
Kronik
Malapetaka Belum Usai
Yang disuarakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 dinilai masih relevan hingga saat ini.
OLEH ANDI M IQBAL, ABDULLAH SAMMY
Siang itu, Jakarta dilanda kekacauan hebat. Mobil-mobil yang melintas jalanan Ibu Kota jadi sasaran kemarahan. Gedung Astra yang menyuplai mobil impor asal Jepang, Toyota, dibakar. Hari itu bertepatan dengan tanggal 15 Januari 1974.
Alasan kemarahan ribuan massa ada di Bandara Halim Perdana Kusuma. Massa yang umumnya mahasiswa marah lantaran Bandara Halim akan kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei.
Mahasiswa menilai, PM Jepang itu punya rencana untuk kembali mengontrol Indonesia. Mahasiswa curiga Jepang ingin kembali melanjutkan rencana mereka yang tertunda pada 1945. Rencana itu adalah menguasai dan mengeruk kekayaan Indonesia.
Tanaka memang tak datang dengan bala tentara atau senjata. Namun, dengan tim ekonominya. Mahasiswa lantas melihat kenyataan yang tersaji pada medio awal 1970-an itu. Pada tahun itu, beraneka ragam produk Jepang, khususnya otomotif, mulai membanjiri wilayah Indonesia.
Karena itu, mahasiswa makin curiga bahwa kedatangan Tanaka ini adalah untuk semakin memantapkan kuku Jepang dalam menguasai pasar ekonomi di Indonesia. Kecurigaan yang kelak akan terbukti, bahkan hingga kini.
Dilandasi kecurigaan akan motif kedatangan Tanaka, mahasiswa dari segala elemen kemudian mulai bergerak. Dari kampus Universitas Indonesia dan Trisakti, ribuan mahasiswa berjalan kaki menuju Bandara Halim. Tujuan mereka untuk menolak kedatangan Tanaka.
Sasaran tuntutan tak hanya mengarah ke Tanaka. Namun, nama Presiden Soeharto untuk pertama kalinya digugat mahasiswa. Mereka mulai mempertanyakan kebijakan ekonomi Soeharto yang dianggap terlalu dikontrol modal asing. Tak hanya itu, mahasiswa pun mulai mengembuskan kecurigaannya akan praktik korupsi di pemerintahan Orde Baru. Untuk pertama kalinya, citra pemerintahan Soeharto ternoda.
Di antara barisan ribuan mahasiswa itu terdapat seorang aktivis bernama Hariman Siregar. Kepada Republika, Hariman kembali mengisahkan peristiwa demonstrasi yang berakhir jadi malapetaka pada 40 tahun lalu itu.

Hariman mengatakan, mahasiswa pada 1974 awalnya berharap Orde Baru mampu menjadi jawaban dari Orde Lama. Saat Orde Lama, ekonomi Indonesia masih diboikot oleh kepentingan kolonial Barat.
Namun, harapan untuk mengubah situasi Orde Lama itu tak mampu dijawab Orde Baru. Nyatanya, kata Hariman, pertumbuhan ekonomi pada Orde Baru justru diserahkan pada modal asing. Kekuatan barat dan Jepang pun mampu mengontrol ekonomi Indonesia yang sejatinya sudah merdeka.
“Jadi, Indonesia pada saat itu malah mengandalkan utang, bukan kekuatan dalam negeri,” kata Hariman penuh antusias. Tidak hanya utang, Indonesia pun harus rela bergantung pada produk Barat dan Jepang.
Wajah Hariman menerawang kembali persoalan yang pernah terjadi puluhan tahun silam. Pada 1974, mahasiwa sudah menyadari betapa tergantungnya Indonesia terhadap modal asing.

