
Mujadid
KH Abdurrozak Ma’mun, Singa Podium dan Pendidik dari Betawi
KH Abdurrozak Ma’mun adalah pendiri Madrasah Raudhatul Muta’allimin Jakarta.
Dalam sejarah, Jakarta menjadi salah satu mercusuar peradaban Islam di Nusantara. Ada banyak ulama yang lahir dari Tanah Betawi. Mereka tidak hanya aktif dalam dunia dakwah dan pendidikan, melainkan juga perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Salah seorang alim Betawi yang berpengaruh besar adalah KH Abdurrozak Ma’mun. Sosok yang akrab disapa Guru Abdurrozak ini berjulukan “Singa Podium". Sebab, dirinya begitu piawai dalam menyampaikan ceramah atau orasi di hadapan massa.
Dai yang pernah menimba ilmu di Tanah Suci itu merupakan simpul generasi ulama Betawi yang datang setelahnya. Dalam arti, ia sukses melakukan kaderisasi, terutama melalui lembaga pendidikan yang didirikannya.
Sosok yang akrab disapa Guru Abdurrozak ini berjulukan “Singa Podium".
Tokoh ini bernama lengkap KH Abdurrozak bin Ma’mun. Yang diketahui dari tarikh kelahirannya adalah bulan Rabiul Awal 1335 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1916 Masehi. Ia berasal dari keluarga pemuka agama. Ayahnya adalah Guru Muhammad Ma'mun bin Jauhari bin Mi'un. Kakeknya dari jalur ibu, Guru Muhammad Mughni, dikenal sebagai seorang ulama besar.
Saat masih berusia anak-anak, Abdurrozak cenderung nakal, tetapi telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan. Salah satu bentuk “bandel” dirinya ialah mengganggu kajian tashwir yang digelar ayahnya. Dalam istilah keilmuan Islam khususnya di Betawi, tashwir berarti membaca, mengartikan, dan menjelaskan kitab di hadapan para santri.
Beberapa kali Guru Ma’mun menghukum anaknya. Bagaimanapun, sang alim yakin bahwa anaknya memiliki potensi besar untuk menyerap ilmu-ilmu agama dengan baik. Abdurrozak kecil pun diasuh dengan penuh disiplin dan sekaligus perhatian dari orang tuanya.
Pola pengasuhan ayah dan ibunya berbuah manis. Abdurrozak kian jarang berbuat onar. Fokusnya semakin tertuju pada kegiatan belajar, baik di rumah maupun masjid. Pada akhirnya, ia berkesempatan untuk berangkat ke Tanah Suci.
Di Makkah, tentunya Abdurrozak tidak hanya menunaikan ibadah haji, tetapi juga meneruskan pendidikan. Di kota kelahiran Rasulullah SAW itu, ia terdaftar di Madrasah al-Shaulatiyah al-Hindiyah. Salah seorang kawan sekelasnya saat itu adalah seorang pelajar berdarah Minangkabau yang akhirnya menjadi tokoh besar di Tanah Suci, yakni Syekh Muhammad Yasin al-Fadani.
Di Makkah, tentunya Abdurrozak tidak hanya menunaikan ibadah haji, tetapi juga meneruskan pendidikan.
Abdurrozak dikenal sebagai seorang murid yang rajin dan pintar. Ketekunan dalam belajar membuatnya unggul daripada kebanyakan siswa setempat. Bahkan, dirinya yang ketika itu masih berusia 20 tahun pernah membuat kagum pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari. Pandangannya tentang suatu soal keagamaan disimak dan disetujui sang Hadratus Syekh.
Kembali ke Indonesia
Sesudah enam tahun bermukim di Makkah, Abdurrozak pun kembali ke Tanah Air. Di Jakarta, ia mulai berdakwah di tengah masyarakat. Tidak hanya menggelar majelis taklim, dirinya pun merintis lembaga pendidikan. Institusi yang berdiri di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, itu kemudian dinamainya Madrasah Raudhatul Muta’allimin.
Kisah pendirian madrasah ini bermula pada awal tahun 1945. Saat itu, ia bersama dua orang alim Betawi lainnya, KH Ali Syibromalisi dan KH Abd Syakur Khairy, mengikuti acara Muktamar NU di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sebelum sampai di lokasi, ketiganya berkumpul terlebih dahulu di kediaman Haji Abd Rachim bin Jahip.
Saat berdiskusi di sana, mereka membahas gagasan pendirian sebuah sekolah sebagai tempat mencetak kader-kader ulama. Ide tersebut kian mengkristal sesudah ketiganya usai menghadiri muktamar NU itu. Mereka ingin melaksanakan amanat yang telah diterima dalam rangka memajukan agama, bangsa, dan negara melalui jalur pendidikan.
Harapannya, lembaga yang hendak didirikan ini dapat menjadi kawah candradimuka pengajaran ilmu-ilmu keislaman yang berhaluan ahlussunnah wal jama’ah (aswaja).
Cita-cita yang mulia itu mendapat dukungan dan restu dari para ulama lokal. Di antaranya adalah KH Abdullah bin H Suhaemi, KH Sahrowardi bin Guru Mughni, dan KH Rahmatulloh bin Guru Mughni. Pendirian madrasah ini juga mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari masyarakat Kuningan Mampang. Bahkan, kalangan pengusaha Muslim setempat pun turut menyokong rencana ini.
Sebidang tanah yang telah dibeli di Kuningan Mampang menjadi modal awal. Kemudian, KH Abdurrozak bersama para perintis terus melakukan pendekatan, khususnya pada para pengusaha Muslim. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan lebih banyak lahan sekitar yang dapat dibeli. Dengan begitu, madrasah yang akan didirikan di atasnya dapat lebih lapang dan kondusif.
