Salah satu peralatan yang digunakan penambang pasir tradisional di Sungai Boyong, Purwobinangun, Yogyakarta, Jumat (13/1/2023). Warga Purwobinangun tetap bertahan menambang pasir dengan cara tradisional atau tanpa alat berat. | Republika/Wihdan Hidayat
Truk mengisi muatan pasir di Sungai Boyong, Purwobinangun, Yogyakarta, Jumat (13/1/2023). Warga Purwobinangun tetap bertahan menambang pasir dengan cara tradisional atau tanpa alat berat. | Republika/Wihdan Hidayat
Penambang pasir tradisional di Sungai Boyong, Purwobinangun, Yogyakarta, Jumat (13/1/2023). Warga Purwobinangun tetap bertahan menambang pasir dengan cara tradisional atau tanpa alat berat. | Republika/Wihdan Hidayat
Lokasi penambangan pasir tradisional di Sungai Boyong, Purwobinangun, Yogyakarta, Jumat (13/1/2023). Warga Purwobinangun tetap bertahan menambang pasir dengan cara tradisional atau tanpa alat berat. | Republika/Wihdan Hidayat
Truk mengangkut pasir di Sungai Boyong, Purwobinangun, Yogyakarta, Jumat (13/1/2023). Warga Purwobinangun tetap bertahan menambang pasir dengan cara tradisional atau tanpa alat berat. | Republika/Wihdan Hidayat

Peristiwa

Penambang Pasir Tradisional di Kaki Gunung Merapi

Warga menghindari penggunaan alat berat untuk melindungi sumber air dari kekeringan.

YOGYAKARTA -- Penambang pasir tradisional di Sungai Boyong, Purwobinangun, Yogyakarta, Jumat (13/1/2023). Warga Purwobinangun tetap bertahan dengan cara tradisional atau tanpa alat berat dalam melakukan aktivitas menambang pasir.

Alasan warga menolak atau melarang penggunaan alat berat untuk melindungi sumber air dan menghindari kekeringan. Untuk harga pasir, warga menjual di kisaran Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu tergantung muatan truk. ';