
Sastra
Jebolnya Beduk Masjid Kami
Cerpen Irwansyah
OLEH IRWANSYAH
Pemuda di atas mimbar kayu jati berukir itu begitu fasih mengucapkan ayat-ayat Alquran. Tatapannya teduh. Wajahnya putih bersih. Dagunya dihiasi helaian-helaian hitam yang tidak terlalu lebat. Rambut ikal yang dulu sering menjuntai di dahinya, kini tertutupi kopiah putih.
Yusuf, bocah sebelas tahun. Tidak salah jika nama itu melekat padanya. Sejak kecil, tanda-tanda ketampanan memang sudah terlihat pada dirinya. Kekaguman, itulah kata yang tepat diberikan untuk Yusuf saat pertama kali melihatnya, sepuluh tahun yang lalu.
Ketika sebagian dari orang-orang dewasa masih asyik dalam pelukan selimut dan kasur empuk, Yusuf justru sudah berada di masjid mendahului langkahku sebagai marbot. Senyumnya selalu menyambutku dari bawah pilar kokoh di tengah kemegahan ruangan masjid. Di depannya, rehal menopang mushaf yang terbuka halamannya.
Selama ada Yusuf, tidak ada yang mendapatkan kesempatan untuk membangunkan orang-orang yang berkemul lewat lengkingan merdu suara azan subuh.
Suatu ketika, aku kehilangan sosok Yusuf. Pagi itu, tubuh mungilnya tidak terlihat di bawah naungan cahaya lampu gantung kristal nan indah itu. Bahkan, ketika aku bersiap memukul beduk, Yusuf belum menampakkan wajah.
Yusuf justru sudah berada di masjid mendahului langkahku sebagai marbot.
Satu ayunan pembuka tepat mengenai bagian tengah kulit beduk. Namun, bukannya suara yang keluar, stik pemukul dan tangan kananku yang menembus kulit beduk.
"Kenapa, Bang Hanif?"
Bocah yang aku tunggu-tunggu datang saat aku dalam kebingungan. Sama denganku, Yusuf memperlihatkan kerutan-kerutan di keningnya saat aku menunjuk lubang di tengah-tengah beduk.
Berlubangnya kulit beduk menjadi tanda tanya bagi jamaah. Pasalnya, beduk berukuran dua dekapan tangan orang dewasa dengan harga puluhan juta itu belum genap enam bulan. Lebih-lebih disebutkan bahwa kulit beduk tersebut adalah kulit sapi terbaik, ketahanannya tidak diragukan. Beduk itu dipesan secara khusus. Kayunya berukir. Ring pengikatnya kuning berkilau. Suara yang keluar juga nyaring dan bersih.
Dengan berat hati, pengurus kembali mencairkan kas masjid dalam jumlah yang tidak sedikit untuk memperbaiki beduk. Sementara kulit yang rusak, dibawa pulang Yusuf setelah memintanya dengan malu-malu.
Berlubangnya kulit beduk menjadi tanda tanya bagi jamaah.
Dua bulan setelah itu, kejadian serupa kembali terulang. Namun yang membedakan, kali ini disertai drama ketegangan. Haji Bahrun, ketua pengurus masjid, menuduhku terlalu keras memukul beduk. Protes juga ia tujukan kepada penjual kulit.
Menurut dia, kualitas kulit tidak sesuai dengan yang disebutkan.
"Kau masih mau membawa pulang kulit beduk ini, Yusuf?"
Bocah itu langsung semringah saat aku tawarkan kulit rusak itu kepadanya.
"Mau untuk apa kulit ini?" Sejenak, aku menahan kulit itu saat Yusuf bersiap-siap membawanya.
"Kerajinan tangan, Bang." Jawaban singkat itu diiringi senyum mengembang.
Ratusan juta kas masjid harus kembali dikurangi untuk membeli kulit. Padahal, pengurus masjid sudah merencanakan ingin mengganti warna dinding untuk menyambut bulan puasa. Tiga hari sebelumnya pun beberapa orang pengrajin kaligrafi kuningan sudah datang. Mereka mengukur luas dinding yang akan dihiasi kaligrafi-kaligrafi bernuansa keemasan.
"Biar masyarakat kita semakin bersemangat ke masjid." Dengan menggebu-gebu Haji Bahrun mengucapkan kalimat itu. "Kita harus menjaga dari setiap rupiah yang diamanahkan umat kepada pengurus."
Biar masyarakat kita semakin bersemangat ke masjid.
