
Opini
Hukum dan Wajah Media dalam Kasus Kekerasan Seksual
Hak korban kekerasan seksual yang harus dilindungi termasuk hak atas privasinya.
TASNEEM KHALIQA ISRAKHANSA; Mahasiswi Fakultas Hukum UI, Penulis Buku Usai Sebelum Dimulai (Republika, 2019)
Kasus kekerasan seksual bukanlah problematika baru. Kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan diartikan, setiap perbuatan yang mengandung unsur merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang kaitannya dengan nafsu perkelaminan dan hasrat seksual seorang individu, yang bertentangan dengan kehendak seseorang lainnya serta dilakukan secara paksa.
Khususnya terhadap perempuan, kasus ini masih jadi permasalahan yang belum terlihat titik terangnya dan terus naik ke permukaan. Dalam 12 tahun terakhir, Komnas Perempuan mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia naik hingga 800 persen.
Dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi, membuat kasus ini semakin terangkat dan menjadi perbincangan publik belakangan ini.
Di berbagai kesempatan pada kasus kekerasan seksual, korban sebagai subjek sering jadi sorotan utama yang lebih disudutkan daripada pelaku.
Di berbagai kesempatan pada kasus kekerasan seksual, korban sebagai subjek sering jadi sorotan utama yang lebih disudutkan daripada pelaku.
Dari banyaknya pro dan kontra, tak jarang muncul anggapan di masyarakat kita bahwa kekerasan seksual wajar terjadi sebab cara berpakaian korban yang dinilai terlalu terbuka, sehingga dapat mengundang nafsu birahi pemerkosa.
Padahal, seharusnya tidak satu pun alasan dapat dibenarkan, apalagi dinormalisasi sebagai pemakluman atas terjadinya kasus kekerasan seksual. Dalam kaitannya dengan pemberitaan pers, korban kekerasan seksual memiliki hak penuh untuk dilindungi.
Hak korban kekerasan seksual yang harus dilindungi di sini, termasuk hak atas privasinya. Privasi bagi setiap orang penting karena pasti mereka memiliki sisi yang tidak ingin diketahui orang lain atas beberapa pertimbangan sehingga memilih tidak dijadikan konsumsi publik.
Hak privasi dimiliki setiap orang dengan porsi yang sama, tetapi faktanya hingga saat ini masih banyak dilanggar media dalam bentuk pemuatan/publikasi identitas data pribadi, bahkan foto korban ataupun keluarga korban tanpa sensor/disamarkan.
Lebih-lebih, ditambah stigmatisasi perempuan dalam bentuk narasi-narasi pemberitaan yang bersifat melecehkan, cabul, dan sadis serta menyudutkan ataupun menurunkan martabat perempuan korban kekerasan seksual.
Ditambah stigmatisasi perempuan dalam bentuk narasi-narasi pemberitaan yang bersifat melecehkan, cabul, dan sadis.
Narasi tersebut biasanya ditemukan dengan melekatkan predikat, seperti “cantik”, “janda”, “gadis” atau atribut yang korban kenakan, misalnya “rok mini” dan “baju terbuka”. Bisa juga berupa kata-kata, seperti “disetubuhi”, “digilir”, “diperkosa”, “diciumi”, “perempuan nakal”, “digagahi”, “dicabuli”, dan sebagainya.
Misalnya, judul pemberitaan “Pulang dari Tempat Hiburan Malam, Mahasiswi Mengaku Diperkosa 6 Pria”. Kendati mengungkapkan fakta, kalimat ‘pulang dari tempat hiburan malam’ menggiring opini pembaca bahwa pemerkosaan terhadap mahasiswi wajar terjadi karena dirinya ‘perempuan nakal’ yang baru pulang dari tempat hiburan malam.
Terdapat judul sejenis, contohnya “Bak Pagar Makan Tanaman, Pemuda Banyuwangi Cabuli Istri Teman”, “Aksi Kuli Bangunan Perkosa Janda Muda di Jember Dipergoki Warga”, “Gadis 14 Tahun Digagahi Empat Pria Secara Bergilir”. Banyak judul lainnya yang merugikan korban.
Keterbukaan media yang tidak bijak tersebut membangun opini publik mengenai korban yang digambarkan “mengundang secara seksual” dan berdampak pada rusaknya citra korban.
Korban akan dianggap, meskipun dirinya objek yang lemah, dihasrati dan akan menganggap pemerkosaan terjadi akibat kesalahannya karena ia “cantik”, “memakai baju yang tidak pantas”, “teman makan teman”, dan lain-lain.
Sementara itu, pemerkosa akan dianggap sudah cukup gagah atau jantan atau maskulin serta nafsu birahinya sebagai kenormalan seksualnya semata.