Pada akhirnya, Indonesia tak bisa mengelola kekayaannya sendiri. Kekuatan asing yang justru paling utama dalam mengontrol permodalan dan ekonomi di Indonesia. Di jalan-jalan, mobil Toyota asal Jepang dan Fiat dari Eropa hilir mudik. Di sektor kekayaan alam, perusahaan seperti Chevron sudah menancapkan kukunya di Sumatra.
Jadilah Indonesia tak ada ubahnya sepeti zaman penjajahan. Ekonomi masih belum bisa berdiri sendiri.
Kemaraham Hariman cs makin menjadi melihat gencarnya usaha lobi Barat pada awal 1970-an. Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk, pada akhir 1973 makin menguatkan kesan lobi asing itu. “Kami saat itu sudah beripikir bagaimana kondisi nanti kalau modal asing menguasai,” kata Hariman.
Menurutnya, jika asing sudah menguasai ekonomi, kedaulatan Indoenesia yang jadi bayarannya. Sebab, kuatnya lobi asing di ekonomi dinilai mereka akan mampu mengontrol politik dalam negeri.
Akhirnya, kemarahan mahasiswa memuncak pada 15 Januari 1974, bersamaan dengan kedatangan Tanaka. Mahasiswa dengan segala kemampuannya berunjuk rasa menentang kedatangan Tanaka dengan segala motif ekonominya.

Aksi mahasiwa yang berbondong maju ke Bandara Halim kemudian terhalang oleh aparat. Mahasiswa kemudian dipukul mundur ke arah Tanjung Priok. Saat itulah malapetaka tercipta. Malapetaka yang berujung kerusuhan massal.
Aksi represif aparat disambut dengan kemarahan mahasiswa. Akhirnya, kerusuhan pun pecah di Tanjung Priok dan menyebar luas ke pelosok Jakarta. Pusat perbelanjaan yang menyajikan produk asing jadi sasaran. Tak hanya itu, mobil-mobil Toyota, Fiat, dan merek lain jadi pelampiasan kemarahan. Akibatnya, beberapa nyawa aktivis melayang.
Kemarahan pada Orde Baru pun mulai menyebar sejak itu. Inilah tonggak awal peristiwa melapetaka pada 15 Januari 1974 atau yang dikenal dengan Malari.
Namun, lepas dari Malari, malapetaka sejatinya belum hilang dari Indonesia. Malapetaka modal asing itu tetap ada. Bahkan, hingga kini asing masih mendominasi sejumlah di sektor ekonomi. Bahkan, Jepang kini nyaris menguasai pangsa pasar elektronik dan otomotif Indonesia.

Relevansi Malari di zaman Baru
Mantan aktivis '98, Indra J Piliang, mengatakan, peristiwa Malari terjadi salah satunya terkait dengan permasalahan investasi asing, terutama modal dari Jepang. "Memang sentimen antimodal asing ini menjadi tema gerakan mahasiwa 70-an sampai 80-an," kata Indra yang juga sejarahwan tersebut.
Indra mengatakan, ada gerakan yang menentang adanya investasi asing masuk ke Indonesia. Khususnya dari negara kolonial. Reaksi itu bukan hanya terhadap Jepang, tetapi juga Belanda. "Dan itu dampaknya sampai sekarang," ujar dia.
Ia mencotohkan, bagaimana banyaknya barang impor masuk ke Indonesia, salah satunya kendaraan bermotor. "Apakah pilihan bangsa ini akan seperti itu terus ke depan. Dijajah impor ketimbang produk dalam negeri," kata dia.
Bukan hanya persoalan modal asing, menurut Indra, masalah yang diangkat gerakan mahasiswa pada 70-an mengenai kasus korupsi. Salah satunya masalah pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Saat itu, menurut dia, fokusnya lebih kepada birokrasi. Sehingga, ia mengatakan, dibentuk komisi antikorupsi.