Tidaklah mengherankan jika masjid ini selalu melakukan pembenahan secara fisik. Dirasa kurang berkilau, lantai keramik pun diganti dengan granit. Empat menara ditinggikan. Bongkahan kubah diperbarui. Barisan huruf yang menyala ketika malam dipasang pada bagian atas masjid. Dari jarak yang jauh, orang-orang sudah bisa mengenali nama masjid ini dari huruf-huruf itu.
Sungguh, jamaah benar-benar dimanjakan dengan kemegahan rumah ibadah ini. Telapak kaki mereka nyaman saat berlama-lama berdiri di atas empuknya karpet tebal. Tidak ada lagi jamaah yang terpaksa melepas satu kancing baju karena kerja keras kipas angin sudah tergantikan oleh pendingin ruangan.
Sayangnya, meski sudah dua kali diganti, kulit beduk kembali jebol. Untungnya saat itu yang memukul adalah Haji Bahrun pada waktu asar. Menurut dia, ia tidak terlalu kuat mengayunkan tangan. Alasan yang sama juga pernah aku sampaikan.
Stik pemukul dibanting keras ke lantai oleh Haji Bahrun. Ia tidak bisa menyalahkan aku atas jebolnya kulit beduk untuk ketiga kali. Namun kali itu, perhatianku tercuri oleh lapisan tipis berwarna putih pada permukaan kulit saat aku merabanya.
"Ini seperti getah pepaya," ucapku pelan.
Stik pemukul dibanting keras ke lantai oleh Haji Bahrun.
Seketika pandangan Haji Bahrun tertuju kepada bocah kecil yang berdiri di bawah bingkai pintu.
"Yusuf!" Jari telunjuk Haji Bahrun teracung ke arah wajah Yusuf. Suara laki-laki tua berserban putih itu bergetar. Tinggi suaranya memalingkan sangkaan orang jika itu keluar dari lisan seorang dengan helaian-helaian putih dipuncak kepala.
"Anak yatim tak tahu diri. Tak tahu diuntung. Kau yang melakukan ini, 'kan?!"
Yusuf terjengkang saat tangannya ditarik paksa, lalu dilepaskan. Wajahnya tertunduk. Tubuh mungilnya semakin mengerut dikelilingi jamaah yang berdatangan.
Tidak ada suara. Yang aku lihat hanya bertitik-titik bening mulai membasahi lantai.
Tidak ada suara. Yang aku lihat hanya bertitik-titik bening mulai membasahi lantai. Kilau granit itu pun tidak mau menutupi wajah Yusuf yang sudah tertunduk.
"Sabar, Pak Haji. Kita tidak bisa asal menuduh."
Beberapa jamaah mengelus pelas punggung Haji Bahrun. Rasa-rasanya pun tidak mungkin bocah yang selalu dipuji dan dikagumi itu melakukan perbuatan merusak kulit beduk. Mustahil. Bahkan, tanpa diminta, Yusuf sering meringankan pekerjaanku membersihkan masjid.
"Kalian sudah ditipu wajah polos anak ini!"
Kepala Yusuf didorong keras oleh Haji Bahrun hingga membuat tubuh si bocah rebah ke lantai.
Tergopoh-gopoh Haji Bahrun menuju tempat sampah di depan masjid.
Tergopoh-gopoh Haji Bahrun menuju tempat sampah di depan masjid. Tutup tong pun menjadi sasarannya dengan diempaskan. Entah apa yang ia cari di tempat kotor itu. Beberapa sampah plastik berhamburan.
"Ini ... ini buktinya!" Haji Bahrun kembali ke tengah-tengah jamaah. Ia menyodorkan kain kumal dan buah pepaya muda yang terpotong pada salah satu ujungnya. Buah itu terlihat sudah keriput. Ukurannya tidak lebih besar dari kepalan tangan Yusuf.
Haji Bahrun menjelaskan, beberapa hari sebelumnya ia memergoki Yusuf di depan beduk sebelum azan Shubuh. Bocah kecil itu terlihat kebingungan saat disapa. Namun, Haji Bahrun tidak menaruh curiga kepadanya karena di tangan Yusuf ada selembar kain yang baru digunakan untuk mengelap kulit beduk. Namun, Yusuf tergesa-gesa menuju tempat sampah untuk membuang kain lusuh itu.
"Dia menutupi pepaya muda ini dengan kain dan bertingkah seolah-olah sedang membersihkan beduk!" Semakin bersemangat Haji Bahrun karena merasa sudah bisa memecahkan sebuah misteri.
Suara jamaah seperti dengungan lebah.
Suara jamaah seperti dengungan lebah. Mereka mulai menghakimi Yusuf dengan makian dan celaan. Tidak ada lagi sanjungan seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan, beberapa orang mengungkit-ungkit pemberiannya kepada Yusuf. Menyesal mereka pernah melakukan itu.
