Jamaah haji menjaga jarak saat melaksanakan tawaf di Masjidil Haram, 2020. | Reuters

Sastra

Nek Usang Ingin Naik Haji 

CERPEN AL ARUDI

 OLEH AL ARUDI

Nek Usang, wanita tua yang sudah berumur sembilan puluh lima tahun itu menatap gambar Ka'bah yang terpampang di dinding kamarnya dengan tatapannya yang sudah lamur. Kelopak matanya sudah berkedut karena sudah sangat lama digunakan untuk menatap segala segi kehidupan dunia.

Dia ingin berada di tengah-tengah orang yang sedang mengelilingi Ka'bah seperti yang ada dalam gambar di dinding kamarnya itu. Sedari muda dia sudah menggantungkan cita-citanya bisa mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali, seperti yang diceritakan oleh-temannya di pengajian ibu-ibu. Dalam hati dia merasa cemburu juga karena teman- teman pengajian yang lebih muda darinya ada yang sudah pergi haji. 

Di usianya yang sudah mendekati satu abad dengan kulit sudah mengendur, Nek usang masih bergairah dan penuh semangat menjalani hidup. Boleh dikatakan tidak kalah semangatnya dengan wanita berumur lima puluh tahun.

Nek Usang masih masak dan mencuci serta membersihkan rumah sendiri. Dari segi tenaga memang bisa dikatakan Nek usang masih sanggup melakukan tawaf, sa'i, melempar jumrah dan ibadah-ibadah lain yang ada dalam rukun maupun sunah ibadah haji. 

Sebenarnya Nek Usang memiliki lima orang anak yang boleh dikatakan berkecukupan. Anak-anaknya juga tidak pernah berniat membiarkan ibunya hidup sendirian di rumah tua peninggalan suaminya. Mereka tetap kerap kali mengunjungi ibunya paling tidak seminggu dua kali. Mereka juga memberikan no HP kepada tetangga terdekat Nek Usang, supaya jika terjadi sesuatu terhadap Nek Usang tetangga bisa menghubungi mereka. 

 
Di usianya yang sudah mendekati satu abad dengan kulit sudah mengendur, Nek usang masih bergairah dan penuh semangat menjalani hidup.
 
 

Anak-anaknya sudah mengajak Nek Usang untuk tinggal dengan mereka dan menjual rumah peninggalan suaminya agar uang hasil penjualannya  bisa dipakai untuk menunaikan ibadah haji. Namun Nek Usang bersikukuh dengan pendiriannya yang sudah tertempa sejak zaman penjajahan Belanda.

Dia merasa tenaga dan pikirannya masih kuat, sehingga dia memutuskan tetap tinggal di rumah peninggalan suaminya hingga ajal menjemput. Di samping itu Nek Usang tidak mau merepotkan anak-anaknya. 

Hingga saat ini keinginan Nek Usang untuk naik haji hanya masih dalam angan-angan yang tak kunjung terwujud. Siang malam dia hanya menengadahkan tangan untuk berdoa agar Tuhan memberikan keajaiban kepadanya untuk naik haji, tanpa menjual rumah tuanya.

Dia yakin Tuhan akan melancarkan niatnya yang sudah tertanam sejak muda untuk melakukan ibadah haji. Yang dia tahu hanyalah berdoa, karena jika mengandalkan pensiun mendiang suaminya tidaklah mungkin cukup untuk naik haji.

Dengan segenap pikiran dan hatinya dia kuatkan untuk meyakini bahwa suatu saat Allah akan mengabulkan niatnya menjalankan rukun Islam yang kelima. Setiap kali sehabis menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur pandangannya selalu diarahkan ke gambar Ka'bah dan orang-orang sedang tawaf ---yang terpajang di dinding kamar--- diselimuti cahaya lampu yang tidak terlalu terang.

Mulutnya yang keriput komat-kamit merapal doa yang dia peroleh dari pengajian, doa yang dibaca untuk orang yang bercita-cita untuk naik haji. Doa itu terus dibacanya berulang-ulang hingga matanya terpejam dan irama  napasnya serta dengkurannya memenuhi kamar. 

