
Kabar Utama
Cukupkah Aset First Travel Ganti Rugi Korban?
Eks agen First Travel mengkhawatirkan penagihan dari korban.
OLEH ALI YUSUF, BAMBANG NOROYONO
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan peninjauan kembali gugatan tentang aset perusahaan biro perjalanan (travel) umrah First Travel (FT) membuka kembali sejumlah pertanyaan. Sebagian korban menilai kerugian yang mereka tanggung atas uang yang telah disetorkan untuk keperluan berangkat umrah jadi bisa tertutupi.
"Berita putusan MK yang mengabulkan PK ini jadi membangunkan jamaah yang sudah tidur," kata Anny, salah satu korban First Travel, kepada Republika, Jumat (6/1). Anny pernah menjadi salah satu agen First Travel di daerah Jakarta Barat saat jaya-jayanya perusahaan yang ternyata menggunakan skema Ponzi tersebut.
Dana pendaftaran keberangkatan umrah sebanyak 1.301 sudah disetorkan ke kantor pusat First Travel. Tak ada satu pun yang diberangkatkan setelah skema bobrok perusahaan tersebut terkuak.
Anny khawatir, dengan putusan MA terkini, dia akan ditagih lagi oleh seribuan lebih jamaah tersebut. "Menurut mimpi, uang bisa kembali, padahal asetnya jauh dari jumlah jamaah," katanya.

Ia juga mengeklaim tak bisa mengumpulkan kembali data-data jamaahnya. Apalagi, semua karyawan yang sempat bekerja di kantor agensi First Travel-nya sudah bekerja di tempat lain. "Kalau begini, apakah mereka masih mau siap ngurus jamaah?" katanya.
Agen perjalanan First Travel mulai melayani perjalanan umrah pada 2011. Sekitar enam tahun berjalan, Kementerian Agama mengindikasikan skema bisnis umrah berbiaya murah First Travel bermasalah.
Pada awal 2017, skema tersebut macet dan ribuan pendaftar di First Travel gagal berangkat. Pendiri perusahaan itu, Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari, kemudian dijadikan tersangka.
Pada Mei 2018, Pengadilan Negeri (PN) Depok memvonis bersalah Andika (20 tahun penjara, denda Rp 10 miliar), Anniesa (18 tahun penjara, denda Rp 10 miliar), dan petinggi First Travel lainnya, Kiki Hasibuan (15 tahun penjara, denda Rp 5 miliar). Hakim juga memutuskan seluruh aset First Travel dirampas negara. Mereka divonis telah menipu dan menggelapkan uang 63.310 calon jamaah umrah dengan total kerugian hingga Rp 905 miliar.

Pada penyelidikan kasus tersebut, Bareskrim Polri menyatakan, aset First Travel yang terlacak mencapai Rp 50 miliar. Sedangkan, kuasa hukum Andika Surachman sempat menuturkan bahwa total aset kliennya yang telah disita mencapai Rp 200 miliar. Pada putusan vonis Mahkamah Agung, taksiran aset menyusut menjadi tak lebih Rp 30 miliar.
Kuasa hukum korban First Travel, Aldi Raharjo, menyatakan, pengembalian aset First Travel kepada jamaah seharusnya dilakukan di pengadilan tingkat pertama. Hal itu sesuai dengan penjelasan bagian I paragraf kedua Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
"Idealnya, proses terakhir dalam pemulihan aset setelah dirampas untuk negara lalu dikembalikan kepada yang berhak seperti dijelaskan dalam UU TPPU," kata Aldi Raharjo, Jumat (6/1).
Aldi mengatakan, putusan First Travel tidak mencerminkan keberhasilan dari tujuan pemulihan aset, yaitu pemulihan kerugian korban kejahatan. Terlihat juga penyitaan beberapa aset terpidana yang dilakukan sebelum tindak pidana menuai banyak protes dari korban maupun ahli hukum.

"Penerapan pidana penjara dan pidana denda terhadap pelaku sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai keadilan apabila tidak ada pengembalian aset kepada korban kejahatan," katanya.
Berapa jumlah aset tersebut dalam catatan hukum? Menurut Aldi, diasumsikan, seluruh aset yang disita bernilai Rp 25 miliar, termasuk aset yang belum diuangkan. Sedangkan, kerugian korban sekitar Rp 905,3 miliar dengan jumlah korban mencapai 63.310 orang.
Artinya, barang bukti yang disita atau dicatat oleh penyidik hanya 4 persen dari seluruh jumlah kerugian yang dialami oleh korban. "Maka, satu orang korban hanya menerima pengembalian sebesar Rp 70 ribu," katanya.
Selain itu, para pengurus perkumpulan menjelaskan alasan penolakannya, yaitu karena para pengurus yang mayoritas adalah ibu rumah tangga kesulitan mengurus barang bukti yang begitu banyak. "Mereka menyayangkan karena seharusnya peran eksekusi berada di kejaksaan," katanya.