"Apa tidak sebaiknya kita Shalat Ashar dulu, Pak Haji? Azan pun belum dikumandangkan." Aku berusaha sedikit meredakan suasana.
"Kita selesaikan dulu masalah ini, Hanif!"
Jamaah mendukung ucapan Haji Bahrun.
"Kau tahu, Hanif, berapa banyak uang umat yang diamanahkan kepada pengurus terbuang sia-sia karena ulah anak ini?! Bagaimana pengurus mempertanggungjawabkan amanah ini kelak di akhirat?!"
Aku hanya terdiam. Pun saat Haji Bahrun menyuruhku mendatangi rumah ibu Yusuf untuk mengambil kulit-kulit yang pernah dibawa pulang, aku seperti kerbau penurut yang ditarik tali kekangnya.
Ketika aku menjelaskan kepada ibu Yusuf, wanita yang telah ditinggal mati suaminya itu pun hanya bisa menangis.
Ketika aku menjelaskan kepada ibu Yusuf, wanita yang telah ditinggal mati suaminya itu pun hanya bisa menangis. Dengan langkah lemah, wanita itu menuju dapur untuk mengambil apa yang aku minta.
"Tinggal ini yang tersisa, Pak Haji."
Setelapak tangan kulit mentah dan semangkuk tumis kulit yang dipotong dadu aku sodorkan ke hadapan Haji Bahrun dan jamaah.
Ya, hanya itu yang tersisa dari dua kulit beduk yang pernah dibawa pulang Yusuf. Aku yakin tidak ada yang berselera mencicipi rasa dari tumis kulit itu. Membayangkan kulit itu pernah berkali-kali dipukuli menjelang azan saja orang-orang pasti mual sebelum memasukkan ke dalam mulut.
Tampilannya pun sama sekali tidak membuat ludah di rongga mulut tertelan. Hanya ada irisan bawang merah dan beberapa cabai.
Dari kuah yang tertumpah dan mengenai jariku, hanya ada sedikit rasa asin pada tumisan itu.
Dari kuah yang tertumpah dan mengenai jariku, hanya ada sedikit rasa asin pada tumisan itu. Tidak lebih. Bahkan, saat di rumah ibu Yusuf, aku melihat bagaimana adik perempuan Yusuf harus berjuang keras menaklukkan uletnya kulit beduk. Gigi-gigi susu gadis kecil itu berdecit-decit.
"Hanya berjarak sepelemparan batu dari tempat kita berkumpul, wanita tanpa suami dan dua orang anak yang masih kecil, terpaksa memakan kulit ini tanpa nasi karena tidak ada lagi yang bisa dimakan." Ada gumpalan yang menyesak di dadaku. "Apakah masih ada yang bertanya-tanya alasan Yusuf merusak beduk puluhan juta ini?"
Hening.
Aku tinggalkan kerumunan itu menuju ruangan masjid. Azan aku kumandangkan meski entah berapa waktu yang sudah terlewatkan. Berangsur-angsur jamaah mengurai ketegangan itu dengan berbagai raut wajah. Tidak ada lagi suara meninggi dan urat leher yang bertimbulan.
Sosok tua itu mengempaskan lututnya pada kerasnya granit. Tubuhnya bergetar. Isaknya didengar orang.
Haji Bahrun menutupi wajahnya dengan kain serban. Lantai nan berkilau meluruhkan sendi-sendi kakinya. Sosok tua itu mengempaskan lututnya pada kerasnya granit. Tubuhnya bergetar. Isaknya didengar orang.
Yusuf dipeluk ibunya. Sementara gadis kecil yang tadi pontang-panting berusaha menyejajari langkah, masih memegangi ujung kerudung wanita itu.
Kini, bocah kecil itu telah tumbuh dewasa. Di atas mimbar megah, ia berkhutbah dan menyampaikan ilmu agama. Yusuf ada di masjid ini tidak lagi membawa pepaya muda. Sejak kejadian itu semua kebutuhan Yusuf, ibu, dan adiknya ditanggung umat melalui uang yang terkumpul di kas masjid.
Masjid ini pun tidak lagi seperti dulu yang dalam waktu singkat berganti warna.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Selayang Pandang Kota Nabi
Dari sinilah, dakwah Islam pada masa Rasulullah SAW kian berkembang pesat.
SELENGKAPNYAPerjalanan ke Pusat Semesta
Suku Koroway, Kombay, dan Citak percaya pada moyang awal yang bernama Saifafu.
SELENGKAPNYA