Semangat pemberantasan korupsi itu, menurut Indra, bisa berlanjut hingga saat ini. Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu contohnya. Menurut dia, ada perjalanan panjang dalam gerakan untuk melawan kejahatan rasuah itu.
"Dalam kaitannya dengan Malari, apakah KPK mampu masuk ke masalah kapitalisme global," ujar dia.
Indra mengatakan, banyak sektor yang berkaitan dengan kontrak multinasional dan korporasi asing di Indonesia. Kekayaan Indonesia, menurut dia, menjadi pertaruhan. Selama ini, ia menilai KPK belum jauh masuk ke arah sana.
Menurut Fadli, semangat gerakan mahasiswa pada peristiwa Malari sebaiknya terus dijaga. Baik untuk masalah ekonomi ataupun antikorupsi.
Meskipun, menurut dia, belum tentu semua kritik yang dulu dikemukakan seluruhnya benar. Ia mencontohkan persoalan modal asing. Menurut dia, adanya kerja sama dengan perusahaan asing masih dapat dipertimbangkan. "Hal terpenting, mendapat manfaat sebesar-besarnya," ujar dia.
Politisi Partai Gerindra Fadli Zon menilai peristiwa Malari menunjukkan gerakan mahasiswa yang berani dalam melakukan koreksi. Apalagi gerakan itu terjadi saat pemerintahan Orde Baru dalam posisi kuat. "Di saat kuat, berani menyatakan pikiran, pendapat, dan perbedaan itu luar biasa," kata dia.
Rangkaian Peristiwa
Peristiwa Malari didahului sejumlah momentum signifikan. Berikut di antaranya.
31 Juli 1973
Pemerintah menyampaikan rancangan undang-undang (RUU) tentang perkawinan baru kepada DPR. RUU tersebut mencantumkan sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan syarat pernihakan menurut hukum Islam.
13 Agustus 1973
Digelar sebuah acara diskusi di Universitas Indonesia (UI) yang dihadiri sejumlah tokoh Orde Lama. Diskusi menghasilkan kesimpulan perlunya menggagas aksi untuk mengoreksi langkah pemerintah yang dinilai mulai melenceng.
17-18 September 1973
Ratusan mahasiswa mendatangi gedung DPR untuk memprotes RUU Perkawinan yang diusulkan pemerintah. RUU tersebut akhirnya diubah.
24 Oktober 1973
Tokoh pemuda angkatan 1928, 1945, dan 1966 menerbitkan "Petisi 24 Oktober". Petisi tersebut menyoroti strategi pembangunan yang dinilai keliru dan penyelewengan kekuasaan serta korupsi.
10 November 1973
- Aktivis mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi memperingati hari pahlawan dengan menelurkan ikrar untuk menggalang solidaritas.
- Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) JP Pronk mengunjungi Indonesia guna mengatur skema pemberian utang untuk Indonesia. Demonstrasi mahasiswa digelar di Jakarta dan Yogyakarta menyambut kedatangan tersebut.
30 November 1973
Sorotan terhadap masuknya modal asing ke Indoensia mengemuka dalam diskusi yang digelas di Balai Budaya Jakarta. Wacana penolakan terhadap modal asing terus mengemuka selepas itu.
31 Desember 1973
Dewan Mahasiswa UI memperingati malam renungan tahun baru. Seruan untuk mengubah keadaan makin kencang di kalangan mahasiswa.
12 Januari 1974
Ketua dewan mahasiswa dari berbagai universitas menemui Presiden Soeharto. Mereka menyampaikan tuntutan pemberantasan korupsi dan perbaikan ekonomi. Para perwakilan mahasiswa tak puas dengan hasil pertemuan dan merencanakan gerakan lebih besar pada 15 Januari.
14 Januari 1974
Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia. Mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa kecil-kecilan di Lanud Halim Perdanakusuma.
15 Januari 1974
- Ribuan mahasiwa melakukan longmarch dari Kampus UI di Salemba ke Universitas Trisakti.
- Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan PM Tanaka.
- Sementara mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa, terjadi kerusuhan dan pembakaran di pusat Kota Jakarta.
Sumber: Pusat Data Republika
Disadur dari Harian Republika edisi 16 Januari 2014
Rusuh Morowali dan Gelombang TKA
Kedatangan pekerja asing ke Indonesia belakangan terus meningkat.
SELENGKAPNYARivalitas Jenderal di Balik Malari
Asisten pribadi presiden dituding sebagai biang kerok konflik elite militer.
SELENGKAPNYAPluralisme Positif
Patokan saya, berterus terang itu lebih baik daripada sembunyi-sembunyi.
SELENGKAPNYA