangan Sulthan Fatoni, Peradaban Islam: Disain Awal Peradaban, Konsolidasi Teologi, Konstruk Pemikiran dan Pencarian Madrasah, berupaya memotret perkembangan tradisi pemikiran di tengah keberagaman Muslimin. Di samping itu, karya tersebut pun berusaha mengonstruksi dan sekaligus menelusuri pola-pola pembelajaran tempo dulu.

Sulthan Fatoni adalah seorang penulis kontemporer kelahiran Lumajang, Jawa Timur. Alumnus Pondok Pesantren Habibul Abrori dan Ponpes Sidogiri Pasuruan ini menyelesaikan studi S1 di STAI Azziyadah Jakarta. Kemudian, ia menyelesaikan program S2 di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia.

Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) ini pernah mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta. Pada Agustus 2019, penulis wafat di Depok, Jawa Barat. Buku Peradaban Islam ini adalah salah satu legasinya, khususnya yang disusun saat almarhum masih menimba ilmu di Pusat Kajian Tasawuf Ciganjur, asuhan KH Said Aqil Siroj.

 
Dengan mengkaji tradisi berpikir di kalangan umat Islam dari masa ke masa, pola transformasi ilmu pengetahuan dapat ditelusuri.
 
 

Menurut Sulthan Fatoni, dengan mengkaji tradisi berpikir di kalangan umat Islam dari masa ke masa, pola transformasi ilmu pengetahuan dapat ditelusuri.

Sulthan menjelaskan, tradisi berpikir dan diskusi di kalangan sarjana Muslim telah membudaya sejak periode dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah. Saat itu, para sahabat telah menggelar diskusi-diskusi yang bertemakan persoalan keagamaan.

Menurut penulis, hadirnya Rasulullah SAW menjadi garansi tersendiri bagi penyelesaian problem keagamaan di tengah Muslimin saat itu. Pada saat yang sama, otoritas beliau tidak lantas "mematikan" pergulatan pemikiran di antara para sahabat. Sebagai contoh, ketika umat Islam akan melakukan ekspansi ke wilayah Yaman. Terjadilah diskusi antara Nabi SAW dengan Mu’adz bin Jabal

“Apabila Anda nanti memutuskan suatu persoalan, apa yang akan Anda lakukan?” tanya Rasul SAW.

Mu’adz menjawab, “Saya akan merujuk pada Alquran.”

“Bagaimana jika dalam Alquran dan Sunnah juga tidak ditemukan?”

“Saya akan berijtihad dengan kemampuan akalku,” jawab Mu’adz.

Mendengar pernyataan itu, Rasulullah SAW terlihat puas. “Segala puji bagi Allah yang telah menyesuaikan utusan Rasulullah SAW dengan apa yang direlakan Rasulullah SAW,” imbuh beliau.

Menurut Sulthan Fatoni, perdebatan antarsahabat tidak hanya sebatas persoalan keagamaan. Tema-tema aktual keseharian juga tidak luput dari perhatian mereka. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial budaya hingga isu-isu pertahanan dan keagamaan negara.

Seiring berjalannya waktu, transformasi ilmu keagamaan dan sosial pada periode awal Islam terus bergulir. Saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, persoalan keislaman sama sekali tidak menemui kesulitan. Setelah beliau wafat, barulah terjadi perdebatan dan diskusi-diskusi tentang berbagai masalah keagamaan.

Dalam kata pengantar buku ini, KH Said Aqil Siroj menjelaskan, fenomena dialektika ilmu pengetahuan pada masa Islam klasik merupakan komitmen kaum sarjana terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Pada saat itu, lanjut dia, setiap ilmuwan memiliki forum kajian untuk transmisi dan diskusi keilmuan.

Said Aqil melanjutkan, forum kajian tersebut kemudian berkembangan menjadi sebuah institusi pendidikan yang bebas dan independen. Dari situlah, lahir forum kajian yang akhirnya menjadi sebuah intitusi pembelajaran yang benar-benar mandiri dan otonom, serta mempunyai spesifikasi. Itulah madrasah.