Sementara itu, pihak First Travel meminta Kejaksaan Agung (Kejakgung) segera melakukan eksekusi PK Mahkamah Agung (PK-MA) tentang pengembalian aset-aset sitaan perusahaan swasta agensi haji dan umrah tersebut. Pengacara First Travel Boris Tampubolon menegaskan, eksekusi pengembalian aset tersebut harus disegerakan karena untuk mengembalikan dana puluhan ribu jamaah haji dan umrah dan korban penggelapan serta penipuan agensi tersebut.
“Kalau untuk eksekusi putusan itu, sebetulnya kita mintakan kepada Kejaksaan Agung untuk segera saja dilakukan karena ini ada menyangkut atas hak-hak ribuan masyarakat (korban First Travel) yang perlu diganti kerugiannya,” kata Boris saat dihubungi Republika, Jumat (6/1).
Boris menjelaskan, kliennya berkomitmen untuk segera menjadikan aset-aset yang sebelumnya disita oleh negara itu menjadi sumber pengganti uang jamaah haji serta umrah.
Boris mengakui, tim hukum First Travel sebetulnya belum mendapatkan salinan lengkap isi putusan PK-MA. Namun, kata dia, mengacu pada laman resmi MA, upaya hukum luar biasa yang diajukan Boris dan kawan-kawan itu, diputuskan "kabul". Kata Boris, hasil kabul tersebut masih ambigu dan belum terang.
“Karena PK yang kita ajukan itu ada dua permohonannya,” ungkap Boris.
Permohonan pertama, dikatakan Boris, yakni meminta MA untuk membebaskan terpidana Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan. Dua terpidana tersebut adalah bos First Travel yang divonis penjara selama 20 tahun dan 18 tahun karena dinyatakan terbukti melakukan penipuan dan penggelapan dana perjalanan haji dan umrah milik 63.310 jamaah.

Kedua terpidana itu juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas tabungan dana haji dan umrah itu untuk bisnis pribadi. Boris menerangkan, dalam permohonan PK yang diajukan, timnya meminta MA membebaskan kedua terpidana itu karena kasus First Travel tersebut tak masuk dalam ranah pidana.
“Dalam permohonan PK kami menyampaikan, masalah ini adalah keperdataan,” ujar Boris.
Adapun dalam permohonan kedua, kata Boris, PK yang diajukan meminta hakim MA memutuskan untuk mengembalikan aset-aset First Travel yang disita eksekusi oleh jaksa untuk negara, dikembalikan kepada First Travel. Pengembalian aset-aset tersebut untuk mengganti uang jamaah haji dan umrah korban dari agensi perjalanan First Travel.
Kita juga belum tahu yang dikabulkan oleh MA itu atas permohonan yang mana. Apakah permohonan yang pertama, yang kedua, atau dua-duanya.
“Nah, jadi kita juga belum tahu yang dikabulkan oleh MA itu atas permohonan yang mana. Apakah permohonan yang pertama, yang kedua, atau dua-duanya,” ujar Boris.
Namun, Boris meyakini, putusan kabul atas PK MA itu berkaitan dengan seluruh permohonan yang diajukan pihaknya. Selanjutnya, kata Boris, kejaksaan perlu segera mengeksekusi putusan PK-MA tersebut. Terutama, dia mengatakan, yang menyangkut pengembalian aset-aset First Travel yang saat ini masih dalam penguasaan negara.
“Prinsipnya dari kami, karena kasus ini tidak ada yang merugikan negara, memang seharusnya aset-aset yang sudah disita itu dikembalikan kepada pihak kami. Dan dari pihak kami berkomitmen penuh untuk mengembalikan aset-aset tersebut kepada masyarakat yang berhak (korban First Travel, red) dalam bentuk memberikan ganti kerugian,” ujar Boris.

Meski begitu, Boris mengaku lupa dengan jumlah aset First Travel yang berada dalam penguasaan negara. “Kalau persisnya, saya lupa berapa besarannya karena kami pun belum membaca aset-aset yang mana dalam putusan MA itu yang harus dikembalikan,” ujar Boris.
Boris mengatakan, mengacu pada putusan kasasi MA tahun 2019, besaran aset-aset sitaan kasus First Travel hanya senilai Rp 25 miliar. Padahal, nilai kerugian para jamaah korban First Travel mencapai Rp 905 miliar. “Kita kan mendapatkan kuasa khusus untuk permohonan PK-nya saja. Kalau soal angka-angka, kita acuannya itu putusan MA sebelumnya saja, dan kita juga belum melihat aset-aset yang mana dalam putusan PK itu yang dikembalikan,” ungkap Boris lagi.
Menurut Boris, jika menjadikan putusan kasasi MA sebagai acuan angka aset yang disita, jumlah Rp 25 miliar tersebut tentu tak cukup untuk mengganti penuh uang jamaah haji dan umrah korban First Travel. “Kalau cukup tidak cukup, itu memang sepertinya tidak akan cukup,” kata Boris.
Bagaimanapun, kepastian hukum yang ada saat ini mewajibkan negara untuk mengembalikan aset-aset yang disita tersebut kepada First Travel.
Pihak Kejakgung belum bersedia mengomentari putusan MA atas PK ajuan First Travel tersebut. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Ketut Sumedana menyerahkan masalah tersebut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok, Jawa Barat, sebagai otoritas penanganan perkara kasus tersebut.
“Dari kami belum mendapatkan informasi mengenai hal tersebut. Silakan masalah itu ditanyakan ke kejari yang menangani perkara dimaksud,” begitu kata Ketut.
Mabes Polri sebagai pihak penyidik perkara tersebut pun tak menanggapi pertanyaan tentang jumlah aset-aset First Travel yang pernah disita saat awal-awal proses pengungkapan kasus.
Sejarah Al-Aqsha dan Intifada
Yang terjadi pada 28 September 2000 itu terbilang mirip dengan yang terjadi belakangan.
SELENGKAPNYAWajah Muslim Amerika yang Kian Cerah
Komunitas Muslim telah mengambil bagian terpenting dari kehidupan publik Amerika.
SELENGKAPNYAKisah Tahajud Para Salafus Saleh
Lambung yang jauh dari tempat tidur dimaknai karena mereka sibuk berdoa.
SELENGKAPNYA