
Nasional
Presiden Akui Ada Pelanggaran HAM, PBNU Singgung 1948
Peristiwa 1948 merupakan pemberontakan PKI yang terjadi di Madiun.
JAKARTA – Pengakuan negara atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi pada masa lalu dinilai sebuah langkah positif. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerima dan mengapresiasi langkah pemerintah dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang telah bekerja untuk menuntaskan masalah pelanggaran HAM berat dari jalur nonyudisial.
“Tragedi dan luka masa lalu itu memang berat. Warga Nahdlatul Ulama (NU) turut menjadi korban pada tahun 1948 saat para kiai dibunuh di Madiun dan berlanjut pada kasus PKI tahun 1965, juga isu dukun santet di Banyuwangi,” kata Ketua PBNU KH Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur kepada Republika, Rabu (11/1).
Peristiwa 1948 merupakan pemberontakan PKI yang terjadi di Madiun. Menurut Gus Fahrur, banyak luka lama yang telah terjadi. Ia berharap tak ada lagi polemik yang bisa membuka luka lama. Semua persoalan itu harus diselesaikan dengan baik agar tidak mengoyak persatuan dan integritas bangsa yang telah tercipta saat ini.

Presiden Jokowi selaku kepala negara mengakui telah terjadi kasus pelanggaran HAM berat dalam berbagai peristiwa di Indonesia. Terdapat 12 kasus yang diakui sebagai pelanggaran HAM berat, salah satunya peristiwa berdarah pada 1965. Atas nama negara, Presiden Jokowi berjanji memulihkan hak para korban.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Jokowi, Rabu (11/1).
Pengakuan dan permintaan maaf ini dilakukan setelah adanya laporan dari Tim PPHAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Jokowi pun memberikan simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban.
“Oleh karena itu, yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” ujar mantan wali kota Solo.

Dia memastikan pemerintah akan sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM berat tidak kembali terjadi di Indonesia pada masa mendatang. Ia pun meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar hal-hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.
“Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Jokowi.
Selain peristiwa pada 1965-1966, 11 peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya adalah penembakan misterius 1982-1985, Talangsari Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999.
Selain itu, ada pula peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, Simpang KKA Aceh 1999, Wasior Papua 2001-2002, Wamena Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003. “Dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat,” ujar Jokowi.
Pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat yang terjadi juga diapresiasi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom mengatakan, pengakuan tersebut sebuah langkah maju, bahkan lompatan besar pada proses penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia yang selama puluhan tahun beberapa hal cenderung ditutupi, bahkan disangkal adanya.
“Saya menghargai pengakuan dan penyesalan presiden. Meski tidak disertai permohonan maaf, hal ini menurut saya sudah sangat maju. Sesungguhnya dengan penyesalan itu, implisit di dalamnya sudah terkandung permohonan maaf,” kata Pendeta Gomar.
Pendeta Gomar juga mengapresiasi penegasan Presiden Jokowi bahwa penyelesaian non-yudisial ini tidak menegasikan penyelesaian secara hukum. Pengakuan ini bisa menjadi pintu masuk untuk proses hukum selanjutnya. Kini menjadi tugas seluruh elemen bangsa yang berkehendak baik untuk mengawal proses ini dengan kebih sungguh-sungguh.
Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa.JOKO WIDODO, Presiden RI
“Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan penghargaan kepada Tim PPHAM bentukan presiden yang bekerja cepat dalam perumusan masalah yang cukup pelik ini, sehingga presiden bisa tiba pada pengakuan di atas pada waktunya,” ujarnya.
Sebagai tindak lanjut pernyataan ini, Pendeta Gomar mengusulkan dua hal. Pertama, perlunya penghapusan segera berbagai bentuk memorial maupun materi sejarah yang ada selama ini, yang bisa dinilai sebagai pembelokan sejarah dan pengaburan fakta pelanggaran HAM yang terjadi.
Kedua, perlunya memorialisasi atas pelanggaran HAM berat tersebut dalam bentuk statuta sebagai peringatan kepada generasi berikut agar tidak terulang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Menghitung Mahalnya Perang Cina-Taiwan
Perang Cina-Taiwan akan menimbulkan penderitaan tak terperi.
SELENGKAPNYAKhalifah Pun Menjadi Kuli Panggul
Dia juga rajin menguping langsung dari rakyat dan menyaksikan praktik langsung kebijakannya di lapangan.
SELENGKAPNYA