Sumbangan juga datang dari masyarakat Kuningan dan Mampang.
Akhirnya, mereka bekerja sama dengan beberapa orang pengusaha, termasuk produsen susu dalam kemasan, di Jakarta Selatan. Sumbangan juga datang dari masyarakat Kuningan dan Mampang. Mereka begitu antusias untuk turut membantu pendirian sebuah lembaga pendidikan yang dirintis KH Abdurrozak dan kawan-kawan.
Pada Agustus 1945, akhirnya terbentuklah sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Madrasah Yayasan Raudhatul Muta’allimin. Sekolah ini berlokasi di Jalan KH Abd Rochim, Kelurahan Kuningan Barat, Kecamatan Mampang Prapatan, Jaksel. KH Abdurrozak Ma’mun duduk sebagai direktur institusi tersebut.
Proses pembangunan madrasah ini dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat Muslim, khususnya yang berasal dari Kuningan, Mampang, dan sekitamya. Pada masa awal pembangunannya, bentuk fisik sekolah Islam ini masih sangat sederhana. Dari waktu ke waktu, renovasi maupun perluasan terus dilakukan.
Hingga tutup usia, KH Abdurrozak terus mengajar melalui lembaga itu. Salah satu bentuk ikhtiarnya adalah mengusahakan dana pendidikan agar murid-muridnya dapat meneruskan studi ke Timur Tengah.
Di antara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama terkenal adalah KH Abdul Azdhim Suhami, KH Sidiq Fauzi, dan Jaelani bersaudara (KH Salim Jaelani dan KH Soleh Jaelani). Di samping itu, ada pula KH Muchtar Ramli, KH Abdul Razak Chaidir, KH Abdul Hayyi, dan KH Abdur Rasyid.
Sang Singa Podium
Seperti dikutip dari buku Geneologi Ulama Betawi karya Rakhmad Kiki Jaelani, KH Abdurrozak tidak hanya dikenal sebagai pendiri dan pengasuh salah satu madrasah masyhur di Jakarta. Dalam masa hidupnya pun, dirinya diakui luas selaku seorang ulung dalam berpidato. Karena itu, ia dijuluki sebagai Singa Podium.
Kiprahnya mulai dikenal orang ketika pada dekade 1950-an dan 1960-an ia menjadi penceramah utama di Majelis Habib Ali Kwitang. Di sana, ia menjadi salah seorang santri kesayangan Habib Ali Kwitang. Saat Abdurrozzak menyampaikan ceramah, jamaah fokus mendengarkan dan memami isi materi yang disampaikannya.
Salah satu ulama kontemporer yang terinspirasi dengan sosok KH Abdurrozak adalah KH Ahmad Marwazie al-Betawie. Menurut Kiai Marwazie, tokoh itulah yang telah menginspirasinya untuk belajar ke Makkah dan akhirnya bisa berguru langsung kepada Syekh Yasin al-Fadani.
“Karena saya melihat Kiai Abdurrozak itu dulu kan pernah belajar ke Makkah, sebelum perang dunia kedua. Saya melihat itu luar biasa, ilmunya, ceramahnya,” ujar Kiai Marwazie saat diwawancara Republika, beberapa waktu lalu.
KH Abdurrozak sendiri adalah teman ayah Kiai Marwazie yang bernama Muhammad Siddiq bin Muhasyim. Menurut pengakuannya, jika di dalam sebuah forum pengajian tidak ada KH Abdurrozak, jamaah biasanya menjadi tidak semangat.
Kalau ada Kiai Abdurrozak itu semangat, lebih hidup.
“Kalau ada Kiai Abdurrozak itu semangat, lebih hidup,” ucapnya.
Dalam menyampaikan ceramah, KH Abdurrozak juga kerap dijadikan mitra oleh Habib Salim Jindan. Rekan dakwahnya ini adalah seorang ulama ahli hadis dan juga piawai dalam berpidato.
Tidak hanya berdakwah lewat podium, KH Abdurrozak juga berkhidmat lewat NU. Karena keluasan ilmu fikihnya, sosok ini pernah duduk sebagai katib Syuriah PBNU 1967-1971. Salah satu pendiri NU, KH Bisri Syansuri mengakui kompetensi ulama fikih dari Ibu Kota ini.
Kepeduliannya akan urusan sosial kemasyarakatan adalah komitmen besar pribadinya. Di tahun 1980-an pemerintah menggalakkan program transmigrasi. Ia seorang kiai yang sangat getol mengampanyekan program tersebut. Sempat pula turun langsung untuk melihat perkembangan para transmigran di Lampung. Alasannya, kebanyakan mereka adalah umat Islam.
Telah banyak kontribusi Guru Abdurrozak untuk agama dan bangsa ini. Ia wafat pada 25 Muharram 1404 Hijriah atau 1 Nopember 1983 pada usia 67 tahun. Jenazah almarhum dimakamkan di Kompleks Masjid Darussalam, Kuningan, Jakarta Selatan, berdampingan dengan makam ayahnya.
Beda Paus, Tokoh Protestan RI, dan Al-Azhar Soal LGBT
Dalam kitab suci Kristen, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan yaitu laki-laki dan perempuan.
SELENGKAPNYAKejanggalan Daftar 108 Laznas tak Berizin Versi Kemenag
Uniknya, ada lembaga zakat lain yang bisa diproses cepat perizinannya oleh Kemenag.
SELENGKAPNYAMasjid Raja Abdullah Kebanggaan Negeri Yordania
Masjid Raja Abdullah didirikan untuk mengenang sosok pendiri Kerajaan Yordania.
SELENGKAPNYA