
Kisah
Akhir Hidup yang Indah
Dahulu menyembah berhala, mualaf ini memperoleh akhir hidup yang indah.
Seorang ulama tabiin, Abdul Wahid bin Zaid, menuturkan kisah yang luar biasa. Sebagaimana dinukil dari buku 99 Kisah Orang Shalih karya Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, berikut ini riwayatnya.
“Suatu ketika, aku dan rekan-rekanku menumpangi sebuah kapal di lautan,” tutur Abdul Wahid, “lalu badai menerjang sehingga kapal pun porak-poranda. Kami terapung-apung pada pecahan badan kepal hingga akhirnya terdampar di sebuah pulau.”
Di sana, Abdul Wahid dan kawan-kawan mendapati seorang pria sedang bersujud pada sebuah patung. Mereka lalu mendekatinya dan meminta bantuan. Setelah dijamu dengan beberapa buah kelapa, mereka pun diajak mengobrol dengan lelaki tersebut.
“Di antara kami, tidak ada yang melakukan seperti yang engkau perbuat (menyembah patung),” kata Abdul Wahid.
Lelaki itu pun bertanya, “Lantas, apa yang kalian sembah?”
“Kami menyembah Allah,” ucap Abdul Wahid.
“Siapakah Allah?”
“Dialah Zat yang memiliki dan menguasai langit dan bumi.”
“Bagaimana engkau yakin akan hal itu?”
Abdul Wahid menjelaskan, “Allah mengutus seorang rasul kepada kami dengan membawa mukjizat yang jelas. Rasul itulah yang menerangkan kepada kami mengenai hal itu.”
“Lalu, apa yang dilakukan rasul kalian itu?”
Abdul Wahid berkata, “Rasul kami menyampaikan risalah Allah hingga tuntas. Kemudian, ia meninggal dunia. Kini, sang rasul tidak lagi bersama dengan kami.”
“Apakah dia tidak meninggalkan sesuatu kepada kalian?”
“Ada, yaitu kitab petunjuk.”
“Perlihatkan kepadaku kitab itu,” pinta lelaki dari pulau asing ini.
Kemudian, Abdul Wahid memberikan sebuah mushaf Alquran kepadanya. Ia pun membacakan beberapa ayat di hadapannya.
“Sungguh luar biasa,” kata lelaki pribumi itu sambil menahan tangisan haru, “sungguh tidak layak Zat yang memiliki firman ini didurhakai.”
Di tempat itu pula, pria tersebut menyatakan keislamannya. Syahadat dibimbing oleh Abdul Wahid.
Berapa hari berlalu. Abdul Wahid dan kawan-kawan akhirnya mempunyai perahu untuk kembali ke Irak. Sebelum mereka pergi, pria mualaf itu meminta agar diizinkan ikut serta.
Abdul Wahid dan rekan-rekannya setuju. Selama pelayaran, beberapa dari mereka mengajarkan ayat-ayat Alquran kepadanya.
Ketika malam tiba, orang-orang beranjak tidur. Mualaf ini tiba-tiba bertanya kepada Abdul Wahid, “Katakan kepadaku, apakah Zat yang kalian beri tahukan kepadaku itu juga tidur?”
“Tidak. Allah Hidup terus. Dia Maha Melihat, tidak pernah mengantuk, tidak pula tidur.”
“Kalau begitu,” sahut si mualaf, “tidak pantas rasanya bila seorang hamba tidur nyenyak di hadapan tuannya.”
Segera ia melompat dan mengambil air wudhu. Kemudian, mualaf ini mendirikan shalat malam. Hingga datang waktu subuh, dirinya terus berdoa kepada Allah dengan hati tulus dan air mata haru.
Beberapa waktu berlalu. Sampailah kapal ini ke tujuan. Di Irak, Abdul Wahid meminta kawan-kawannya untuk membantu mualaf tersebut.
“Laki-laki ini adalah orang asing dan baru saja memeluk Islam. Maka sangat pantas bila kita membantunya,” katanya.
Orang-orang pun bersedia mengumpulkan beberapa harta untuk diberikan kepadanya. Sesudah itu, Abdul Wahid menyerahkan bantuan itu kepada mualaf tersebut.
“Apakah ini?”
“Sekadar infak dari kami untukmu,” ucap Abdul Wahid.
“Subhanallah! Selama ini aku hidup di pulau yang dikelilingi lautan, menyembah bukan kepada Allah. Sekalipun demikian, Allah tidak pernah menyia-nyiakanku,” ujar dia.
Setelah cukup mapan, lelaki itu pun merantau ke luar daerah. Cukup lama tiada lagi kabar terdengar darinya. Hingga pada suatu hari Abdul Wahid menerima berita, mualaf tersebut sedang terbaring sakit parah.
Abdul Wahid dan beberapa rekan kemudian berangkat untuk membesuknya. Sesampainya mereka di tujuan, mualaf tersebut dalam keadaan sakaratulmaut. Para tamu berkumpul di sekitar dipannya.
“Katakanlah, apa keinginanmu?” kata Abdul Wahid berbisik pada telinga mualaf ini.
“Keinginan dan harapanku telah tercapai pada saat kalian datang ke pulau itu. Sebelumnya, aku tidak mengerti kepada siapa aku harus menyembah.”
Abdul Wahid bermalam di rumah tersebut. Dalam tidurnya, ia bermimpi menyaksikan sebuah taman yang di atasnya terdapat kubah. Benda itu menandakan letak kuburan seorang ahli ibadah.
Di bawah kubah terdapat tempat tidur yang di atasnya terbaring seorang gadis sangat cantik. Wanita itu kemudian berkata, “Demi Allah, segeralah mengurus jenazah ini. Aku sangat merindukannya.”
Begitu terbangun, Abdul Wahid menyadari bahwa muala tersebut telah meninggal dunia. Ia dan kawan-kawannya lalu mengurus jenazah sang mualaf hingga tuntas.
“Pada malam harinya, saat ku tertidur, aku bermimpi lagi. Dalam mimpi, aku saksikan lelaki itu sangat berbahagia, didampingi seorang gadis di atas tepat tidur di bawah kubah.
Dari lisannnya, melantunkan ayat suci Alquran,
سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (QS ar-Ra’d: 24).”
Putri Candrawathi Dituntut 8 Tahun Penjara
Putri terbukti turut serta, terlibat bersama-sama melakukan pembunuhan berencana.
SELENGKAPNYA