Akad zakat (Ilustrasi) | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Politisasi Dana Zakat

Tahun 2023 adalah tahun pertaruhan zakat: untuk kepentingan mustahik atau demi elektoral semata?

ARIF R HARYONO, Pegiat Kemanusiaan Zakat

Fenomena pejabat publik yang demonstratif dalam penggunaan logo partai kala membagikan bantuan dana zakat masyarakat adalah puncak gunung es dari rentannya pemanfaatan dana kedermawanan publik demi capaian politik elektoral segelintir pihak. Keyakinan saya, ini bukan kasus pertama dan satu-satunya. Hanya mungkin baru kali ini magnet politik subjeknya sedemikian besar dan kuat.

Setidaknya ada dua faktor penyebab kerentanan dana zakat dimanfaatkan untuk kepentingan politik musiman. Pertama, regulasi tidak mengatur standar etika dan moral interaksi petahana dengan ekosistem dan institusi zakat negara. Struktur organisasi Baznas yang terdiri dari puluhan Baznas provinsi, ratusan Baznas kabupaten/kota, serta ribuan unit pengumpul zakat (UPZ) yang terafiliasi dengan Baznas di setiap tingkatan memiliki persinggungan sangat erat dengan pranata politik yang ada.

Komisioner Baznas, misalnya, dipilih melalui seleksi yang dilakukan oleh Kementerian Agama, fit and proper test di DPR, hingga ditetapkan atau diberhentikan presiden. Di tingkat pimpinan Baznas daerah, proses pengangkatan atau pemberhentian pimpinan Baznas daerah menjadi kewenangan penuh kepala daerah masing-masing.

Hingga batas tertentu, hal ini bukan persoalan. Sepanjang tata kelola serta landasan etika dipahami secara baik oleh setiap pihak. Sayangnya, relasi politik pimpinan institusi zakat dengan para aktor politik tidak dipagari regulasi yang layak, badan pengawas yang kuat, hingga standar etika moral para aktor politik.

Maka tak mengherankan jika konstelasi pimpinan Baznas sangat ditentukan putusan politik para pejabat publik di wilayah masing-masing. Sedikit banyak ini juga akan memengaruhi preferensi komunitas penerima bantuan dari Baznas.  

photo
Dana Zakat (Ilustrasi)- (ANTARA FOTO / Irwansyah Putra)

Alih-alih mengatur tata kelola dan etika moral politik, regulasi justru memfasilitasi keparahan lebih lanjut. Faktor kerentanan politisasi dana zakat yang kedua bermuara dari regulasi yang menempatkan Baznas secara ambivalen selaku operator penghimpun yang didukung kekuatan politik petahana serta sebagai pengendali pengelolaan zakat bagi dirinya sendiri serta ribuan Baznas daerah dan UPZ yang terafiliasi dengan Baznas.

Kewenangan politik Baznas dalam menghimpun zakat masyarakat tidak main-main. Misalnya, Baznas menjalankan pola sharing 30:70 kepada lembaga zakat tertentu, biasanya yang terafiliasi dengan karyawan BUMN/D atau perusahaan. Skema ini memberikan ruang akuisisi penuh terhadap 30 persen dari total penghimpunan zakat yang dikumpulkan lembaga zakat tersebut.

Ilustrasinya, apabila LAZ tersebut mengumpulkan Rp 100 miliar maka Rp 30 miliarnya menjadi hak kelola penuh oleh Baznas. Model fundraising low-hanging fruit, seorang teman satu waktu berseloroh.

Sementara itu, pada skema pengelolaan zakat daerah cukup jamak kepala daerah yang mengeluarkan kebijakan wajib bayar zakat ASN dengan memotong penghasilan untuk Baznas setempat. Ada juga yang menjalankan skema wajib sedekah 10 hingga 15 persen bagi perusahaan yang menjadi mitra pemerintah daerah. Tujuannya pragmatis, mendongkrak penghimpunan berbasis kebijakan publik dari petahana.

Lembaga zakat masyarakat, di lain pihak, tidak memiliki privilege skema kebijakan politis dalam hal penghimpunan. Basis motivasi donasi kepada lembaga zakat masyarakat masih bertumpu pada kepercayaan publik serta service excellence dari LAZ yang bersangkutan. Maka, jangankan melanggar aturan regulasi, menyerempet persoalan etika dan moral penyaluran dana bantuan saja dapat menambah risiko kehilangan kepercayaan masyarakat.

 
Tidak mungkin sebuah negara berperadaban demokrasi tinggi memberikan kewenangan absolut kepada institusi negara yang menghimpun ratusan triliun dana publik tanpa adanya institusi pengawas yang berimbang dan imparsial.
ARIF R HARYONO
 

Lebih lanjut, lembaga zakat masyarakat memiliki skema pengawasan yang berlapis. Sebut saja, terdapat proses wajib laporan kepada Baznas minimal dua kali dalam setahun, proses audit syariah dan manajemen dari Baznas dan Kementerian Agama, sampai uji kompetensi dewan pengawas syariah LAZ oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Jika tidak memenuhi, izin operasional dicabut kerap menjadi ancaman. Baznas di sisi lain sudah dianugerahi kekuatan politik petahana, tidak memiliki skema pengawasan yang rigid dan berlapis.

Adagium klasik “absolute power corrupts absolutely” perlu dijadikan landasan berpikir terkait potensi politisasi dana zakat ini. Tidak mungkin sebuah negara berperadaban demokrasi tinggi memberikan kewenangan absolut kepada institusi negara yang menghimpun ratusan triliun dana publik tanpa adanya institusi pengawas yang berimbang dan imparsial. Pertaruhannya adalah rusaknya ekosistem zakat Indonesia dibarengi runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga intermediary seperti Baznas dan LAZ. 

Penyaluran dana bantuan zakat yang diembel-embeli logo partai sangat bermasalah dari sisi etika dan moral pejabat publik. Kasus tersebut perlu dijadikan momentum untuk memperbaiki tata kelola zakat. Revisi regulasi menjadi tema sentral agar bias fungsi Baznas dapat dihilangkan. Susun pedoman dan aturan etika-moral pengelolaan zakat yang berlaku konsekuen kepada setiap aktor politik, terutama petahana.

Lebih lanjut, keberadaan badan pengawas pengelolaan zakat menjadi sangat relevan, terutama di tahun politik tinggi. Agar zakat tidak disalahgunakan bagi kepentingan elektoral semata.

Sejarah Al-Aqsha dan Intifada

Yang terjadi pada 28 September 2000 itu terbilang mirip dengan yang terjadi belakangan.

SELENGKAPNYA

Penguatan Struktur Ekonomi

Kebijakan fiskal terbukti berperan strategis dalam pemulihan ekonomi.

SELENGKAPNYA

Kado Tahun Baru dari Tiongkok untuk Palestina

Sikap Tiongkok selalu jelas dan konsisten, sejalan dengan komunitas internasional.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya