
Kisah
Uwais al-Qarni, Sang Tabiin yang Dicap Gila
Uwais al-Qarni merupakan seorang tabiin yang mulia.
Secara istilah, sahabat merujuk pada mereka yang beriman dan berislam pada zaman Nabi Muhammad SAW, serta pernah menjumpai langsung beliau. Maka dari itu, orang-orang Mukmin dan Muslim yang hidup semasa dengan Rasulullah SAW belum tentu tergolong sahabat. Sebab, barangkali ada faktor perjumpaan secara tatap muka dengan al-Musthafa yang belum mereka penuhi.
Itulah yang terjadi pada diri Uwais al-Qarni. Sekalipun hidup sezaman dengan Nabi SAW, ia dikelompokkan sebagai generasi tabiin. Sebab, belum pernah dirinya berjumpa langsung dengan sosok yang diimani dan dirindukannya itu.
Uwais berasal dari Yaman. Jarak antara daerah itu dan Madinah merentang jauh. Memang, sudah ada upaya dari dirinya untuk menemui Rasulullah SAW. Sayangnya, ketika ia datang ke Madinah, dirinya tidak mengetahui bahwa Nabi SAW beserta kaum Muslimin sedang berada di luar kota dalam rangka jihad fii sabilillah.
Dan, Uwais sebelumnya telah berjanji kepada ibunya untuk segera kembali ke rumah. Tidak bisa berlama-lama di Madinah, sang tabiin pun pulang pada hari itu juga.
Uwais al-Qarni memang dikenal sebagai seorang tabiin yang sangat memuliakan sosok ibunda.
Dalam berbagai literatur sejarah, Uwais al-Qarni memang dikenal sebagai seorang tabiin yang sangat memuliakan sosok ibunda. Saking
sibuknya mengurus ibunya yang sudah tua renta, ia tidak ada waktu untuk bersosialisasi seperti kebanyakan orang. Karena itu, beberapa warga Yaman sampai hati menyematkan predikat gila kepadanya.
Abu Al-Qasim An-Naisaburi menuturkan dalam kitab Uqala al-Majanin (Kebijaksanaan Orang-orang Gila), betapa tinggi reputasi Uwais di mata Rasulullah SAW walaupun dirinya dicap gila. Ya, melalui berita dari Malaikat Jibril, Rasulullah SAW mengetahui keadaan diri lelaki bernama lengkap Uwais bin Abi Uwais itu walaupun tidak pernah berjumpa langsung. Dari cerita Rasul SAW pula, para sahabat utama--termasuk Umar bin Khattab--mengetahui kemuliaan sang tabiin.
Kisah berikut ini terjadi pada masa khulafaur rasyidin. Pada suatu hari musim haji, Khalifah Umar bin Khattab menyeru di atas mimbar di Padang Mina, "Wahai penduduk Qaran!"
Beberapa menit kemudian, sejumlah orang mendekatinya. Mereka berkata, "Wahai amirul mukminin, kami di sini."
“Apakah di Qaran ada seseorang bernama Uwais?” tanya Umar.

Seorang lelaki paruh baya di antara mereka pun menjawab, “Di antara kami, tidak ada yang bernama Uwais kecuali seorang gila yang tinggal di padang pasir. Ia tidak bergaul dengan masyarakat.”
"Sungguh, orang itulah yang aku maksud. Apabila kalian sampai ke Qaran, carilah dia. Sampaikan salamku kepadanya. Kemudian, katakan padanya, 'Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memberikan kabar gembira tentang dirimu dan memerintahkanku untuk menyampaikan kepadamu salam beliau.'"
Maka jamaah haji dari Qaran itu menaati amanah Khalifah Umar. Usai musim haji, mereka pulang ke negerinya. Sebagian mencari Uwais dan menyampaikan pesan sang amirul mukminin kepadanya.
Keesokan harinya, semua penduduk Qaran kebingungan. Sebab, Uwais tidak ditemukan di mana-mana, termasuk kediamannya. Mereka pun heran, "Kami baru tahu tentang kemuliaannya dalam pandangan Nabi SAW dan sahabat utama."
"Sungguh, selama ini kukira dia hanya orang gila yang mengasingkan diri untuk menemani ibunya," timpal yang lain.
Sungguh, selama ini kukira dia hanya orang gila yang mengasingkan diri untuk menemani ibunya.
Seorang zuhud, Harim bin Hayyan al-Abdi memutuskan untuk mencari keberadaan Uwais. Pencarian itu membawanya hingga ke Kuffah, Irak. Akhirnya, ia menemukan sang tabiin sedang sendirian di tepi Sungai Eufrat.
Siang itu, Uwais sedang mencuci pakaian dan lalu berwudhu. Perawakannya telah banyak berubah. Kini, tubuhnya menjadi tambun serta berkulit coklat. Kepalanya botak, berjanggut tebal. Dengan memakai sarung dan sorban dari wol, penampilannya terkesan kumuh.
Harim bin Hayyan mendekat dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah menjawab salam, Uwais berkata, “Semoga Allah memanjangkan umur Anda.”
Harim mengulurkan tangan untuk bersalaman, tetapi ditolak Uwais. Ia pun berkata, “Semoga Allah juga memanjangkan umur Tuan. Senang bertemu dengan Anda, Tuan Uwais. Bagaimana keadaan Anda? Semoga Allah menyayangimu.”
Harim merasa terenyuh melihat kondisi Uwais saat ini sehingga dirinya menangis. Kemudian, Uwais pun menangis sembari berkata, “Semoga Allah menyayangimu, Harim bin Hayyan! Bagaimana kabarmu, saudaraku? Siapa yang memberitahumu tentang diriku?”
Harim menjawab, “Allah!”

Mendengar itu, Uwais seketika mengucapkan tahlil dan mengutip ayat Alquran,
سُبْحٰنَ رَبِّنَآ اِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلًا
(“Mahasuci Tuhan kami; sungguh, janji Tuhan kami pasti dipenuhi,” QS al-Isra’: 108).
Harim pun kaget ketika Uwais menyebut namanya dan mengenalinya. Padahal, Harim belum pernah memperkenalkan diri. Ini pun kesempatan pertamanya berinteraksi langsung dengan sang tabiin.
“Dari mana Tuan mengenal nama saya dan nama ayah saya, padahal saya belum pernah melihat Anda sebelum ini?”
Uwais pun menjawab dengan penggalan ayat Alquran,
نَبَّاَنِيَ الْعَلِيْمُ الْخَبِيْرُ
(“Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal,” QS at-Tahrim: 3)
Demikianlah kemuliaan Uwais al-Qarni. Kepadanya, Allah menyingkapkan pengetahuan yang tidak dijangkau kebanyakan orang pada masa sesudah Nabi SAW. Karena itu, banyak kalangan sufi yang menganggapnya seorang waliyullah.
Diriwayatkan dari Hasan RA, Rasulullah SAW bersabda tentang Uwais, “Lelaki itu adalah Uwais al-Qarni. Wahai Umar! Apabila engkau menemukannya, sampaikan salamku untuknya, berbincanglah dengannya hingga dia mendoakanmu. Ketahuilah bahwa dia menderita penyakit kusta. Lalu dia berdoa memohon (kesembuhan) kepada Allah, kemudian Allah mengangkat penyakitnya. Lalu, dia berdoa kepada Allah (untuk dikembalikan penyakitnya), dan Allah mengembalikan sebagian dari penyakitnya itu.”
Mu’adzah Binti Abdillah, Sang Guru yang Zuhud
Kesabaran Mu’adzah terlihat saat Allah mengujinya dengan kematian suami dan anak-anaknya yang sangat dicintai.
SELENGKAPNYAKiat Menghadapi Nafsu al-Ammarah
Nafsu al-Ammarah menurut para sufi adalah level terendah.
SELENGKAPNYA