Suasana peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. | Repro - 30 Tahun Indonesia Merdeka/Perpusnas

Kabar Utama

Rivalitas Jenderal di Balik Malari

Asisten pribadi presiden dituding sebagai biang kerok konflik elite militer.

OLEH SELAMAT GINTING

Selasa, 15 Januari 1974. Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) merangkap Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal Maraden Panggabean, Wakil Panglima ABRI merangkap Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Sumitro, Kepala Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo, dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Surono.

Itulah empat jenderal senior yang hadir dalam rapat di Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam), di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.

Mereka menghadiri rapat Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi) yang dipimpin oleh Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean dalam kedudukan sebagai ketua Wanjakti. Sedangkan, wakil ketua Wanjakti adalah Jenderal Soemitro.

Selama sidang Wanjakti berlangsung, Laksamana Sudomo bolak-balik menyampaikan memo kepada Jenderal Soemitro. Di antaranya, menyebutkan laporan Brigadir Jenderal Herman Sarens Sudiro bahwa keadaan semakin gawat. Hari itu, sejak pagi mahasiswa bergerak diikuti oleh pelajar dan massa lainnya. Pembakaran pun sudah mulai terjadi.

Namun, sidang Wanjakti terus berjalan. Laporan Laksamana Sudomo yang tampak sibuk dan sedikit gelisah pun masuk tak henti-hentinya. Brigadir Jenderal Herman Sarens melaporkan lagi pembakaran di depan Kedutaan Besar Jepang, perampokan di Glodok, dan rusuh terjadi di Senen.

photo
Menko Polkam Laksamana (Purn) Sudomo di Jakarta 22 Maret 1993. - (Republika/Bakhtiar Phada)

Mendapatkan laporan seperti itu, Jenderal Soemitro minta izin keluar ruangan kepada Jenderal Panggabean, tetapi Panggabean menahannya.

“Saya jadi duduk lagi, yang tadinya akan bangkit,” tutur Soemitro. “Lalu, saya bergerak lagi akan bangkit, akan meninggalkan sidang itu. Eh, Panggabean menahan lagi.”

Belakangan, menurut Soemitro, bila dipikir sepertinya ada keanehan. Betul-betul satu rapat yang, menurut logika, salah waktu dan salah posisi. “Panggabean berkali-kali menahan setiap kali saya akan meninggalkan ruangan itu.”

Dengan demikian, ada analisis terjadi rivalitas tingkat tinggi dalam tubuh militer pada saat itu. Dalam buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas 2004), disebutkan, ada kekhawatiran jika Soemitro turun ke lapangan segera, ia akan mempergunakan momentum sebagaimana skenario-skenario menurut beberapa laporan intelijen.

Atau, justru kehadiran Soemitro di jalanan akan bisa meredakan dan mengendalikan situasi. Atau memang, ada yang menginginkan terciptanya suatu situasi tertentu?

Saat itu, tercium aroma polarisasi pertarungan antara para jenderal Mabes (Markas Besar) ABRI dengan para jenderal non-Mabes. Para Jenderal non-Mabes, terutama adalah para Aspri (asisten pribadi) Presiden yang mempunyai kekuatan ‘melebihi’ menteri kabinet.

Ada empat orang Aspri Presiden Soeharto, yakni Mayor Jenderal Ali Moertopo (urusan operasi khusus/ intelijen), Mayor Jenderal Sudjono Hoemardhani (urusan perekonomian), Letnan Jenderal Suryo Wiryohadipuro (urusan keuangan), dan Mayor Jenderal Tjokropranolo (urusan pengamanan presiden).

Dari empat Aspri tersebut, yang sering dipersoalkan adalah Ali Moertopo, Sudjono Humardani, dan Suryo. Ketiganya adalah orang dekat Presiden Soeharto saat menjadi panglima Divisi Diponegoro.

photo
Ali Moertopo (kiri) dan Jenderal Soemitro (kanan), pada 1974. - (Repro Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Per)

Kecerdikan Aspri presiden itu menjadikan mereka sebagai anggota lingkungan kepresidenan yang paling dipercaya. Walau tidak menduduki jabatan-jabatan resmi dalam pemerintahan dan kemiliteran, mereka mempunyai pengaruh yang besar terhadap pengangkatan-pengangkatan dan kebijaksanaan politik, baik dalam bidang pemerintahan maupun militer. Kelebihan-kelebihan yang ada pada kelompok Aspri ini ditentang sejumlah jenderal aktif.