Penggunaan narasi-narasi yang sifatnya cabul, sadistis, dan sebagainya seperti yang telah dipaparkan di atas, menunjukkan media masih melihat kasus kejahatan seksual dari sudut pandang kecabulan pelaku.
Penanganan kasus kekerasan seksual yang cenderung berpihak pada pelaku menandakan lemahnya proses hukum di negara kita.
Tidak hanya itu, penanganan kasus kekerasan seksual yang cenderung berpihak pada pelaku menandakan lemahnya proses hukum di negara kita.
Selama ini, penanganan kasus kekerasan seksual menggunakan Pasal 285 KUHP, yang menempatkan posisi pada perspektif pelaku dan mengenyampingkan korban.
Pasal 285 KUHP berbunyi, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Pasal 285 KUHP ini “delik biasa”, artinya polisi harus melakukan penyidikan meski tanpa pengaduan korban. Sikap proaktif penyidik sangat diperlukan, bukannya malah bersikap pasif, apalagi ikut mendorong upaya “perdamaian” pelaku pemerkosa dengan korban.
Misalnya dalam kasus pemerkosaan oleh enam pria terhadap seorang anak berusia 15 tahun di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang justru berujung penyelesaian secara “damai” (CNN Indonesia, 17 Januari 2023).
Pada kasus ini, media ataupun penegak hukum semestinya turut meneguhkan upaya perlindungan hak privasi korban kekerasan seksual agar lebih didengar hak-haknya.
Jika penegak hukum tidak proaktif dalam kasus kekerasan seksual, jangan disalahkan bila masyarakat main hakim sendiri. Tindakan ini secara normatif tidak dapat dibenarkan, tetapi pasifnya penegak hukum berkontribusi terciptanya distrust society pada penegak hukum.
Begitupun media. Sebagaimana diatur di Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik, dalam melakukan pekerjaannya, wartawan wajib menempuh cara-cara profesional. Pada Pasal 2B, profesionalisme di sini ditafsirkan “menghormati hak privasi”.
Pasal 5 menyinggung, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila serta Pasal 4 menyebutkan, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 9 menegaskan, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik dan PP tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang mengatur tugas pemerintah dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Atas perlakuan oknum media yang tidak sesuai kode etik keprofesian tersebut, hanya akan menyebabkan kasus kekerasan seksual tertutup rapat, belum lagi jika pemerintah dan penegak hukum tidak berperspektif korban sehingga tidak jarang korban memilih diam dan menutup rapat kasus yang menimpanya.
Akibatnya, korban menjadi pribadi yang tertutup, kesehatan mental korban berpotensi memburuk, bahkan yang paling parah adalah rasa trauma, tertekan, dan perasaan merasa bersalah yang menyelimutinya seumur hidup dan berujung nekat untuk bunuh diri.
Selain itu, sesuai Pasal 82 ayat (5) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2016, jika memang identitas perlu dipublikasikan, yang seharusnya dimuat ialah identitas pelaku kekerasan seksual, bukan korban.
Pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pengumuman identitas dirinya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan hak privasi korban kekerasan seksual harus diproteksi. Media sebagai agent of change jangan hanya mengejar oplah atau rating.
Titik berat penulisan oleh media seyogianya pada upaya penyelamatan korban, dengan tetap memperhatikan publikasi yang diarahkan untuk mengurangi jumlah kasus agar tindakan serupa tidak terulang.
Tetap memperhatikan publikasi yang diarahkan untuk mengurangi jumlah kasus agar tindakan serupa tidak terulang.
Bukan malah membuat tulisan dengan narasi yang mendorong orang lain melakukan kejahatan yang sama. Terakhir, diperlukan pengaturan hukum yang lebih berpihak pada korban dalam pemberitaan oleh pers mengenai diri dan identitasnya.
Sudah bukan saatnya pemerintah menempatkan isu yang dianggap lebih profitable di atas kasus kekerasaan seksual. Jangan sampai menunggu publik turun langsung melakukan counter attack mengenai urgensi kasus kekerasan seksual.
Pendampingan terhadap korban harus diperjuangkan sampai mereka memperoleh haknya. Harapan penulis, ke depan isu kekerasan seksual bisa lebih tersuarakan dan tertangani baik sehingga penghakiman terhadap kaum perempuan dapat diminimalisasi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Budaya Utama Pondok Pesantren
Ada beberapa budaya pokok pondok pesantren yang harus tetap dipertahankan.
SELENGKAPNYAPola Distribusi Rezeki
Allah SWT telah telah menerapkan pola distribusi dan pembagian rezeki.
SELENGKAPNYA