***

Malam ini anak sulung Nek Usang bernama Susilawati mengumpulkan adik-adiknya di rumah ibu mereka. Nek Usang juga tentunya hadir dan duduk tidak jauh dari anak-anaknya. Susilawati ingin mengabarkan hal yang penting untuk adik-adiknya.

Sudah sejak delapan tahun yang lalu Susilawati mendaftar untuk naik haji, namun di tahun ini dia baru mendapat giliran untuk mewujudkannya. Namun ada hal lain yang harus disampaikannya juga berkenaan dengan keinginan Nek Usang untuk naik haji. 

Di hadapan adik-adiknya yang sudah hadir dan duduk di kursi  mengelilingi meja yang terletak di ruang tengah rumah Nek Usang, diterangi cahaya lampu neon,  Susilawati berkata, "Tahun ini aku sudah mendapat giliran untuk naik haji dari Kementerian Agama. Aku juga mendapat khabar dari seorang teman yang bekerja pada bidang urusan haji di instansi itu. Tahun ini orang yang sudah lanjut usia seperti ibu kita diprioritaskan untuk naik haji, dengan biaya yang masih terjangkau, tanpa harus mengantri. Berdasarkan info teman saya itu, maka aku berniat mengajak ibu kita untuk berangkat haji bersamaku tahun ini. Malam ini aku ingin mendengar pendapat Adik-Adikku semua. Bagaimana pendapat kalian?"

 
Hingga saat ini keinginan Nek Usang untuk naik haji hanya masih dalam angan-angan yang tak kunjung terwujud.
 
 

"Saya setuju, asal Kakak bisa menjaga ibu dengan baik di sana nanti," kata Anti, anak yang nomor dua 

"Saya juga setuju, saya akan  dukung semua yang ibu kita cita-citakan dan membuatnya merasa senang dan bahagia!" sahut Sofi, anak yang nomor tiga dengan semangat 

"Saya kurang setuju, karena ibu kita usianya sudah terlalu tua. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan ibu. Di sana cuacanya panas lho, Kak! Apa Kakak sanggup menjaga ibu di sana nanti? Jawab Indah anak nomor empat dengan raut wajah menunjukkan kekhawatiran. 

"Ya, betul..., saya sependapat dengan Kak Indah," tambah Winwin anak yang paling bungsu. Melaksanakan ibadah haji itu butuh fisik yang kuat lho, Kak. Tawaf mengelilingi  Ka'bah itu cukup berat buat wanita seusia ibu. Kakak perlu. nyiapin kursi roda juga, buat persiapan jika terjadi apa-apa dengan ibu nantinya."

"Baiklah adik-adikku. Dari pertemuan kita malam ini dapat aku tarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya kalian semua setuju ibu pergi haji bersamaku tahun ini, asal aku bisa menjaga ibu dengan baik. Kalian tidak perlu khawatir, aku akan menjaga ibu lebih daripada menjaga diriku sendiri. Semua yang dibutuhkan ibu di sana nanti akan menjadi tanggung jawabku!" kata Susilawati, anak tertua, dengan dengan tegas serta menunjukkan sikap  dan raut wajah penuh wibawa

"Iya.... Aku masih kuat, aku mau ikut,! TIba-tiba Nek usang yang dari tadi hanya diam sambil memperhatikan raut wajah anak-anaknya, menyahut.

"Aku mau naik haji," lanjutnya sambil mengarahkan pandangannya kepada anaknya yang nomor empat dan yang bungsu dengan harapan kedua anak itu setuju dia berangkat ke haji tahun ini. 

 
Aku mau naik haji.
 
 

Nek Usang memang tidak terlalu banyak bicara dalam segala hal. Dia menyadari di usianya yang sudah renta ini, jika banyak bicara dia khawatir akan membawa ke sesuatu yang kurang baik, dan akan merusak pahala ibadah haji yang dia cita-citakan. 

"Baiklah...jadi pertemuan kita malam ini aku tutup. Pesanku mari kita turuti keinginan ibu selama dia masih hidup, selama kita masih menyanggupinya. Inilah saatnya untuk menunjukkan bakti kita kepada orang tua. Semoga apa yang kita lakukan akan mendapat  balasan oleh Yang Maha Kuasa di kemudian hari, terima kasih....," kata Susilawati mengakhiri pertemuan mereka. 