Jenderal Panggabean memiliki hubungan cukup erat dengan kelompok Aspri. Sedangkan Jenderal Soemitro, sebaliknya. Soemitro kemudian diminta para jenderal aktif menjadi ‘juru bicara’ dari kalangan militer profesional. Sebagai Wakil Panglima ABRI dan selaku Panglima Kopkamtib, Soemitro mempunyai kekuasaan resmi yang luas dan hubungannya yang teratur dengan panglima-panglima daerah yang bertindak sebagai pelaksana khusus Kopkamtib Daerah mereka masing-masing.

Meskipun kelompok Aspri menikmati hubungan yang akrab dengan presiden, Presiden Soeharto juga sangat hati-hati supaya tidak menguntungkan kelompok tersebut sehingga membuat marah jenderal profesional. Soeharto membuat suatu keseimbangan yang dipelihara dengan memberikan harapan-harapan tertentu.

Namun di sisi lain, juga terjadi rivalitas para jenderal di Mabes, yakni Jenderal Panggabean, Jenderal Soemitro, Letnan Jenderal Sutopo Juwono (Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara/Bakin) dan Jenderal Amir Mahmud yang juga Menteri Dalam Negeri. Mereka termasuk ke dalam kelompok Mabes.

Para jenderal kelompok Mabes memiliki satu mekanisme pertemuan teratur, semacam Dewan Jenderal, meskipun tidak dibakukan formal. Namun, di kelompok Mabes ini tercipta juga faksi-faksi yang satu sama lain kerap menunjukkan perbedaan meski pada dasarnya segaris. Yang paling kencang antara Panggabean dan Soemitro.

 
Rivalitas internal kekuasaan itu tampak lebih mengerucut pada 1973.
 
 

Rivalitas internal kekuasaan itu tampak lebih mengerucut pada 1973. Bersamaan dengan peningkatan radikalisasi mahasiswa Jakarta dan meningkatnya gerakan kritis mahasiswa Bandung dan berbagai kota perguruan tinggi lainnya, pada 1973 hingga menjelang awal 1974 temperatur pertarungan di tubuh kekuasaan di lapisan persis di bawah Jenderal Soeharto juga meningkat.

Dalam konteks ini, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro menjadi fokus utama perhatian karena dalam rumor politik yang gencar, ia ‘dituduh’ berambisi menjadi presiden Indonesia berikutnya menggantikan Soeharto.

Namun sebenarnya, Soemitro tak sendirian dalam medan analisis kepemilikan ambisi seperti itu. Ada Mayor Jenderal Ali Moertopo dan Gubernur DKI Jakarta Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin, juga disebut-sebut sebagai pihak yang berambisi menjadi presiden.

Maka pada 14 Januari 1974, kekangan-kekangan yang biasanya diterapkan oleh Kopkamtib telah dikendurkan lagi. Para mahasiswa berdemonstrasi ke kantor Ali Murtopo dan membakar boneka-boneka Perdana Menteri Jepang Tanaka.

Pada pagi hari setelah kedatangan Tanaka, ribuan mahasiswa berbaris di jalan-jalan di tengah kota dan surat-surat selebaran dibagi-bagikan kepada masyarakat yang berisi tuntutan untuk membubarkan Aspri Presiden, penurunan harga, dan pemberantasan korupsi.

Selebaran itu diberi judul “TRITURA 74”, tiga tuntutan rakyat 1974, selebaran tersebut menggunakan kembali semboyan “Tritura” yang menjadi tema demonstrasi-demonstrasi mahasiswa terhadap Presiden Soekarno pada 1966.

photo
Suasana peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. - (Perpusnas)

Pada sore harinya, demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berubah menjadi huru-hara yang tidak bisa dikendalikan lagi. Sebagian terbesar yang ikut serta adalah pemuda dan anak-anak dari daerah perkampungan Jakarta yang membakar mobil-mobil Jepang, menghancurkan toko pajangan “Astra Motor”, menyerang perusahaan/pabrik Coca Cola, dan pada hari berikutnya membakar dan merampok pusat pertokoan Pasar Senen.

Konflik Jenderal

Tak usah heran jika sejumlah pihak menilai peristiwa yang dikenal sebagai ‘Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974’ itu sebenarnya buntut perseteruan dua tokoh militer. Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro dan Aspri Presiden/Kepala Opsus Mayor Jenderal Ali Moertopo.

Rapat Wanjakti di Jalan Merdeka Barat menyiratkan persaingan itu. Panggabean dekat dengan Ali Moertopo, sementara Soemitro mencurigai Ali Moertopo berada di belakang aksi unjuk rasa liar, di luar mahasiswa. Di luar itu, masih ada Gubernur DKI Jakarta Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin yang juga memiliki pemikiran berbeda.

Saat meletusnya peristiwa Malari, Ali Sadikin berada di kampus. Panglima ABRI Jenderal M Panggabean berada di Senen untuk memantau kerusuhan. Semuanya tanpa koordinasi.

