
Tuntunan
Film Porno demi Pendidikan Seks, Apa Kata Quraish Shihab?
Adapun soal menonton film biru dan semacamnya dengan dalih pendidikan seks dinilai sangat dibuat-buat.
Konten bermuatan pornografi masih mudah ditemukan, terlebih pada media digital. Tak hanya itu, banyak pasangan muda yang mengonsumsi konten tersebut dengan dalih demi pendidikan seks. Lantas, bagaimana hukumnya menonton film porno demi tujuan literasi seksual?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis Tafsir Al Misbah Prof Quraish Shihab menjelaskan, hubungan seks dalam ajaran Islam sangat suci. Dalam surah Yasin, ketika Allah menjelaskan keberpasangan makhluk-Nya, dimulai-Nya penjelasan itu dengan kata "Mahasuci". "Mahasuci Allah yang menciptakan pasangan-pasangan seluruhnya, dari jenis yang tumbuh di bumi, dari jenis mereka (manusia) maupun dari makhluk-makhluk yang mereka tidak ketahui." (QS Yasin [36]: 36).
Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa hubungan suami istri merupakan ibadah dan mereka memperoleh ganjaran dari Allah SWT bila melakukannya sesuai petunjuk agama. Dari sini, Islam memberi tuntunan agar hubungan tersebut dilakukan dengan baik, dimulai dengan berdoa kepada Allah SWT agar dihindarkan dari setan dan semoga menghasilkan anak keturunan yang saleh.
Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa hubungan suami istri merupakan ibadah dan mereka memperoleh ganjaran dari Allah SWT.QURAISH SHIHAB
Nabi Muhammad juga menggarisbawahi bahwa hubungan tersebut selayaknya tidak dilakukan dalam keadaan telanjang bulat seperti binatang. Rasul bersabda, "Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan pasangannya, maka hendaklah dia menutup (auratnya) dan tidak telanjang sebagaimana keledai telanjang (HR Ibnu Majah)."
"Hindarilah telanjang karena bersama kalian ada (malaikat) yang tidak meninggalkan kalian kecuali ketika buang air dan ketika seseorang bercampur dengan istrinya." (HR Attirmizi).
Aisyah istri Nabi SAW menyatakan, "Saya tidak pernah melihat dari beliau (auratnya). Beliau pun tidak pernah melihat dari saya."
Di sini dapat timbul pertanyaan, apakah sabda tersebut dan semacamnya merupakan anjuran hingga tak berdosa ketika melanggarnya atau perintah sehingga haram untuk melakukannya?
Dalam kitab-kitab hukum Islam, seperti Alfiqh 'Alal Mazahib al-Arba'ah, dijelaskan bahwa "berbeda-beda definisi perkawinan dalam pandangan ulama mazhab, tapi kesemuanya dapat dikembalikan kepada satu makna, yaitu bahwa akad pernikahan ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya agar suami memiliki hak untuk memanfaatkan alat kelamin istri dan seluruh badannya dalam rangka memperoleh kelezatan.
Wahbah Azzuhaily menjelaskan bahwa akad perkawinan adalah "Akad yang mengandung kebolehan menikmati wanita dengan jalan bersetubuh, hubungan seks, ciuman, dan lain-lain, dengan syarat bahwa wanita itu bukan mahram bagi pria tersebut, baik karena keturunan, persusuan, maupun periparan."

Akad ini ditetapkan oleh agama hingga menghasilkan kepemilikan suami untuk meraih kenikmatan melalui istri dan kehalalan istri meraih kenikmatan dari suami. Yang perlu digarisbawahi dalam konteks pertanyaan di atas adalah kalimat: memanfaatkan alat kelamin istri dan seluruh badannya dalam rangka memperoleh kelezatan serta kebolehan menikmati wanita dengan jalan bersetubuh, hubungan seks, ciuman, dan lain-lain.
Ini berarti bahwa cara apa pun yang digunakan oleh suami atau istri dalam rangka hubungan seks dapat dibenarkan dari segi hukum, tapi tidak dari segi moral dan anjuran agama.
Namun demikian, perlu juga diingat bahwa Alquran menegaskan bahwa "... istri-istri kamu adalah ladang/tempat bercocok tanam untuk kamu, maka datangilah ladangmu bagaimana/kapan/di mana pun kamu sukai." (QS al-Baqarah [2]: 223).
Ayat itu mengisyaratkan bahwa hubungan seks harus dilakukan pada atau menuju ke jalan yang mengantar kepada kelahiran anak, bukan pada "jalan" selainnya. Sedangkan, kata ladang atau tempat bercocok tanam pada ayat di atas mengecualikan kata di mana pun "yang tersebut di atas".
Surah al-Baqarah ayat 222 yang mengandung larangan bercampur dengan istri pada masa haidnya, mengecualikan kepada "kapan" di atas. Adapun soal menonton film biru dan semacamnya dengan dalih pendidikan seks dinilai sangat dibuat-buat.
Kalaupun itu benar, maka ia tetap haram, lebih-lebih bagi muda-mudi karena mudharat yang diakibatkan berupa rangsangan yang dapat mengantarkan kepada perbuatan haram jauh lebih besar dari "manfaat" yang disebutkan itu.
Memang boleh jadi ada yang membenarkan menontonnya dengan alasan bahwa yang ditonton hanya film yang berupa bayangan, bukan kejadian sebenarnya. Tapi, sekali lagi, ini adalah alasan yang sangat lemah karena ketetapan hukum Islam harus dikaitkan pula dengan dampak-dampaknya, yang tontonan tersebut dampak negatifnya tidak dapat disangsikan lagi.
Boleh jadi ada juga yang dapat menoleransinya dalam batas tertentu bagi pasangan suami istri yang tidak dapat melakukan hubungan seks kecuali dengan rangsangan tersebut. Namun, agaknya alasan itu pun masih belum sepenuhnya dapat diterima oleh banyak ulama. Demikian.
Wa Allah A'lam.
Disadur dari Harian Republika Edisi Jumat 27 Agustus 2004
Sejarah Al-Aqsha dan Intifada
Yang terjadi pada 28 September 2000 itu terbilang mirip dengan yang terjadi belakangan.
SELENGKAPNYAWaktu untuk Beramal
Orang yang tidak bisa mengisi waktu dengan amal saleh termasuk orang yang merugi.
SELENGKAPNYA‘Menertawakan’ Islamofobia di Panggung Stand-up Comedy
Apa yang dilakukan Fathia mampu mengenalkan ajaran Islam di negara-negara minoritas Muslim lewat cara yang lebih segar.
SELENGKAPNYA