Pembahasan dalam buku ini terbagi menjadi empat lini. Pada bagian pertama, penulis membahas tentang desain awal peradaban Islam, termasuk perdebatan teologis pascawafatnya Rasulullah SAW. Menurut penulis, peristiwa di Padang Karbala merupakan torehan sejarah yang berimplikasi besar bagi dunia Islam, baik dari sisi syariah, siyasah, maupun akidah.

 
Bermula dari sini pula, muncul mazhab-mazhab Islam. Diawali dengan lahirnya doktrin Jabariyah dan Qadariyah.
 
 

Bermula dari sini pula, muncul mazhab-mazhab Islam. Diawali dengan lahirnya doktrin Jabariyah dan Qadariyah. Di tengah maraknya pertentangan antaraliran dan paham, kemudian muncul seorang tokoh moderat, Hasan al-Bashri (wafat 110 Hijriyah).

Pemikiran Hasan al-Bashri ini bercirikan tasamuh, tawasuth, i’tidal, dan tawazun, yaitu paradigma berpikir yang cenderung bersifat solutif dan mencari jalan tengah. Pola pikir yang dikembangkannya itu ternyata mendapatkan sambutan masyarakat luas. Forum kajiannya sangat terkenal di Bashrah.

Selain mengenalkan sosok sekaliber Hasan al-Bashri, penulis juga menggambarkan pemikir Washil bin Atha yang membuka forum kajian tersendiri pasca aktivitasnya di forum kajian milik Hasan al-Bashri. Dalam buku ini, pembaca juga dapat menemukan strategi jitu pemikiran al-Asy’ari dalam menyebarkan gagasannya yang kemudian dikenal dengan Aswaja.

Pada bagian yang pertama ini, penulis juga menjelaskan perbedaan teologi dari kelompok Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Syiah, Murji’a, hingga teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Konsep teologi dari masing-masing sekte tersebut dijelaskan secara singkat dan jelas.

Selanjutnya, pada bagian kedua penulis menfokuskan pembahasannya pada kemunculan paham Aswaja, serta tradisi berpikir dan reaktualisasi Sunni. Pada bagian ini, penulis juga mengungkapkan tokoh-tokoh Sunni yang telah memberikan kontribusi pemikiran keislaman yang mengedepankan tawasuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh.

Sulthan Fatoni mengungkapkan beberapa hal yang cukup menarik dari doktrin Sunni. Dalam perspektif sejarah, lanjut dia, Sunni merupakan bentuk kelanjutan dari proses kreativitas pemikiran Muslimin yang dapat dilihat sejak munculnya beberapa madrasah masa klasik.

Pada bagian ketiga, Sulthan Fatoni kemudian menyajikan tema pembahasan tentang peradaban Islam dan perkembangan madrasah. Pada bagian ini, penulis juga membahas tentang geliat umat Islam di Indonesia dari lingkup perkotaan hingga perdesaan. Di sini, penulis mencoba memotret munculnya ormas-ormas Islam Indonesia, seperti Muhammadiyah, al-Irsyad Islamiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU).

Pada bagian terakhir buku ini, penulis kemudian mengangkat studi kasus, yakni sistem pembelajaran yang berlangsung di Madrasah Miftahul Ulum (MMU) Pasuruan. Di sini dapat dilihat bahwa kesuksesan MMU juga tidak lepas dari figur sentral kiai dan para gurunya.

Dalam buku ini penulis memang tidak begitu menjelaskan tipologi lembaga pendidikan dari masa ke masa. Namun, buku ini telah memberikan gambaran awal pola pembelajaran tempo dulu yang ternyata mampu memberikan warna dalam dunia Islam.

Buku ini tidak hanya menarik dikaji oleh para akademisi, tapi juga masyarakat umum, khususnya yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan. Dengan membaca buku ini, publik insya Allah dapat kian meluaskan wawasan tentang tradisi keilmuan dan pemikiran Islam.

Saat Alquran Dibakar, Kenapa tak Boleh Membalas Bakar Injil?

Bimbingan ini menyangkut larangan mencaci Tuhan-Tuhan mereka.

SELENGKAPNYA

Yang Haram Jangan Dipandang Harum

Memandang hal yang jelas haram sebagai hal yang harum.

SELENGKAPNYA

Saat Istri Bersuara Tinggi

Dalam istilah fikih, pembangkangan seorang istri terhadap suami disebut dengan nusyuz.

SELENGKAPNYA