"Yang ke Senen pahlawan kesiangan," ungkap Soemitro melampiaskan kekesalannya pada atasannya itu. Sementara, pihak lain menuding Ali Sadikin mencari popularitas di kalangan mahasiswa.

photo
Gubernur DKI Ali Sadikin menerima 8 orang ex tahanan Malari sebagai warga Jakarta, bertempat di ruang kerjanya pada 7 Nopember 1975. - (Perpusnas)

Setelah kerusuhan, Laksamana Sudomo menghadap Soemitro. Ia minta mengundurkan diri karena merasa bertanggung jawab atas kerusuhan yang membakar Jakarta. Apalagi, Sudomo sebelumnya diserahi tanggung jawab mengamankan Jakarta Raya dari unjuk rasa yang sudah diprediksi tersebut. Akan tetapi, permohonan Sudomo ditolak Soemitro. Dia memilih memikul tanggung jawab sebagai pimpinan.

"Memang Pak Domo saya serahi tugas mengenai Jakarta Raya sebagai latihan. Tapi, mengenai peristiwa di Jakarta Raya sebagai ibu kota negara, apapun yang terjadi, adalah tanggung jawab saya. Ini bukan tanggung jawab Pak Domo. Pangkopkamtib hanya satu, yaitu saya," ujar Soemitro dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH.

Dugaan bahwa Ali Moertopo berada di belakang kerusuhan massa untuk mendiskreditkan Soemitro dituangkan dalam tulisan “Pojok” dalam Indonesia Raya, 16 Januari 1974 dan 18 Januari 1974. Indonesia Raya adalah salah satu dari enam surat kabar harian di Jakarta yang ditindak penguasa semenjak terjadinya huru-hara tersebut.

Dalam kelanjutan pertarungan setelah huru-hara, Soemitro dengan segera dicopot dari jabatannya sebagai Panglima Kopkamtib. Ia menolak menjadi duta besar di Washington. Sedangkan, Letnan Jenderal Sutopo Juwono yang juga berseteru dengan Ali Moertopo, digeser sebagai duta besar di Nederland. Sebagai Kepala Bakin, Sutopo merasa bahwa kehadiran deputi III (penggalangan) Bakin Ali Moertopo sering berjalan sendiri tanpa koordinasi dengannya.

Jabatan Sumitro sebagai Wakil Panglima ABRI diserahkan kepada Jenderal Surono. Dan, jabatan panglima Kopkamtib kembali diambil alih Presiden Soeharto. Padahal, sejak 1969 jabatan itu diserahkan Soeharto kepada Panggabean. Namun setelah peristiwa Malari 1974, dalam pengendaliannya diserahkan kepada Sudomo selaku Wakil Panglima Kopkamtib.

Selanjutnya, Presiden Soeharto juga menarik Konsul Jenderal di Korea Selatan Brigjen LB Moerdani sebagai Komandan Satgas Intel Kopkamtib. Kemudian, mempromosikannya menjadi Mayor Jenderal menggantikan Mayor Jenderal Kharis Suhud sebagai asisten intelijen Hankam.

Sebagai Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan Letnan Jenderal Yoga Sugama. Yoga sebelumnya bertugas di Amerika Serikat sebagai wakil kepala Perwakilan RI di PBB, New York.

Deputi KSAD Letnan Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo yang juga menjadi korban intrik Ali Moertopo dicopot. Ia digantikan Letnan Jenderal Wahono. Sayidiman mengakui, pernah bertemu Sutopo dan mengingatkannya. “Kamu didatangi Ali Moertopo, ya! Dan, ia minta bantuan. Hati-hati, sebab para senior akan marah kalau tahu kamu mendukung kehendak Ali.”

Sayidiman menjawab, “Saya kan bukan orang gila atau bodoh!” Sayidiman tak menggubris permintaan Ali.

Namun ketika peristiwa Malari pada 1974, Presiden Soeharto berubah sikap dan Sayidiman tahu Ali Moertopo yang ‘membisiki’ tersebut. Jenderal-jenderal yang dicopot itu dikelompokkan sebagai kelompok Soemitro.

Disadur dari Harian Republika edisi 21 Januari 2013.

Rusuh Morowali dan Gelombang TKA

Kedatangan pekerja asing ke Indonesia belakangan terus meningkat.

SELENGKAPNYA

Malapetaka Belum Usai

Yang disuarakan mahasiswa pada 15 Januari 1974 dinilai masih relevan hingga saat ini.

SELENGKAPNYA

Dua Dekade Tenggelam, Kini Titanic Berlayar Lagi

Titanic membangkitkan berbagai cerita nostalgia yang penuh warna.

SELENGKAPNYA