Mendengar ucapan kakak tertua serta keseriusan Nek Usang, akhirnya anak nomor empat dan bungsu--yang tadi tidak setuju--hanya manggut-manggut dan ikut menyetujui juga. Setelah mereka pikir, memang ada benarnya ucapan dan nasehat kakak tertua mereka, saat mengakhiri pertemuan. Mumpung orang tua masih hiduplah kita turuti keinginannya agar tidak jadi sesal ketika beliau sudah tiada. 

***

Setelah anak-anaknya pulang dari rumah  Nek Usang pada malam itu, Nek Usang merasakan pelupuk matanya sudah berat untuk berkedip pertanda kantuk sudah menyerang. Dia ke kamar mandi sebentar untuk membasahi anggota tubuhnya dengan air wudhu, kemudian menuju kamarnya dan menghempaskan tubuhnya perlahan-lahan di atas kasur.

Sesaat masih sempat matanya melihat gambar Ka'bah di dinding kamar dan mulutnya mengucap doa, kemudian matanya terpejam diiringi hembusan nafas dari mulutnya yang sudah nampak keriput. 

Dalam tidurnya Nek Usang bermimpi berada di antara keramaian orang-orang yang mengenakan pakaian ihram berwarna putih bersih. Nek Usang mencium bau harum dan mendengar gemuruh nya suara zikir yang dilantunkan dari mulut orang-orang itu.

Mereka itu berputar mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali yang dimulai dari batu Hajarul Aswad, sedang posisi Ka'bah berada di sebelah kiri. Nek usang merasa dirinya melakukan juga seperti yang dilakukan oleh orang-orang itu. Dia melakukannya dengan penuh semangat. 

 
Dalam tidurnya Nek Usang bermimpi berada di antara keramaian orang-orang yang mengenakan pakaian ihram berwarna putih bersih.
 
 

Setelah itu Nek Usang merasakan juga dirinya dan orang-orang yang berasal dari segala penjuru dunia itu menuju ke sebuah bukit yang bernama bukit Safa. Kemudian Nek Usang dan Orang-Orang itu turun dan berjalan menuju ke bukit lain yang bernama Marwa. Gemuruh suara zikir bergema masuk ke telinga Nek Usang.

Pemandangan di sekitar dipenuhi oleh lautan manusia yang serba putih. Tapi walau mentari seperti tidak jauh  dari kepala, tapi Nek Usang tidak sedikit pun merasakan tubuhnya diselimuti hawa panas. Nek Usang dan orang-orang itu berjalan bolak Balik dari Bukit Safa ke Bukit Marwa sebanyak tujuh kali.

Mereka melakukannya dengan hati yang khusuk dan tawakal kepada Allah. Tidak ada jurang pembatas antara yang kaya dan miskin serta tak ada tembok pembatas antara yang berpangkat dan rakyat jelata. Semua yang melekat di tubuh mereka sama, yaitu pakaian berwarna putih. 

Usai bolak balik berjalan kaki dari Bukit Sofa ke Marwa sebanyak tujuh kali, Nek usang merasa didatangi dua makhluk bersayap dengan tubuh seperti manusia biasa. Namun cahaya wajahnya menyejukkan hati Nek Usang serta harum baunya seperti tujuh kali harumnya minyak kasturi. Kelembutan senyumnya melebihi lembutnya serat sutera yang ada di dunia. Kedua makhluk itu memotong tiga lembar rambut Nek Usang.

Nek Usang merasakan juga kelembutan tangan kedua makhluk itu saat membawa Nek Usang ke pintu langit yang sebelumnya tak pernah dilihat oleh Nek Usang, baik dalam khayalan apalagi kenyataan.

Setelah tiba di pintu langit, Nek Usang tertidur selamanya dengan tenang dan tak pernah berbincang lagi dengan anak-anak dan teman-temannya di pengajian selama di dunia yang fana. 

Al Arudi tinggal di Pangkalpinag, Bangka Belitung

Mulanya Paganisme Pra-Islam

Sebagian kaum Arab di Makkah pra-Islam meninggalkan tauhid yang diajarkan Nabi Ibrahim.

SELENGKAPNYA

Mengenang Raja Kertanegara di Candi Singosari

Kertanegara dikenal sebagai raja yang menetapkan sistem persatuan Nusantara.

SELENGKAPNYA